Sunday, December 31, 2006

Sejarah Tahun Baru 1 Januari

Rating:★★★★★
Category:Other
Assalamu'alaikum wr wb

Sejarah Tahun Baru 1 Januari
source from here


TANGGAL TAHUN BARU


Kalender Romawi kuno menggunakan tanggal 1 Maret sebagai Hari Tahun Baru. Belakangan, orang Romawi Kuno menggunakan tanggal 1 Januari sebagai awal tahun yang baru. Pada Abad Pertengahan, kebanyakan negara-negara Eropa menggunakan tanggal 25 Maret, hari raya umat Kristen yang disebut Hari Kenaikan Tuhan, sebagai awal tahun yang baru. Hingga tahun 1600, kebanyakan negara-negara Barat telah menggunakan sistem penanggalan yang telah direvisi, yang disebut kalender Gregorian.

Kalender yang hingga kini digunakan itu menggunakan 1 Januari kembali sebagai Hari Tahun Baru. Inggris dan koloni-koloninya di Amerika Serikat ikut menggunakan sistem penanggalan tersebut pada tahun 1752. Kebanyakan orang memperingati tahun baru pada tanggal yang ditentukan oleh agama mereka. Tahun baru umat Yahudi, Rosh Hashanah, dirayakan pada bulan September atau awal Oktober. Umat Hindu merayakannya pada tanggal-tanggal tertentu. Umat Islam menggunakan sistem penanggalan yang terdiri dari 354 hari setiap tahunnya. Karena itu, tahun baru mereka jatuh pada tanggal yang berbeda-beda pada kalender Gregorian tiap tahunnya.

SEJARAH DAN CARA MERAYAKAN DI MASA LAMPAU

Kebanyakan orang di masa silam memulai tahun yang baru pada hari panen. Mereka melakukan kebiasaan-kebiasaan untuk meninggalkan masa lalu dan memurnikan dirinya untuk tahun yang baru. Orang Persia kuno mempersembahkan hadiah telur untuk Tahun Baru, sebagai lambang dari produktivitas. Orang Romawi kuno saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Bulan Januari mendapat nama dari dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang). Orang-orang Romawi mempersembahkan hadiah kepada kaisar. Para kaisar lambat-laun mewajibkan hadiah-hadiah seperti itu. Para pendeta Keltik memberikan potongan dahan mistletoe, yang dianggap suci, kepada umat mereka. Orang-orang Keltik mengambil banyak kebiasaan tahun baru orang-orang Romawi, yang menduduki kepulauan Inggris pada tahun 43 Masehi.

Pada tahun 457 Masehi gereja Kristen melarang kebiasaan ini, bersama kebiasaan tahun baru lain yang dianggapnya merupakan kebiasaan kafir. Pada tahun 1200-an pemimpin-pemimpin Inggris mengikuti kebiasaan Romawi yang mewajibkan rakyat mereka memberikan hadiah tahun baru. Para suami di Inggris memberi uang kepada para istri mereka untuk membeli bros sederhana (pin). Kebiasaan ini hilang pada tahun 1800-an, namun istilah pin money, yang berarti sedikit uang jajan, tetap digunakan. Banyak orang-orang koloni di New England, Amerika, yang merayakan tahun baru dengan menembakkan senapan ke udara dan teriak, sementara yang lain mengikuti perayaan di gereja atau pesta terbuka.

PERAYAAN MODERN

Sekalipun tahun baru juga merupakan hari suci Kristiani, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Amerika. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan "Selamat Tahun Baru" dan menyanyikan Auld Lang Syne.

Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba futbol Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana.
____________________________________________________

Perayaan Tahun Baru


Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi maupun orang Kafir yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari.

Orang Kristen ikut merayakan Tahun Baru tersebut dan mereka mengadakan puasa khusus serta ekaristi berdasarkan keputusan Konsili Tours pada tahun 567. Pada mulanya setiap negeri mempunyai perayaan Tahun Baru yang berbeda-beda. Di Inggris dirayakan pada tanggal 25 Maret. Di Jerman dirayakan pada hari Natal sedangkan di Perancis dirayakan pada Hari paskah.

Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.

Bahan ini diambil dari:
Judul buku: Kamus Sejarah Gereja
Penulis : Drs. F.D. Wellem, M.Th.
Penerbit : BPK Gunung Mulia
Hal : 84
Source online
_____________________________________________________


For Muslims :

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟

“Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti cara/ jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai bila mereka masuk ke liang dhabb (binatang sejenis biawak yang hidup di padang pasir), niscaya kalian akan mengikuti mereka.”

Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nashara?”

Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?”
[HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu, lihat Al-Lu’lu Wal Marjan, hadits no. 1708]


Wassalamu'alaikum wr wb

Friday, December 29, 2006

Menyoal "Pembaruan Islam"

Rating:★★★★★
Category:Other
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, MA, M.Phil
Doktor Pemikiran Islam, ISTAC,
Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization

Tantangan ekternal terberat yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah hegemoni konsep-konsep Barat dalam berbagai bidang ilmu termasuk dalam pemikiran keagamaan Islam. Kini tidak sedikit konsep, metode, dan pendekatan yang digunakan cendekiawan Muslim dalam studi Islam berasal dari atau dipengaruhi Barat.

Barat dapat diidentifikasi menjadi dua periode dan paham penting yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme mengusung pandangan hidup saintifik, sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara befikir dikotomis, pragamatisme, penafian kebenaran metafisis (baca: Agama), dan sebagainya. John Lock, filosof Barat modern menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, persamaan, adalah inti modernisme. Tapi yang menonjol adalah sekularisme, baik bersifat moderat dan ekstrem.

Sedangkan postmodernisme, adalah gerakan yang mengritik modernisme yang elitis menjadi populis. Hasilnya adalah paham-paham baru seperti nihilisme, relativisme, persamaan, pluralisme, dan umumnya anti-worldview. Meski begitu, postmodernisme masih dianggap kelanjutan modernisme. Keduanya membawa konsep-konsep penting dengan kendaraan globalisasi.

Pengaruh modernisme

Pengaruh Barat dalam pemikiran Islam dapat dilihat dari model pembaruan pemikiran keagamaan Islam atau tajdid. Pembaruan sering diterjemahkan menjadi modernisasi dan kini bahkan menjadi liberalisasi. Padahal tajdid berbeda dari modernisasi ataupun liberalisasi baik secara etimologis maupun konseptual. Malangnya, perbedaan ini tidak dicermati, dan konsep-konsep di dalamnya buru-buru diadopsi tanpa proses epistemologi yang jelas.

Pembaruan pemikiran Islam yang dimotori (alm) Nurcholish Madjid dan kini bergulir menjadi proyek liberalisasi Islam di Indonesia adalah contoh yang paling jelas. Pembaruan dimaksud ternyata secara eksplisit mengusung, memodifikasi, atau menjustifikasi konsep modernisme, sekularisme, dan rasionalisme.

Tanpa menggunakan terminologi Islam, Nurcholish berargumentasi bahwa inti modernisasi adalah ilmu pengetahuan, dan rasionalisasi adalah keharusan mutlak sebagai perintah Tuhan. Maka dari itu modernitas membawa pendekatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pengaruh paham modernisme dalam pemikiran Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu sekularisasi untuk memahami agama. Sekularisasi menurutnya adalah menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam untuk mengukhrawikannya. Gagasan ini kemudian diperkuat dengan ide liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam yang intinya memandang negatif terhadap tradisi dan kaum tradisionalis. Ternyata gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert N Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen. Tidak ada modifikasi yang berarti di situ. Ia hanya mencarikan justifikasinya dari dalam ajaran Islam.

Nurcholish mencoba membatasi makna sekularisasi agar tidak berarti sekularisme. Batasnya adalah kepercayaan terhadap Hari Kemudian dan prinsip ketuhanan. Namun, pembatasan ini tetap saja bersifat memisahkan secara dikotomis. Ini tidak beda dari prinsip orang-orang sekuler di Barat. Mereka percaya pada Hari Akhir dan pada Tuhan, tapi tidak ingin agama mencampuri kehidupan dunia mereka. Agama adalah urusan pribadi dan tidak boleh masuk ruang publik. Padahal, dalam Islam agama adalah urusan dunia dan akhirat, urusan pribadi dan urusan publik sekaligus. Jadi secara epistemologis akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisasionisme (secularizationism).

