Thursday, March 9, 2006

Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd, Pengusung tafsir Hermeneutika

Rating:★★★★
Category:Other
Oleh:

Dr. Syamsuddin Arief
PhD dari ISTAC-IIUM Kuala Lumpur,
dan sekarang sedang menulis disertasi PhD kedua
di Departemen Orientalistik Universitas Frankfurt, Jerman


Nama Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual asal Mesir yang ‘kabur’ ke Belanda dan kini mengajar di universitas Leiden itu, pertama kali saya dengar dari Profesor Arif Nayed, seorang pakar hermeneutika yang pernah menjadi guru besar tamu di ISTAC Malaysia, sekitar tujuh tahun yang lalu. Perkembangan kasusnya saya ikuti dari liputan media dan laporan jurnal. Misalnya, lewat artikel Stefan Wild, “Die andere Seite des Textes: Nasr Hamid Abu Zaid und der Koran” dalam jurnal die Welt des Islam, no.33 (1993), hlm. 256-261, tulisan Navid Kermani, “Die Affaere Abu Zayd: Eine Kritik an religioesen Diskurs und ihre Folgen” dalam jurnal Orient, no.35 (1994), hlm. 25-49, dan Charles Hirschkind, “Heresy or Hermeneutics: The Case of Nasr Hamid Abu Zayd” dalam American Journal of Islamic Social Sciences (AJISS) vol.12, no.4 (1995).

Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi hermeneutika. Sebabnya, saya melihat apa yang dia lontarkan kebanyakan –untuk tidak mengatakan seluruhnya– adalah gagasan-gagasan ‘nyleneh’ yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat, yang notabene sekuler dan suka mengolok-olok dan mengutak-atik agama (ittakhadhuu diinahum huzuwa wa la’iba). Kita tidak tahu pasti apa motif-motifnya dan apa tujuan Nasr Hamid Abu Zayd sebenarnya. Itu di luar kemampuan dan kewenangan kita; hanya Tuhan dan dia sendiri yang tahu.

Namun berdasarkan tulisan-tulisan dan statement-nya, kita (khususnya para ulama dan kalangan spesialis kajian Islam) berhak dan berkewajiban memberikan penilaian (benar atau salah), menentukan sikap (menerima atau menolak), mengambil posisi (membela atau menghukum), dan menyatakan itu semua secara kritis dan ilmiah, adil dan tegas. Tidak boleh diam, masa bodoh, pura-pura tidak tahu, atau plin-plan.

Siapa sebenarnya Nasr Hamid Abu Zayd? Ia orang Mesir asli, lahir di Tantra, 7 Oktober 1943. Pendidikan tinggi, dari S1 sampai S3, jurusan sastra Arab, diselesaikannya di universitas Cairo, tempatnya mengabdi sebagai dosen sejak 1972. Namun ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia. Karena itu ia menguasai bahasa Inggris lisan maupun tulisan.

Ia juga pernah menjadi dosen tamu di universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar bahasa Arab selama empat tahun (Maret 1985-Juli 1989). Karya tulisnya yang telah diterbitkan antara lain: [1] “Rasionalisme dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor menurut Mu’tazilah” (al-Ittijah al-‘Aqliy fi-t Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz ‘inda al-Mu’tazilah. Beirut 1982), [2] “Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Qur’an menurut Muhyiddin ibn ‘Arabi” (Falsafat at-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhyiddin ibn ‘Arabi. Beirut, 1983), [3] “Konsep Teks: Studi Ulumul Qur’an” (Mafhum an-Nashsh: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an. Cairo, 1987), [4] “Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutik” (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil. Cairo, 1992), [5] “Kritik Wacana Agama” (Naqd al-Khithab ad-Diniy. 1992) dan [6] “Imam Syafi’i dan Peletakkan Dasar Ideologi Tengah” (al-Imam asy-Syafi’i wa Ta’sis Aidulujiyyat al-Wasathiyyah. Cairo, 1992). Kecuali nomor satu dan dua, yang berasal dari tesis master dan doktoralnya, tulisan-tulisan Abu Zayd telah memicu kontroversi dan berbuntut panjang.

Ceritanya bermula di bulan Mei 1992. Abu Zayd mengajukan promosi untuk menjadi guru besar di fakultas sastra universitas Cairo. Beserta berkas yang diperlukan ia melampirkan semua karya tulisnya yang sudah diterbitkan. Enam bulan kemudian, 3 Desember 1992, keluar keputusannya: promosi ditolak. Abu Zayd tidak layak menjadi profesor, karya-karyanya dinilai kurang bermutu bahkan menyimpang dan merusak karena isinya melecehkan ajaran Islam, menghina Rasulullah Saw, meremehkan al-Qur’an dan menghina para ulama salaf. Abu Zayd tidak bisa menerima dan protes.