Fazlur Rahman, pembimbing tesis Nurcholish di Chicago, mengakui bahwa Muslim modernis terpengaruh oleh Barat ketika menekankan penggunaan akal dalam memahami masalah agama, demokrasi, dan wanita. Prof Dr HM Rasjidi (lulusan Universitas Sorbone, Paris) yang banyak tahu konsep-konsep Barat, bahkan mengritik konsep pembaruan Nurcholish yang saat itu ia baru lulus S1. Sayangnya, kritik itu tidak direspons dan tidak menelurkan suasana dialogis yang produktif. Komunitas intelektual kita belum memiliki tradisi kritik.

Contoh lain dari pengaruh modernisme adalah gagasan pembaharuan Dr Harun Nasution. Tidak beda dari Nurcholish ia mengusung konsep rasionalisasi. Gagasan ini dikembangkan dalam studi Islam di seluruh IAIN. Namun, berbeda dari Nurcholish, Harun mencanangkan gagasannya itu setelah ia menyelesaikan doktornya di Institute of Islamic Studies McGill, Kanada dengan thesis berjudul 'Posisi Akal dalam Pemikiran Teologi Muhammad Abduh'. Karya-karyanya yang ia tulis setelah kepulangannya dari Kanada dijadikan buku teks terutama di lingkungan IAIN.

Hanya sayangnya ia mengangkat kembali doktrin teologi Mu'tazilah dan mengecilkan doktrin teologi Ash'ariyyah. Asumsinya bahwa teologi yang dipakai umat Islam di masa kejayaannya, di zaman kekhalifahan Abbasiyah, adalah teologi rasional Mu'tazilah. Ia juga mengatakan bahwa selama umat Islam mempertahankan kepercayaan pada pandangan hidup fatalistik berdasarkan doktrin Ash'ariyyah, maka hampir mustahil dapat berpartisipasi dalam pembangunan negara. Untuk itu teologi Ash'ariyyah perlu diganti dengan teologi Mu'tazilah.

Tapi pemikirannya baru pada tingkat gagasan. Belum sampai pada pengungkapan teori tentang bagaimana hubungan akal dan wahyu, misalnya. Gagasan rasionalisasinya bahkan tidak sempat menghasilkan epistemologi baru. Asumsinya bahwa Mu'tazilah adalah teologi yang berhasil membawa Islam ke tingkat peradaban yang tinggi justru tidak terbukti dalam sejarah. Di masa kekuasaan Al-Mutawakkil, yang bukan Mu'tazilah itu, ilmu pengetahuan ternyata justru berkembang pesat.

Pengaruh postmodernisme

Jika gagasan Nurcholish dan Harun Nasution cenderung mengadopsi paham-paham dalam modernisme, liberalisasi lebih condong menerapkan paham-paham yang dibawa oleh postmodernisme. Liberalisasi membawa paham pluralisme agama, relativisme, feminisme-gender, demoktratisasi dan yang lain, dan tetap akur dengan sekularisme juga rasionalisme. Liberalisasi adalah kepanjangan tangan dari proyek westernisasi. Oleh karena itu tidak heran jika tren pemikiran ini menjadi sebuah gerakan sosial.

Tren pemikiran yang memisahkan agama dan pemikiran keagamaan adalah pengaruh relativisme postmo. Agama adalah absolut dan pemikiran keagamaan adalah relatif. Oleh karena itu tidak ada yang absolut dalam pemikiran kegamaan. Bahkan tidak ada yang tahu kebenaran kecuali Tuhan. Tren pemikiran yang mencoba menyamakan kebenaran semua agama berasal dari paham pluralisme agama, gerakan rekonstruksi fikih wanita dengan mengedepankan ide kesetaraan gender adalah pengaruh paham feminisme.

Akbar S Ahmed mengamati bahwa pemikiran postmodern yang liberal ini dihidupkan oleh semangat pluralisme, diperkuat oleh media, mendukung demokrasi, diposisikan berhadapan dengan fundamentalisme religius. Gerakannya berpusat di kota metropolitan, tumbuh subur dengan wacana-wacana tapi bersikap eklektis, dan terakhir terkait dengan masa lalu tapi dalam bentuk protes.

Selain itu, upaya-upaya pembaharuan pemikiran di dunia Islam, ternyata masih bersifat sporadis. Artinya tidak didukung oleh komunitas yang khusus bertekun dalam mengkaji, mengevaluasi, dan mengembangkan pemikiran Islam. Kelemahan yang lain, pemikiran yang konon merupakan pembaruan itu ternyata lebih cenderung menjustifikasi konsep-konsep Barat modern dan postmodern.

Akibatnya, pembaharuan seperti itu tidak membawa pencerahan, tapi justru memunculkan banyak kerancuan. Sebab paham, ide, nilai, dan filsafat ilmu Barat modern dan postmodern kini bercampur baur dalam pemikiran Islam. Akhirnya, Muslim berbicara ilmu pengetahuan Islam, sejarah Islam, dan bahkan ajaran Islam dengan pemahaman, nilai, ide, pendekatan, bahkan terminologi Barat.

Untuk itu apa yang diperlukan dalam pembaharuan pemikiran Islam, pertama-tama adalah menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam. Ini dimaksud agar umat Islam mampu melahirkan konsep-konsep Islam sendiri yang baru dalam berbagai bidang. Selain itu mengkaji pemikiran dan kebudayaan asing terutama Barat, pandangan hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, dan konsep-konsep penting lainnya. Ini agar Muslim tidak terjerumus pada kerja-kerja justifikasi konsep Barat.

Ikhtisar

- Westernisasi menjadi problem serius dan memberi banyak pengaruh negatif bagi pengembangan pemikiran Islam.

- Unsur Barat memberi warna yang sangat kental bagi lahirnya konsep-konsep yang selama ini disebut sebagai 'pembaruan Islam'.

- Pengaruh tersebut membuat fenomena yang disebut 'pembaruan Islam' itu melahirnya banyak kerancuan.

- Perlu penggalian yang mendalam terhadap khazanah ilmu pengetahuan Isalm dalam pembaruan pemikiran Islam.

http://www.republika.co.id


Friday, December 15, 2006

Kajian Kontemporer RISMATA - Tentang Poligami

Start:     Dec 19, '06
Assalamu'alaikum,

Semenjak salah satu tokoh da'i nasional kita memutuskan untuk berpoligami, pemberitaan tentang tokoh tersebut semakin meluas. Bukan hanya dari sisi pribadi tokoh tersebut, tapi juga meluas ke permasalahan poligaminya dari sudut pandang agama atau syariat.

Media punya peranan sangat vital sebagai pembentukan opini publik tentang poligami. Berbagai macam talkshow, seminar dan acara-acara lainnya tentang poligami diforsir habis-habisan dan yang perlu dicermati adalah kapabilitas seseorang untuk berbicara tentang poligami dari sudut pandang syariat. Kadangkala dalam beberapa acara televisi, seringkali menampilkan pembicara atau narasumber yang tidak kompeten (liberal) dalam menjelaskan tentang poligami, atau bisa jadi juga ada semacam konspirasi untuk merubah opini publik tentang hukum poligami yang telah jelas dihalalkan oleh Allah dengan syarat. Dan memang, poligami adalah sasaran yang empuk bagi para orientalis atau yang menjadikan Islam sebagai musuh.

Saat ini diperlukan media tandingan atau minimal kajian tentang poligami dari sumber yang memang mempunyai kapasitas untuk berbicara tentang poligami. Oleh karena itu RISMATA (Remaja Islam Masjid At Taqwa) akan mengadakan kajian yang cukup mendalam tentang poligami, dimulai dari sejarah berkembangnya poligami di dalam ajaran lain juga Islam dan urgensinya di masa sekarang.


Kajian Kontemporer RISMATA

Pembicara : Ust. H. Bukhori Yusuf, Lc M.A*
Hari Selasa Tanggal 19 Desember 2006
Waktu : Ba’da Isya (Setelah Shalat Isya)
Di Mesjid At-Taqwa
Jl.Sakti IV No.8 Komp Pajak,
Kemanggisan Jakarta Barat

Informasi : Fauzur 0852-1754-9905
             

* Ust. H. Bukhori Yusuf, Lc. M.A

Pendidikan

  • S1, Universitas Islam Madinah - Fakultas Hadits
  • S2, Pakistan

Jabatan

  • Sekretaris Pusat Konsultasi Syariah (PKS)
  • Direktur Kuliah Dirasat Islamiyah Al-Hikmah
  • Dewan Pengawas Syariah Persada Network

Aktifitas

  • Dosen
  • Muballigh
Semoga bermanfaat !

Wassalamu'alaikum

Friday, December 1, 2006

Ada Apa dengan Syafii Maarif ?

Rating:★★★★★
Category:Other
http://adianhusaini.blogspot.com. Dalam rapat pimpinan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Rabu (12/7/2006) lalu, Ketua Umum DDII Hussein Umar tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya terhadap tulisan Syafii Maarif di Harian Republika sehari sebelumnya. Tulisan Syafii dalam kolom Resonansi itu berjudul "Demi Keutuhan Bangsa". Seperti biasa, Syafii Maarif memposisikan sebagai ‘Bapak Bangsa’ yang sangat peduli dengan keutuhan bangsa Indonesia. Ia menempatkan dirinya sebagai ‘penyelamat bangsa’.

Tentu saja, posisi itu ideal. Tapi, sayangnya, pada saat itulah, Syafii lupa, bahwa pada berbagai bagian tulisannya, dia justru telah menyinggung banyak kalangan, yang ironisnya adalah sahabat-sahabat dekatnya sendiri, dari kalangan kaum Muslim. Bahasa yang digunakan Syafii pun bukan bahasa yang arif, yang menunjukkan kedewasaan seorang Profesor yang usianya sudah mencapai 70 tahun lebih, tetapi justru bahasa yang bernada pelecehan dan kasar. Banyak kalangan belum lupa, bagaimana Syafii Maarif meluncurkan istilah ‘preman berjubah’ untuk menunjuk kelompok yang tidak disukainya.

Dalam tulisannya di Republika kali ini, dia pun menggunakan istilah-istilah ‘peyoratif’ yang kasar yang bernada memperhinakan kalangan-kalangan yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Misalnya, dia gunakan istilah-istilah ‘’otak-otak sederhana’’, ‘’kedunguan’’, ‘’kebahlulan’’, dan sebagainya. Istilah-istilah seperti itu harusnya dihindari oleh seorang Profesor yang sudah begitu kenyang makan asam garam dalam dunia pergerakan di Muhammadiyah. Apalagi, logika dan argumentasi Syafii Maarif dalam tulisannya itu juga banyak yang tidak tepat dan keliru. Marilah kita simak cara berpikir Syafii Maarif.

Secara umum, tulisan Syafii Maarif itu mencoba membenturkan antara upaya penerapan syariat Islam secara legal formal dengan keutuhan bangsa Indonesia. Syafii menulis, bahwa “Keinginan untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam perda, mengapa tidak diintegrasikan saja dalam perda biasa, tidak dalam format Perda Syariah yang dapat melemahkan pilar-pilar integrasi masyarakat dan bangsa, dan ini berbahaya sekali.”

Cobalah kita simak baik-baik ungkapan Syafii Maarif tersebut. Betapa keliru dan berbahayanya logika berpikir semacam itu. Logika ini juga aneh, ahistoris, dan sama dengan logika kaum misionaris Kristen yang aktif di Partai Damai Sejahtera (PDS) yang menggugat peberlakuan perda-perda yang bernuansa syariah. Orang seperti Syafii, aktivis PDS, dan sejenisnya telah terjebak ke dalam logika yang keliru, bahwa syariat Islam adalah hukum-hukum yang sifatnya lokal, temporal, dan hanya berlaku untuk satu golongan tertentu.

Sebaliknya, mereka berpikir, bahwa hukum-hukum kolonial Belanda dan hukum-hukum Barat lain adalah berlaku universal untuk seluruh umat manusia. Karena itulah, Syafii Maarif tidak menyoal pemberlakuan hukum kolonial, dan tidak menyatakannya bertentangan dengan integrasi bangsa Indonesia. Sebaliknya, perda Syariat Islam dikatakannya dapat melemahkan pilar-pilar integrasi masyarakat dan bangsa, dan ini sangat berbahaya. Bukanlah logika semacam ini sangat keliru. Bukankah Rasulullah saw diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Apakah bukan sesuatu yang paradoks, jika seorang yang mengaku Muslim tetapi justru menyatakan syariat Nabi Muhammad adalah ancaman bagi integrasi bangsa?

Dalam kasus Indonesia, hukum Islam sudah diberlakukan di kepulauan Nusantara, beratus-ratus tahun sebelum kedatangan penjajah Belanda. Sebagai contoh, pada tahun 1628, Nuruddin ar-Raniri menulis Kitab Shirathal Mustaqim, yang merupakan kitab hukum pertama yang disebarkan ke seluruh Nusantara untuk menjadi pegangan umat Islam. Oleh Syekh Arsyad Banjar, kitab itu diperluas dan diperpanjang uraiannya dalam sebuah Kitab berjudul Sabilul Muhtadin, serta dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa di daerah Kesultanan Banjar.

Di daerah Kesultanan Palembang dan Banten diterbitkan pula beberapa kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam menyelesaikan masalah hidup dan kehidupan mereka. Hukum Islam diikuti pula oleh pemeluk Islam di wilayah-wilayah Kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Ngampel, Mataram, dan juga Mataram. Ini dapat dibuktikan dari karya para pujangga yang hidup pada masa itu, seperti Sajinatul Hukum.

Dengan fakta-fakta tersebut, Prof. Muhammad Daud Ali, guru besar hukum Islam di Universitas Indonesia, menyimpulkan, bahwa “sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam mempunyai kedudukan sendiri di dalam masyarakat. Sebagai hukum yang berdiri sendiri, hukum Islam telah ada dan berlaku di dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang disamping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami Nusantara ini.” (Lihat, Muhammad Daud Ali, ‘Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya’, dalam Juhaya S. Praja dkk, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1994), hal. 69-70.

Sebagai orang yang dihormati di berbagai kalangan, Syafii Maarif harusnya menjelaskan fakta-fakta sejarah tentang hukum Islam itu kepada kalangan non-Muslim dan orang-orang yang ketakutan terhadap syariah Islam; agar mereka paham dan tidak salah paham terhadap syariah Islam; bukannya malah menambah-nambah rasa ‘syariah-fobia’ di kalangan non-Muslim. Sebab, syariah Islam memang bukan untuk menakut-nakuti.

Selain itu, harusnya Syafii Maarif mempertegas pemikirannya, pada bagian mana dari syariat Islam yang dia tidak setujui. Dia tidak perlu menyatakan, bahwa perda syariat bertentangan denan integrasi bangsa. Bagaimana mungkin pikiran seperti itu bisa hinggap pada benak seorang Profesor, sedangkan di Indonesia sudah begitu banyak hukum yang secara tegas merupakan pelaksanaan syariat Islam, seperti Bank Syariat, Asuransi Syariat, Reksadana Syariat, hukum perkawinan syariat, dan sebagainya. Jika meninggal dunia pun, tentu Syafii Maarif maunya dimakamkan secara syariat Islam, bukan secara hukum Amerika. Dan perda yang mengatur cara pemakaman dan perkawinan secara syariat Islam pasti tidak membahayakan integrasi bangsa, bukan?

Syafii memang ingin, agar perda anti maksiat diperjuangkan di bawah payung Pancasila, khususnya sila pertama. Syafii boleh saja berpendapat seperti itu. Tetapi, dia harusnya menghormati aspirasi kaum Muslim yang ingin pelaksanaan perda itu ditegaskan dalam format yang tegas. Jika mengaku demokrat, Syafii pun harus menghormati aspirasi semacam itu, dan jangan mencemooh dengan kata-kata ‘dungu’, ‘bahlul’, dan sebagainya. Dia harus berbesar hati menerima realitas bangsa yang plural dan bermacam-macam aspirasinya. Jika ingin diakui sebagai negarawan besar, harusnya Syafii mampu membaca realitas itu. Jangan aspirasi kaum PDS Kristen dia telan, sedangkan aspirasi kaum Muslim dia lecehkan dan dia perhinakan. Sayang, melalui kolomnya di Republika itu, Syafii Maarif justru memperhinakan dan mengecilkan dirinya sendiri.