Beberapa bulan kemudian, pada hari jum’at 2 April 1993, Profesor Abdushshabur Syahin, yang juga salah seorang anggota tim penilai, dalam khotbahnya di Mesjid ‘Amru bin ‘Ash, menyatakan Abu Zayd murtad.

Pernyataan Ustadz Syahin diikuti oleh para khatib di mesjid-mesjid pada hari jum’at berikutnya. Mesir pun heboh. Harian al-Liwa’ al-Islami dalam editorialnya 15 April 1993 mendesak pihak universitas Cairo agar Abu Zayd segera dipecat karena dikhawatirkan akan meracuni para mahasiswa dengan pikiran-pikirannya yang sesat dan menyesatkan. Pada 10 Juni 1993 sejumlah pengacara, dipimpin oleh M. Samida Abdushshamad, memperkarakan Abu Zayd ke pengadilan Giza. Pengadilan membatalkan tuntutan mereka pada 27 Januari 1994. Namun di tingkat banding tuntutan mereka dikabulkan.

Pada 14 Juni 1995, dua minggu setelah universitas Cairo mengeluarkan surat pengangkatannya sebagai profesor, keputusan Mahkamah al-Isti’naf Cairo menyatakan Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad dan, karena itu, perkawinannya dibatalkan. Ia diharuskan bercerai dari istrinya (Dr. Ebtehal Yunis), karena seorang yang murtad tidak boleh menikahi wanita muslimah. Abu Zayd mengajukan banding. Sementara itu, Front Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2000 alim ulama, meminta Pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat atau-kalau yang bersangkutan tidak mau-maka ia harus dikenakan hukuman mati.

Tidak lama kemudian, 23 Juli 1995, bersama istrinya, Abu Zayd terbang melarikan diri ke Madrid, Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995 sampai sekarang. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama: Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan. Dalam putusan tersebut, kesalahan-kesalahan Abu Zayd disimpulkan sebagai berikut:

1. Berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara ghaib yang disebut dalam al-Qur’an seperti ‘arasy, malaikat, syaitan, jinn, surga dan neraka adalah mitos belaka.

2. Berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azali al-Qur’an sebagai Kalamullah yang telah ada dalam al-Lawh al-Mahfuz.

3. Berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah teks linguistik (nashsh lughawi) [Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Qur’an adalah karangan beliau].

4. Berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulum al-Qur’an), adalah “tradisi reaktioner” serta berpendapat dan mengatakan bahwa Syari’ah adalah
faktor penyebab kemunduran Umat Islam.

5. Berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara ghaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos.

6. Berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia.

7. Berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Qur’an yang ada merupakan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy.

8. Mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah Saw.

9. Mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas “teks-teks agama” [maksudnya: al-Qur’an dan Hadits].

10. Berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan.

Reaksi pro dan kontra bermunculan, dari kalangan intelektual maupun aktivis HAM. Pelbagai media di Barat kontan mengecam keputusan tersebut seraya memihak dan membela Abu Zayd. Opini dunia digiring supaya terkesan seolah-olah Abu Zayd telah dizalimi dan ditindas, bahwa hak asasinya dirampas, bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dipasung.

The Middle East Studies Association of North America, misalnya, melalui Komite Kebebasan Akademisnya melayangkan surat keprihatinan kepada Presiden Mesir, Husni Mubarak. Namun keputusan tersebut sudah final, tidak dapat diganggu-gugat dan dicabut lagi.

Menariknya, kalau di Mesir Abu Zayd dikafirkan, di Belanda ia justru mendapat sambutan hangat dan perlakuan istimewa. Rijksuniversiteit Leiden langsung merekrutnya sebagai dosen sejak kedatangannya (1995) sampai sekarang. Ia bahkan diberi kesempatan dan kehormatan untuk menduduki the Cleveringa Chair in Law Responsibility, Freedom of Religion and Conscience, kursi profesor prestisius di universitas itu. Tidak lama kemudian, Institute of Advanced Studies (Wissenschaftskolleg) Berlin mengangkatnya sebagai Bucerius/ZEIT Fellow untuk projek Hermeneutika Yahudi dan Islam.