Meskipun dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah, dan pernah memimpin Muhammadiyah, Syafii Maarif bukanlah seorang pakar di bidang syariat Islam. Dia belum pernah menulis buku yang serius tentang itu. Dia memang guru besar sejarah, khususnya sejarah perpolitikan Islam di Indonesia. Karena itu, pendapat-pendapatnya tentang syariat Islam seringkali tidak sepenuhnya benar. Di dalam tulisannya itu pun Syafii membuat pernyataan yang sangat lemah argumentasinya. Sebagai contoh, dia tulis, ‘’Secara umum, bukankah isi syariah yang diwarisi sekarang ini sebagian besar adalah hasil ijtihad abad pertengahan yang pasti terikat dengan ruang dan waktu ?’’

Pernyataan Syafii Maarif ini terlalu gegabah bagi seorang bergelar professor. Hukum-hukum tentang zina, judi, jilbab, haji, shalat, zakat, puasa, dan sebagainya, sudah diberlakukan sejak zaman Nabi Muhammad saw. Para ulama berikutnya hanyalah melakukan sistematisasi dan melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah baru yang muncul di tengah masyarakat, dan bukan membuat syariah baru, yang berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan Sunnah. Jika yang dimaksud Syafii adalah kitab-kitab fiqih karya para ulama, maka itu pun sangat keliru. Sebab, kegemilangan ilmu fiqih telah dicapai di masa imam-imam Mazhab.
 
Para Imam mazahab itu hidup di awal-awal sejarah Islam. Imam Abu Hanifah lahir tahun 699 M; Imam Maliki tahun 712 M; Imam Syafii tahun 767 M; dan Imam Ahmad bin Hanbal lahir tahun 780 M. Jika Newton merumuskan teori gravitasi bukan berarti Newton yang menciptakan hukum gravitasi. Jika para ulama mazhab menggali dan merumuskan syariah Islam dalam kitabnya, dengan merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah, bukan berarti ulama-ulama itu yang menciptakan hukum. Hukum itu tetap hukum Allah, sebagaimana hukum gravitasi.

Para Imam itulah yang kemudian menjadi rujukan umat Islam di berbagai dunia, tidak pandang waktu dan tempat. Karena sifatnya yang universal untuk manusia, hukum Islam tidak memandang waktu, tempat, dan budaya.
 
Khamr adalah haram untuk seluruh manusia, dimana pun dan kapan pun. Zina adalah haram, apakah untuk orang Yogya atau orang Arab. Zakat diwajibkan untuk seluruh Muslim di tempat mana pun dan kapan pun. Judi diharamkan untuk semua manusia. Seluruh ulama sepakat bahwa babi adalah haram, tidak pandang waktu dan tempat; tidak pandang, apakah di tempatnya banyak ternak babi atau ternak kambing. Riba diharamkan untuk semua manusia dan semua tempat. Menutup aurat diwajibkan untuk semua wanita Muslimah, tidak peduli, dimana pun dia berada; apakah di Yogya tempat tinggal Syafii Maarif atau di Amerika tempat tinggal Madonna.

Jadi, sangatlah sembarangan, jika Syafii Maarif menyatakan, bahwa syariah senantiasa terikat dengan ruang dan waktu. Tentu saja dalam pelaksanaan hukum ada perbedaan model dan gaya. Bisa saja model jilbab di Arab Saudi berbeda dengan di Bandung. Tetapi, semuanya wajib menutup seluruh aurat wanita, kecuali muka dan telapak tangan. Bisa saja merk khamr berbeda, antara vodka di Rusia dengan minuman Arak cap anjing di Indonesia. Tapi, semuanya adalah khamr dan hukumnya haram. Semuanya adalah syariah Islam, syariah yang satu. Umat Islam tidak pernah mengenal istilah syariah Arab, syariah Iran, syariah Pakistan, syariah Jawa, syariah Batak, syariah Padang, syariah India, syariah Papua, dan sebagainya.

Juga, sejarah Islam sebenarnya tidak mengenal istilah “abad pertengahan” sebagaimana dalam sejarah Barat. Bagi Barat, abad pertengahan adalah identik dengan “zaman kemunduran” dan “zaman kegelapan” (the dark ages). Jika Syafii Maarif menelaah dengan jeli sejarah Islam dan membandingkannya dengan sejarah Barat, maka tidak seharusnya dia mengikuti periodisasi sejarah sebagaimana yang dialami peradaban Barat.

Ketika Barat berada dalam zaman kegelapannya, di abad pertengahan, justru kaum Muslim sedang berada dalam puncak-puncak ketinggian prestasi peradabannya. Ketika itulah, kaum Muslim memegang kendali dunia. Maka, istilah “abad pertengahan” dengan konotasi kemunduran seperti yang dialami peradaban Barat, tidak sepatutnya digunakan untuk sejarah umat Islam. Sebagai professor sejarah, Syafii Maarif harusnya memahami masalah ini.

Akan tetapi, di tengah berbagai kekeliruan dalam pola pikir Syafii Maarif, kita perlu memberikan apresiasi terhadap niatnya untuk membela Islam. Syafii tampak berbeda dengan orang seperti Dawam Rahardjo yang sudah tegas-tegas memposisikan dirinya sendiri di mana berada. Syafii dikenal sebagai orang yang hidup sederhana dan cukup tegas dalam masalah moralitas.
 
Sayangnya, dia banyak keliru dalam masalah pemikiran Islam. Satu hal yang perlu kita perhatikan dari kritik positif Syafii Maarif adalah seruannya agar orang-orang yang memperjuangkan syariah Islam benar-benar serius, bukan semata-mata untuk kepentingan isu politik sesaat. Dalam hal ini, kita tentu setuju, bahwa para penyeru syariah Islam seyogyanya menerapkannya untuk diri sendiri dan kelompoknya terlebih dahulu.

Selain itu, Syafii juga benar, bahwa penerapan syariah memanglah sesuatu yang panjang dan komplek. Aspek legalitas syariah dalam bentuk hukum positif adalah salah satu aspek saja dari suksesnya penegakan syariah. Masih diperlukan unsur-unsur lain yang mendukungnya, seperti aparat hukum yang baik, sistem peradilan yang baik, dan juga kesiapan masyarakat dalam menerima hukum Islam. Semua aspek itu harus dikerjakan secara simultan.

Kita memang heran, mengapa Syafii Maarif begitu sinis terhadap penerapan Syariah? Ada apa sebenarnya dengan Syafii Maarif? Tapi, kita doakan saja, semoga Professor Doktor Syafii Maarif – meskipun di usianya yang senja – bersedia ngaji lagi dengan baik kepada orang yang benar-benar ulama, agar tidak keliru cara berpikirnya dalam memandang Islam.

Wallahu a’lam
.


Dari Adian Husaini untuk Syafi'i Ma'arif

Rating:★★★★★
Category:Other

Adian Husaini
Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia
http://www.republika.co.id


Pada Selasa, 21 November 2006, Syafii Maarif menulis kolom Resonansi di Republika yang berjudul 'Hamka Tentang Ayat 62 Al Baqarah dan Ayat 69 Al Maidah'. Hari itu, saya sedang di Gresik mengisi acara kajian tentang Islam Liberal di Pesantren Maskumambang Gresik, Jawa Timur. Mulai pagi hingga malam hari, bertubi-tubi SMS masuk ke HP saya yang mempersoalkan isi tulisan tersebut.

Rabu paginya, saya baru sempat membaca tulisan Syafii Maarif. Setelah saya cek ke Tafsir Al Azhar yang dirujuk Syafii, memang ada sejumlah hal yang perlu diperjelas dari tulisan Syafii, agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru terhadap sosok Hamka. Ayat Alquran yang dibahas Syafii Maarif memang saat ini sedang gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pendukung paham pluralisme agama untuk menjustifikasi paham yang meyakini bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang satu itu.

Dalam pandangan pluralisme agama 'versi transendentalisme' ini, tidak ada agama yang salah, dan tidak boleh satu pemeluk agama yang mengklaim hanya agamanya sendiri sebagai jalan satu-satunya menuju Tuhan. Kalangan pluralis kemudian mencari-cari dalil dalam kitab suci masing-masing untuk mendukung paham ini. Yang dari kalangan Islam biasanya menjadikan QS 2:62 dan 5:69 untuk menjustifikasi pandangannya. Kalangan Hindu pluralis, misalnya, biasanya suka mengutip Bagawad Gita IV:11: 'Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-ku, semuanya aku terima.'

Tentu saja, legitimasi paham pluralisme agama dengan ayat-ayat tertentu dalam kitab suci masing-masing agama mendapatkan perlawanan keras dari tiap agama. Tahun 2000, Vatikan telah menolak paham pluralisme dengan mengeluarkan dekrit Dominus Jesus. Tahun 2004, seorang pendeta Kristen di Malang menulis buku serius tentang paham pluralisme agama berjudul 'Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini'. Tahun 2005, MUI juga mengeluarkan fatwa yang menolak paham pluralisme agama. Dan tahun 2006, Media Hindu juga menerbitkan satu buku berjudul 'Semua Agama Tidak Sama'. Buku ini juga membantah penggunaan ayat dalam Bhagawat Gita IV:11 untuk mendukung paham penyamaan agama yang disebut juga dalam buku ini sebagai paham universalisme radikal.

Penyalahgunaan

Di kalangan kaum pluralis yang beragama Islam, QS 2:62 dan 5:69 biasanya dijadikan legitimasi untuk menyatakan, bahwa umat beragama apa pun, asal beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir, serta berbuat baik, maka dia akan mendapat pahala dari Allah dan masuk sorga. Karena itu, untuk mendapatkan keselamatan di akhirat, kaum Yahudi dan Kristen, misalnya, tidak perlu beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk mencari legitimasi, yang sering dijadikan rujukan adalah Tafsir Al Manar yang ditulis Rasyid Ridha.

Prof Abdul Aziz Sachedina, misalnya, dalam satu artikelnya berjudul Is Islamic Revelation an Abrogation of Judaeo-Christian Revelation? Islamic Self-identification, menyatakan: "Rasyid Ridha tidak mensyaratkan iman kepada kenabian Muhammad bagi kaum Yahudi dan Kristen yang berkeinginan untuk diselamatkan, dan karena itu, ini secara implisit menetapkan validitas kitab Yahudi dan Kristen."

Sachedina dan sejumlah Pluralis lainnya tidak cermat dan tidak lengkap dalam mengutip Tafsir Al Manar, sehingga berkesimpulan seperti itu. Padahal, dalam Tafsir Al Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi Muhammad saw tidak sampai.

Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Rasyid Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, di antaranya: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, (2) beriman kepada Alquran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Al Manar juga menyebutkan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani, tidak bisa disebut ahl al fathrah, yang berhak memperoleh keselamatan dan tidak ada alasan untuk membebaskan mereka dari hukuman, karena mereka masih dapat mengenali ajaran kenabian yang benar.

Dengan logika sederhana sebenarnya kita bisa memahami, bahwa untuk dapat 'beriman kepada Allah' dan Hari Akhirat dengan benar dan beramal saleh dengan benar, seseorang pasti harus beriman kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rasul Allah. Sebab, dalam konsep keimanan Islam, hanya melalui rasul-Nya, kita dapat mengenal Allah dengan benar; mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. Juga, hanya melalui Nabi Muhammad SAW, kita dapat mengetahui, bagaimana cara beribadah kepada Allah dengan benar.

Pendapat Hamka

Pendapat Hamka tentang keselamatan kaum non-Muslim dalam pandangan Islam sebenarnya juga tidak berbeda dengan para mufassir (ahli tafsir) terkemuka yang lain, termasuk ketika menafsirkan QS 2:62 dan 5:69. Karena itu, Hamka memandang, ayat itu tidak bertentangan dengan QS 3:85 yang menyatakan: "Dan barang siapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi." Jadi, QS 3:85 tidak menasakh QS 2:62 dan 5:69 karena memang maknanya sejalan.

Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 --sebagaimana juga dikutip Syafii Maarif-- bahwa "Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firman-Nya, segala rasul-Nya dengan tidak terkecuali dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang saleh."

Jadi, Hamka tetap menekankan siapa pun, pemeluk agama apa pun, akan bisa mendapatkan pahala dan keselamatan, dengan syarat dia beriman kepada segala firman Allah, termasuk Alquran, dan beriman kepada semua nabi dan rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW. Jika seseorang beriman kepada Alquran dan Nabi Muhammad SAW, maka itu sama artinya dia telah memeluk agama Islam. Itulah makna QS 3:85 yang sejalan dengan makna QS 2:62 dan 5:69.

Soal keimanan kepada Nabi Muhammad SAW dan Alquran itulah yang sejak awal ditolak keras oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi menolak mengimani Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW. Dan kaum Nasrani menolak untuk beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kaum Muslim mengimani Nabi Musa, Nabi Isa, dan juga Nabi Muhammad SAW, sebagai penutup para Nabi.

Hamka adalah sosok ulama yang gigih dalam membela aqidah Islam. Tahun 1981, dia memilih mundur dari Ketua Majlis Ulama Indonesia, daripada harus menarik kembali fatwa haramnya merayakan Natal bersama bagi umat Islam. Beberapa hari kemudian, beliau meninggal dunia. Sosok Hamka sangat jauh berbeda dengan para pengusung paham pluralisme agama. Mudah-mudahan tulisan ini memperjelas sikap Hamka dalam masalah keimanan Islam.

Ikhtisar

- Ayat 62 Surat Al Baqarah dan ayat 69 Surat Al Maidah kerap digunakan untuk menjustifikasi paham pluralisme agama.
- Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di masyarakat Muslim, tapi juga di kalangan umat beragama lain.
- Tiap agama pun melawan paham tersebut.
- Sosok Hamka sangatlah jauh berbeda pandangannya dengan para pengusung paham pluralisme agama.


Baca juga :

Dari Syamsul Hidayat untuk Syafi'i Ma'arif


Tuesday, November 28, 2006

Selamat datang, INSISTS! (Full version)

Rating:★★★★★
Category:Other
Oleh : Wisnu Pramudya

Izinkan saya memperkenalkan sekumpulan pemuda kepada Anda sekalian. Mereka berotak encer, dan berendah hati terhadap guru dan ulama. Mereka menguasai minimal dua bahasa asing (tidak sedikit yang kemudian menguasai Latin, Jerman, Ibrani, dan beberapa lainnya), dan sebagian diantaranya hafizh Quran. Mereka bergelar master, doktor, dan berdisiplin menjaga kehidupan ‘ubudiyah-nya serta syari’ah dalam keluarganya. Last but not least, mereka menguasai seluk-beluk pemikiran dan peradaban Barat (berikut segala manfaat yang diberikan juga penyakit-penyakit yang disebarkannya), sama kuatnya dengan penguasaan mereka tentang seluk-beluk pemikiran dan peradaban Timur, dan sudah tentu tentang ‘ulumud-Dien, Al-Islam.

Bulan-bulan ini mereka dalam proses pulang kampung setelah berkelana menimba ilmu. Sebagian besar mereka belajar di Kuala Lumpur, di tempat yang bernama ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization). Di institut ini, mereka dibawa oleh guru utamanya, Prof Syed Muhammad Naquib Al-Attas, bergaul seakrab mungkin dengan metologi dan epistemologi Barat, bukan hanya lewat buku, tetapi langsung dengan orientalis-orientalis tulen yang menjadi dosen-dosen mereka. Pada saat yang sama, Prof Al-Attas menanam kaki mereka sedalam-dalamnya pada worldview Islam, kemudian langsung membenturkan keyakinan mereka akan Quran dan Sunnah menghadapi berbagai peradaban dunia. Dengan cara itu, para pemuda ini tumbuh menjadi sangat kaya akan keterampilan dan pemahaman mengenai detil-detil kurva berbagai peradaban --termasuk Barat, namun semakin hari semakin yakin dan percaya diri, bahwa al-Islaamu ya’lu wa laa yu’la ‘alaih (Islam itu tinggi dan tak ada yang lebih tinggi daripadanya).