Pihak Amerika tidak mau ketinggalan. Pada 8 Juni 2002, the Franklin and Eleanor Roosevelt Institute menganugrahkan “the Freedom of Worship Medal’ kepada Abu Zayd sebagai penghargaan atas segala yang telah ia lakukan selama ini. Lembaga Amerika ini menyanjung Abu Zayd terutama karena pikiran-pikiranya yang dinilai ‘berani’ dan ‘bebas’ (courageous independence of thought) serta sikapnya yang apresiatif terhadap tradisi falsafah dan agama Kristen, modernisme dan humanisme Eropa.

Sambutan dan perlakuan istimewa dari kalangan akademis Barat kepada Abu Zayd tidak mengherankan, mengingat pihak pemberi adalah non-Muslim yang anti Islam, sedangkan pihak penerima adalah orang yang telah divonis keluar dari Islam. Juga wajar kalau pikiran-pikiran Abu Zayd ditolak oleh kaum Muslimin di Mesir. Yang mengherankan justru ketika tokoh ini diundang dan disambut meriah di Indonesia, negeri yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, dan ketika gagasan-gagasan liarnya diadopsi dan dipropagandakan secara besar-besaran, buku-bukunya diterjemahkan, lokakarya dan seminar digelar mengenai ide-idenya.

Dan memang dari mahasiswa sampai kalangan cendekiawan tidak sedikit yang kagum dan gandrung pada pemikirannya, tak terkecuali Prof. Dr. M. Amin Abdullah. Dalam sebuah wawancara dengan JIL, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu mengaku cukup tertarik dengan karya-karya Abu Zayd seperti Naqd al-Khithab ad-Dini yang dinilainya cocok untuk dibahas (diajarkan?) di lingkungan IAIN atau PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam).

Pak Amin dan cendekiawan lainnya di tanah air nampaknya lupa atau sengaja menganggap sepi keputusan Mahkamah Agung Mesir, menganggap keputusan tersebut berlatarbelakang politik dan karenanya tidak valid secara akademis. Padahal, keputusan hukum tersebut diambil berdasarkan fakta-fakta dan hasil kesimpulan penelitian tim dan saksi ahli yang pakar di bidangnya. Jadi keputusan tersebut sah dan mengikat (valid and binding) baik secara hukum maupun secara akademis.

Lebih jauh dari itu, karena dicapai melalui prosedur ilmiah, musyawarah dan kesepakatan para ahli (ulama) di bidangnya, maka keputusan tersebut sesungguhnya merupakan ijma’, bukan lagi pendapat pribadi. Dan itu diperkuat dengan pernyataan sikap alim ulama yang tergabung dalam Jabhat Ulama al-Azhar.

Sebenarnya Abu Zayd masih punya pilihan. Pertama, bertaubat seraya mencabut dan menarik kembali semua pernyataannya, dan kedua, bersikeras dengan posisinya dan mempertahankan semua pendapat dan keyakinannya yang ‘nyleneh’ itu. Namun ia lebih memilih yang kedua, meskipun dengan harga mahal: ia terpaksa melarikan diri dan hidup dalam depresi. Dalam autobiografinya yang baru diterbitkan, Voice of an Exile: Reflections on Islam (Westport, Connecticut/London: Praeger, 2004), Abu Zayd ‘blak-blakan’ mengungkapkan latarbelakang dan sumber inspirasinya. Berikut ini cuplikannya.

Abu Zayd mengakui pengalamannya belajar di Amerika ternyata membuahkan hasil. Di sanalah ia mengenal dan mempelajari filsafat dan hermeneutika. Baginya, hermeneutika adalah ilmu baru yang telah membuka matanya: “My academic experience in the (United) States turned out to be quite fruitful. I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science of interpreting texts, opened up a brand-new world for me” (hlm.95). Seperti anak kecil yang baru dapat pistol mainan, ia segera mencari sasaran tembak di sekitarnya.

Kalau pisau hermeneutika bisa dipakai untuk membedah Bibel, mengapa tidak kita gunakan untuk mengupas al-Qur’an. Toh keduanya sama, sama-sama kitab suci. Demikian logika Abu Zayd, Para sarjana Barat (Yahudi maupun Kristen) sejak lama telah menerapkan metode-metode kritis dalam mengkaji Bibel, seperti metode textual criticism, source criticism, form criticism, dan sebagainya. Kenapa tidak kita terapkan dalam mengkaji al-Qur’an?, pikir Abu Zayd. Sebagaimana Bibel, al-Qur’an kan juga produk budaya setempat yang tidak terlepas dari konteks masyarakat, sejarah dan zaman dimana ia lahir dan berkembang.