Tradisi ilmu

Mereka bisa menerima secara arif manfaat-manfaat yang diberikan peradaban lain -- termasuk Barat, namun di saat yang sama mereka mampu mengupas koreng-korengnya yang membahayakan umat manusia. Semakin akrab mereka dengan W.C. Smith, Hans Kung, Fritjof Schuon, Arthur Jeffery, Harvey Cox, Montgomery Watt, Derrida, Nietczhe, Mohandas Gandhi, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Annemarie Schimmel dan lain-lain, para pemuda kita ini tidak kemudian jadi nggumun (terkagum-kagum), lalu tergopoh-gopoh mematut diri agar sepantas mungkin tampil senada dengan para tokoh tersebut. Keakraban itu justeru membuat mereka kian piawai mencermati dan menempatkan secara jernih posisi masing-masing tokoh terkenal tadi –dan para pengikutnya-- di atas peta peradaban dan keilmuan dunia.

Pada saat yang sama, mereka justeru semakin yakin, bahwa Muhammad Saw, para shahabat radhiallaahu ‘anhum, juga Bukhari, Muslim, Syafii, Maliki, Hambali, Hanafi, Al-Ghazali, Qurthubi, dan warasaatul anbiya’ (para pewaris nabi) berikutnya, jauh lebih pantas disegani baik dari segi akhlaq kepribadian, maupun kelas intelektualnya, dibandingkan rombongan nama yang pertama tadi. Selain itu, semakin kuat pula keyakinan mereka, bahwa Islamlah yang paling berhak mengklaim diri sebagai sumber kebenaran, dalam semua aspek keilmuan dan kehidupan.

Para pemuda ini menamakan dirinya INSISTS (Institute for the Study of Islamic Tought and Civilization). Rumusan misi mereka sederhana, namun menjanjikan perjalanan yang panjang, berat, dan penuh tantangan sekaligus harapan. Izinkan saya mengutipnya dari salah satu e-mail dalam diskusi mereka: “..Semoga niat kita membangun tradisi ilmu dan peradaban Islam yang agung, berdasarkan khazanah intelektual Islam, dapat tercapai...”

Mengenai “tradisi ilmu dan peradaban” yang bagaimana yang hendak mereka bangun, sebagian kecil bisa dibaca di buku “Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas” (Mizan, Juli 2003). Penulisnya Prof Wan Mohd Nor Wan Daud, salah satu murid utama Prof Al-Attas, pernah berguru pada Fazlur Rahman di Chicago, sehingga berteman akrab dengan Pak Syafi’i Ma’arif, Mas Amien Rais, juga Cak Nurcholish Madjid. Ia juga mentor utama para pemuda kita tadi semasa di ISTAC.

Buku ini diterjemahkan dari “The Educational Phyilosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas” oleh tim penerjemah yang dipimpin Hamid Fahmy Zarkasyi, salah satu ahli waris Pesantren Darussalam Gontor. Mas Hamid ini diangkat teman-temannya menjadi pemimpin mereka, jabatan formalnya direktur INSISTS, sekaligus pemimpin redaksi majalah ISLAMIA.

Oh.. bukan, bukan. Buku itu bukan sebuah langkah awal membangun mazhab atau firqah baru bernama Attasiyah. Al-Attas bukan orang pergerakan yang salah satu kegiatannya menekuni dunia perebutan kekuasaan demi memenangkan anjuran-anjuran Islam melalui jalan itu. Sejauh yang saya amati, Al-Attas sadar tentang kafa’ah dan posisinya. Dia tidak beragenda jadi pemimpin di jalur kekuasaan. Dia juga bukan pemimpin tariqat atau  gerakan spiritual. Lewat posisinya sebagai pemikir dan ilmuwan, dia membantu semua orang yang memperjuangkan kebenaran Islam di semua sektor.

Vienna 1683

Salah satu bab buku itu berisi uraian Prof Wan Daud mengenai, pandangan Al-Attas tentang kekusutan konsep yang terjadi dalam dunia Islam, antara apa itu “ilmu pengetahuan” dan bedanya dengan “mengetahui”. Sejak kegagalan penaklukan kota Vienna tahun 1683 oleh Khilafah Utsmaniyah, diikuti berbagai kekalahan lainnya, para ulama dan pemikir Muslim sudah mendeteksi betapa merosotnya tradisi ilmu, sains, dan teknologi di kalangan umat Islam. Karenanya kebangkitan peradaban harus dimulai dengan kebangkitan ilmu.

Sayangnya, menurut Al-Attas, pada perkembangan semakin ke sini, kebangkitan ilmu itu banyak diidentikkan dengan “modernisasi” yang agenda utamanya adalah “mengejar ketertinggalan dari Barat”. Sebuah kesalahan yang dianggap fatal oleh Al-Attas, karena proyek “modernisasi” itu dalam waktu yang sama mengagendakan dipinggirkannya Islam sebagai syarat untuk menjadi modern. Islam tidak boleh menjadi sesuatu yang dominan dalam kehidupan masyarakat modern.

Bagi Al-Attas, lawan kata “ilmu” bukan hanya “kebodohan”, namun juga “ilmu yang menyesatkan manusia dari kebenaran”. Jika pengembangan sains dan teknologi dilakukan diatas landasan yang TIDAK akan membawa umat manusia pada kebenaran Islam, maka jalan dari pengembangan sains dan teknologi itu pasti membawa manusia pada kehancuran. Al-Attas, lulusan SOAS (School of Oriental and African Studies) di Universitas London, mengutip satu bagian dari Lisaan al-‘Arab karya Ibnu Manzhur, bahwa kebodohan terbagi dua jenis: kebodohan ringan dan kebodohan berat. Kebodohan ringan, yaitu kurangnya ilmu mengenai apa yang seharusnya diketahui. Sedangkan kebodohan berat, yaitu keyakinan yang salah yang bertentangan dengan fakta ataupun realitas, meyakini sesuatu yang berbeda dari sesuatu itu sendiri, ataupun melakukan sesuatu dengan cara-cara yang berbeda dari bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan.

Menurut uraian Wan Daud, “kebodohan ringan bisa diobati dengan pengajaran biasa atau pendidikan, tetapi kebodohan yang berat.. merupakan sesuatu yang sangat berbahaya dalam pembangunan keilmuan, keagamaan, dan moralitas individu dan masyarakat, sebab kebodohan jenis ini bersumber dari spiritualitas yang tidak sempurna, yang dinyatakan dengan sikap penolakan terhadap kebenaran.”

Pemuda-pemuda kita tadi berniat meletakkan pondasi konsep tradisi ilmu yang tidak kusut, baik lewat tradisi ilmu-ilmu fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah. Tradisi yang akan membawa manusia pada kebenaran Islam. Ilmu-ilmu fardhu ‘ain adalah yang bila tidak menguasainya seseorang atau sebuah masyarakat pasti tidak akan bisa hidup sesuai anjuran Islam, sedangkan ilmu-ilmu fardhu kifayah adalah yang dengannya seseorang akan menjaga kesejahteraan hidup umat manusia. Jadi tak ada pemisahan antara “ilmu agama” dan “ilmu umum”, atau “ilmu akhirat” dan “ilmu dunia”. Tidak ada itu. Yang ada adalah pembedaan antara “ilmu fardhu ‘ain” dan “ilmu fardhu kifayah”.

Tujuan dari tradisi ilmu seperti ini, bukan menghasilkan masyarakat yang pandai “mengetahui banyak hal” di berbagai bidang, sebagaimana yang dihasilkan dunia pendidikan manapun dewasa ini. Tujuan tradisi ilmu Islam adalah menghasilkan manusia-manusia yang ber-‘adab. ‘Adab menurut Al-Attas, mencakup pengetahuan dan pengakuan tentang segala sesuatu secara benar; kualitas, sifat-sifat, dan tingkah laku yang baik untuk mendisiplinkan pikiran dan jiwa; dan penonjolan tingkah laku yang benar dan tepat sebagai kebalikan dari tingkah laku yang salah dan tidak sesuai.

Sejak awal mula proses pulang kampung para pemuda kita ini, sudah tergambar jelas ada tiga tantangan utama yang akan dihadapi INSISTS. Pertama, diri mereka sendiri. Kedua, tokoh-tokoh pemimpin Muslim dan ulama yang belum faham. Ketiga, umat Islam secara keseluruhan. Di luar ketiga tantangan ini, urusannya relatif lebih gampang.

Tantangan kedua dan ketiga akan cair dengan sendirinya, jika tantangan pertama mampu ditangani dengan baik. Tantangan pertama bagi para pemuda INSISTS secara garis besar menuntut tiga hal: satunya kata dan perbuatan, menjaga sikap rendah hati, serta meningkatkan kecanggihan (baca: kesesuaian cara dan publik yang dihadapi) dalam membahasakan gagasan.

Kesalahan membahasakan diri juga bisa jadi masalah yang tidak perlu. Misalnya, perkenalan diri yang berisi maklumat seolah-olah akan “mengoreksi” semua elemen umat Islam yang lain. Ya, ya, ya. Memang INSISTS akan melakukan banyak koreksi di tubuh umat Islam khususnya Indonesia, tapi biarkan it goes without saying. Elemen umat yang berijtihad untuk mulai bergerak di bidang politik, ekonomi, atau sosial, misalnya, sebaiknya di tahap awal jangan disalah-salahkan. Lebih maslahat jika para pemuda kita ini berkonsentrasi membantu semua elemen umat memagari diri mereka dari “kekufuran epistemologis”, yang pelan tapi pasti dan banyak tidak disadari, bisa juga diidap oleh sebagian kalangan pergerakan Islam.

Selamat datang, INSISTS!


Dari Irena Handono untuk Syafi'i Ma'arif

Rating:★★★★★
Category:Other
Oleh: Irena Handono *
http://hidayatullah.com


Ahmad Syafii Maarif, bekas ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah,   menerima pesan singkat dari  jenderal polisi yang bertugas di Poso. Sang jenderal minta Syafii   membantunya memahami ayat 62 surat Al-Baqarah. Jenderal itu berharap makna ayat itu akan membantunya  mengurai konflik yang terjadi di Poso. Tulisan yang dimaksud berjudul, “Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah” di  Harian Republika, (Selasa 21 November 2006).

Di bawah ini kutipannya;

Pada suatu hari bulan November 2006 datanglah sebuah pesan singkat dari seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di Poso menanyakan tentang maksud ayat 62 surat al-Baqarah. Kata jenderal ini pengertian ayat ini penting baginya untuk menghadapi beberapa tersangka kerusuhan yang ditangkap di sana. Karena permintaan itu serius, maka saya tidak boleh asal menjawab saja, apalagi ini menyangkut masalah besar yang di kalangan para mufassir sendiri belum ada kesepakatan tentang maksud ayat itu. Ayat yang substansinya serupa dapat pula ditemui dalam surat al-Maidah ayat 69 dengan sedikit perdedaan redaksi. Beberapa tafsir saya buka, di antaranya Tafsir al-Azhar karya Hamka yang monumental itu.

Dalam tulisan itu, Syafii juga mengatakan jika yang dimaksud Hamka itu adalah masalah toleransi. Padahal bukan. Menurut saya, buku tafsir itu dibacanya dengan fikiran  yang “berkabut”.  Kesimpulannya, hal-hal yang benar dari Hamka tertutup dan memunculkan pemikiran Syafii Maarif sendiri.

“Sikap Hamka yang menolak bahwa ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Maidah telah dimansukhkan oleh ayat 85 surat Ali 'Imran adalah sebuah keberanian seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing. Sepengetahuan saya tidak ada Kitab Suci di muka bumi ini yang memiliki ayat toleransi seperti yang diajarkan Al-Quran. Pemaksaan dalam agama adalah sikap yang anti Alquran (lih. al-Baqarah 256; Yunus 99).”

Menurut Syafii Maarif, Hamka adalah seorang mufassir yang berani. Saya setuju dan benar sekali. Bahkan beliau sudah menafsirkan ayat-ayat Allah dengan tepat dan gamblang, termasuk surat Al-Baqarah ayat 62 dan Al-Maidah ayat 69 serta  Ali Imran ayat 85 yang terkait dengan ayat 62  surat Al- Baqarah.

Tafsir Hamka terhadap surat Al-Baqarah ayat 62: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabiin,   barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shaleh, maka untuk mereka adalah ganjaran di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita "

Surat AlMaidah ayat 69: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang Yahudi dan (begitu juga) orang Shabiun, dan Nashara, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, dan diapun mengamalkan amal yang shaleh, maka tidaklah ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita."

Merujuk pada Tafsir Al Azhar. karya Prof.DR Hamka, seharusnya Syafii Maarif bisa menjawab  pertanyaan sang jenderal polisi dengan tegas dan benar. Sebab pada buku juz   1 halaman 212, Hamka menyatakan sebagai berikut :

"Di dalam ayat ini dikumpulkanlah keempat golongan ini menjadi satu. Bahwa semua mereka tidak merasakan ketakutan dan dukacita asal saja mereka sudi beriman kepada Allah dan Hari Akhirat dan diikuti dengan amal yang saleh. Dan keempat-empat golongan itu lalu beriman kepada Allah dan Hari Akhirat itu akan mendapat ganjaran di sisi Tuhan mereka."

Jadi, penafsiran Prof DR Hamka, bukan tentang toleransi antar ummat beragama, tapi yang paling pokok adalah keempat golongan itu hendaknya   beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Itulah syarat mutlak untuk mendapatkan ganjaran disisi Tuhan mereka. Mestinya penafsiran yang gamblang ini jangan lagi diberi bayang-bayang kabut, karena tidak ada ayat Al Quran yang saling bertentangan, tapi justru saling melengkapi.

Sebaliknya, Syafii Maarif "menjejalkan" fikirannya dengan menggambarkan Hamka sebagai  seorang yang rindu akan dunia yang aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing   Jadi, seolah-olah  Hamka menyatakan beragama atau tidak bukan masalah, toh semua agama sama.

Saran saya, supaya tidak terkesan “menelikung”  pemikiran Prof. Hamka, hendaknya Syafii Maarif juga mengutip pemikiran beliau pada halaman 214 dan 215   yaitu, "kerapkali menjadi kemuskilan bagi orang yang membaca ayat ini,  karena disebut yang pertama sekali ialah orang-oang yang beriman, kemudiannya baru disusul oleh Yahudi, Nashrani dan Shabiin. Setelah itu disebutkan bahwa semuanya akan diberikan ganjaran oleh Tuhan apabila mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, lalu beramal yang saleh. Mengapa orang yang beriman disyaratkan beriman lagi ?"

Lebih jauh Hamka berpendapat, "setengah ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud disini barulah iman pengakuan saja. Misalnya mereka sudah mengucapkan dua kalimah syahadat, mereka telah mengaku dengan mulut, bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad utusan Allah. Tetapi pengakuan tadi baru pengakuan saja,belum diikuti oleh amalan, belum mengerjakan rukun Islam yang lima perkara, maka iman mereka itu masih sama saja dengan iman Yahudi, Nashrani dan Shabiin. Apatah lagi orang Islam peta bumi saja atau Islam turunan, maka Islam yang semacam itu masih sama saja dengan Yahudi, Nashrani dan Shabiin. Barulah keempat itu terkumpul menjadi satu, apabila semuanya memperbaharui iman, kembali kapada  Allah dan Hari Akhirat, serta mengikutinya dengan perbuatan dan pelaksanaan."

Itulah syarat mutlak sehingga keempat golongan itu menjadi satu dan padu yaitu beriman kepada Allah, Hari Akhir dan beramal shaleh. Adapun yang tidak dikutip oleh Syafii Maarif sehingga pemikirannya berkabut   adalah kalimat Prof. Hamka  pada halaman 215 yaitu, "Apabila telah bersatu mencari  kebenaran dan kepercayaan, maka pemeluk segala agama itu akhir kelaknya pasti bertemu pada satu titik kebenaran."

Ciri yang khas  dari titik kebenaran itu adalah menyerah diri dengan penuh keikhlasan kepada Allah yang SATU ; itulah Tauhid, itulah Ikhlas, dan itulah Islam ! Maka dengan demikian orang yang telah memeluk Islam sendiripun hendaklah menjadi Islam yang sebenarnya. Inilah sebenarnya pemikiran Islami dari Prof. DR. Hamka yang ditelikung oleh Syafii Maarif,  yang mengaku sebagai ‘sang murid.’