Di situ tentu ada campur-tangan manusia. Berkata Abu Zayd: “Classical Islamic thought believes the Qur’an existed before it was revealed. I argue that the Qur’an is a cultural product that takes its shape from a particular time in history. The historicity of the Qur’an implies that the text is human. Because the text is grounded in history, I can interpret and understand that text. We should not be afraid to apply all the tools at our disposal in order to get at the meaning of the text.” (hlm.99) Dengan menganggap al-Qur’an sama dengan Bibel, Abu Zayd lantas menurunkan status al-Qur’an sebagai Kalamullah. Baginya, al-Qur’an adalah sebuah teks, tidak lebih dari itu.

Statusnya, menurut Abu Zayd, sama dengan buku-buku lainnya, yang dikarang oleh manusia, terbentuk dalam konteks budaya dan sejarah, dan sebagai wacana, tidak memiliki makna yang tetap dan baku:

“The divine text became a human text at the moment it was revealed to Muhammad. How else could human beings understand it? Once it is in human form, a text becomes governed by the principles of mutability or change. The text becomes a book like any other. Religious texts are essentially linguistic texts. They belong to a specific culture and are produced within that historical setting. The Qur’an is a historical discourse-it has no fixed, intrinsic meaning.” (hlm.97). Pendapat-pendapatnya mengenai hermeneutika, tekstualitas dan historisitas al-Qur’an ini diakuinya adalah ‘oleh-oleh’ hasil mukimnya di Amerika: “I owe much of my understanding of hermeneutics to opportunities offered me during my brief sojourn in the United States.” (hlm.101).

Orang macam Abu Zayd ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istrinya Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang sihir. Semoga kita mendapatkan petunjuk seperti Nabi Ibrahim: fa-lammaa afala, qaala laa uhibbul aafiliin.


7 comments:

  1. memang betul2 intelek menurut standar orang2 liberal ya... semakin murtad semakin intelek... :))

    ReplyDelete
  2. tulisan2 ust syamsudin arief bs diliat di MP istrinya http://inci73.multiply.com
    kajian Tequn di radio jerman sabtu jam 3 pagi..wib

    ReplyDelete
  3. Yang dicari oleh orang orang seperti ini bukan "kebenaran" tapi "pembenaran". Mereka tau "kebenaran" tapi mereka ga mau ikutin, lalu menciptakan langkah langkah mereka dengan bekal "modernity, human rights, globalization ....etc etc" untuk mencari pembenaran. Tapi kalau denger diskusi mereka, wwhhhh mesti hati hati, siapin perbekalan yang banyak,karena orang seperti saya yang dasarnya kurang kuat pengetahuannya bisa terpengaruh , untung aja dalam perjalanan pulang selama 3 jam brothers & sisters diskusi di mobil, jadi otak sempat dicuci lagi.... tough !!!!!

    ReplyDelete
  4. Yap ! itu sebabnya kita harus mempersiapkan ilmu-ilmu yang bisa meng-counter hal-hal semacam ini. Vega hati-hati ya jangan sampai terpengaruh :)

    ReplyDelete
  5. Ohh beliau ini termasuk salah satu "syekh"nya JIL lho. Kalo kita punya Syekh Ibnu Taimiyah sebagai pembaharu, nah bisa dibilang Abu Zayd inilah pembaharu mereka. Herannya pemikiran Abu Zayd disini diagung-agungkan sekali ya ?!. Ada pepatah Arab, khalif tu'raf atau, dalam istilah Latin: “esto alius, notus es!” yang artinya, Nyelenehlah kamu, maka kamu akan terkenal !. and this guy finally did it :D



    (buat yang namanya Agung, maap nih ! hihihi).

    ReplyDelete
  6. iyah mbak.. saya jg suka ngeri, pa lagi kalo maen logika, sebuah kekuatan yang justru dapat menikam secara frontal jika gak dipakai pada tempatnya... yang jelas ada beberapa hal yang emang harus kita yakini terlebih dahulu.. :) semoga Allah tetap menjaga hidayah ini.. amin..

    ReplyDelete
  7. saya gak setuju... sejauh ini saya sering diskusi pake logika dgn orang2 liberal, alhamdulillaah gak ada masalah... kata siapa mereka itu logis? apakah logika bertentangan dgn agama? kalau begitu akal tidak bisa membantu manusia donk? saya bahkan pernah menerangkan soal Dzat Allah SWT (di jurnal saya juga ada kan?) pada mereka, dan saya tunjukkan bahwa memang SECARA LOGIKA Dzat Allah SWT itu tidak mungkin dijelaskan... justru rancu secara logika kalau sampai ada yg bisa menjelaskan tentang Dzat Allah...

    buat saya sih, mereka yg gak logis... udah terbukti kok... berkali-kali !!!

    ReplyDelete