Di sisi lain, pernahkah terfikirkan oleh Syafii Maarif bahwa keyakinan Kristiani menyatakan Allah dalam Al Quran bukan Tuhan dalam Bible (Lihat buku .The Islamic Invasion, karya Robert Morey, edisi Bahasa Indonesia, Halaman 62, yang isinya sebagai berikut;

"Ketika kita bandingkan sifat-sifat Tuhan Al Kitab (Bible) dengan sifat-sifat Tuhannya Al Quran, muncul  dengan jelas, bahwa keduanya bukanlah dari Tuhan yang sama!" Bahkan pada halaman yang sama   tertulis bahwa : "Latar belakang sejarah mengenai asal-usul dan makna kata Arab "Allah" bukanlah Tuhan yang menjadi sesembahan orang Yahudi dan orang Kristen. Allah hanyalah suatu berhala Dewa Bulan bangsa Arab yang dimodifikasi dan ditingkatkan maknanya."

Pada halaman yang sama Robert Morey mengutip pendapat Doktor Samuel Schlorff, yang menyatakan dalam tulisannya mengenai perbedaan mendasar antara Allah dalam Al Quran dan Tuhan dalam Al Kitab (Bible) sebagai berikut; " Saya percaya bahwa kunci masalahnya adalah pertanyaan mengenai hakekat Tuhan dan bagaimana Tuhan berhubungan dengan ciptaannya ; Islam dan Kristen, meskipun mempunyai kesamaan secara formal, sesungguhnya sangat jauh berbeda dalam masalah tersebut."

Nah marilah kita merenung kembali, samakah semua agama, samakah semua kitab suci? Seharusnya Ahmad Syafii Maarif –apalagi dia mantan Ketua PP Muhahammadiyah--  meyakini bahwa; "satu-satunya agama di sisi Allah hanyalah  Islam." Wallahu a’lam.

*) Penulis adalah pendiri ‘Irena Center’ dan Ketua Umum Gerakan Muslimat Indonesia (GMI)


Syaikh Nashiruddin Al-Albani

Rating:★★★★★
Category:Other
www.eramuslim.com
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Syaikh Nashiruddin Al-Albani adalah salah satu tokoh yang pernah hidup di abad 20 sebagai ulama yang mendalami masalah kritik sanad hadits. Menjadi tenar -salah satunya- karena pendapat-pendapat beliau yang cenderung berbeda dari kebanyakan pendapat yang sudah dianut oleh umat Islam, baik di bidang ilmu hadits atau pun di bidang fiqih.

Salah satunya adalah pandangan beliau yang mengajak orang untuk tidak terpaku kepada pandangan dari mazhab-mazhab fiqih peninggalan para ulama. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu asing, karena sudah banyak dikampanyekan oleh para tokoh sebelumnya seperti Muhammad Abduh atau Rasyid Ridha. Namun beliau menyampaikan dengan format yang berbeda dan lebih spesifik serta didukung oleh keahlian beliau di bidang kritik sanad hadits.

Kelahiran di Albania dan Hijrah ke Damaskus

Syeikh Nashiruddin Al-Albani lahir tahun 1914 masehi atau bertepatan dengan tahun 1333 hijriyah, di ibukota Albania saat itu, Asyqodar.

Keluarga beliau boleh dibilang termasuk kalangan kurang berada, namun bertradisi kuat dalam menuntut ilmu agama. Ayahanda beliau bernama Al-Haj Nuh, lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari'ah di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul) dan menjadi rujukan orang-orang dalam masalah agama.

Keluarga beliau kemudian berhijrah ke Damaskus, ibu kota Syria, dan menetap di sana setelah Ahmad Zaghu raja Albania saat itu menyimpangkan negaranya menjadi kebarat-baratan.

Pendidikan Agama

Beliau boleh dibilang tidak menyelesaikan pendidikan formal yang tinggi, kecuali hanya menyelesaikan sekolah madrasah ibtidaiyah dengan baik. Kemudian beliau meneruskan ke madarasah An-Nizhamiyah yang sangat fenomenal di dunia Islam. Namun setelah itu ayahnya punya pendapat tersendiri tentang madrasah An-Nizamiyah sehingga beliau keluar dan belajar dengan sistem tersendiri pelajarannya, seperti Quran, tajwid, nahwu, sharf serta fiqih mazhab Hanafi.

Beliau mengkhatamkan Al-Quran di tangan ayahnya sendiri dengan bacaan riwayat Hafsh dari Ashim. Beliau belajar kitab fiqih mazhab Al-Hanafi yaitu Maraqi al-Falah kepada Syeikh Said Al-Burhani, selain juga belajar lughah dan balaghah.

Secara pendapatan finansial, beliau bekerja sebagai tukang jam, sebuah keahlian yang diwariskannya dari ayahnya sendiri. Bahkan beliau sampai menjadi termasyhur di bidang service jam di Damaskus.

Sesungguhnya ayah beliau telah mengarahkan beliau untuk mendalami agama khususnya pada mazhab Al-Hanafi serta memperingatkan beliau untuk tidak terlalu menekuni ilmu hadits. Namun beliau tetap belajar ilmu hadits dan ilmu-ilmu lainnya yang menunjang. Sehingga paling tidak beliau menghabiskan 20 tahun dari hidupnya dalam mempelajari ilmu hadits, karena pengaruh dari bacaan beliau pada majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Syaikh Rasyid Ridha rahimahullah.

Mendalami Ilmu Hadits di Perpustakaan

Beliau menyenangi ilmu hadits dan semakin asyik dengan penelusuran kitab-kitab hadits. Sampai pihak pengelola perpustakaan adz-Dzhahiriyah di Damaskus memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau.

Bahkan kemudian beliau diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, beliau menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum yang lainnya datang. Begitu pula pulangnya ketika orang lain pulang pada waktu dhuhur, beliau justru pulang setelah sholat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.

Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan azh-Zhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan.


Kontroversi Tentang Sosok Beliau

Syeikh Nashiruddin Al-Albani oleh beberapa kalangan sangat dihormati sebagai ulama yang setuju dengan pandangan-pandangannya, namun memang ada juga sebagian lainnya yang kurang suka kepada pendapatnya serta cara penyampaiannya yang khas.

Mereka yang gemar dengan pendapat beliau umumnya adalah kalangan muda yang getol mempelajari ilmu hadits. Namun kurang dalam mempelajari ilmu fiqih serta perangkat-perangkatnya. Paling tidak, sistematika fiqih yang beliau kembangkan beliau tidak sebagaimana umumnya sistematika ilmu fiqih yang digunakan oleh para ahli fiqih umumnya.

Misalnya buat beliau, kesimpulan hukum suatu masalah lebih sering ditetapkan semata-mata berdasarkan kekuatan riwayat suatu hadits. Sedangkan pertimbangan lainnya sebagaimana yang ada di dalam ilmu fiqih, termasuk pendapat para imam mazhab, seringkali ditepis oleh beliau.

Ketidak-sukaan sebagian orang kepada beliau biasanya dilatar-belakangi oleh kekurang-mengertian mereka kepada sosok beliau. Sehingga melahirkan pandangan yang kurang baik pada citra diri beliau. Bahkan beliau pernah mengalami dua kali dipenjara, yang konon disebabkan oleh masalah seperti ini.

Memang terkadang bahasa yang beliau gunakan boleh dibilang agak terbuka dan terlalu apa adanya. Sehingga membuat telinga sebagian orang yang membacanya dan kebetulan kena sindir beliau menjadi merah telinganya.

Selain itu beliau memang dikenal sebagai tokoh di bidang ilmu hadits yang cenderung tidak mau berpegang kepada pendapat-pendapat dari mazhab-mazhab fiqih yang ada. Kesan itu akan sangat terasa menyengat bila kita banyak mengkaji ceramah dan tulisan beliau, terutama yang menyangkut kajian fiqih para ulama mazhab.

Bagi beliau, pendapat para ulama mazhab harus ditinggalkan bila bertentangan dengan apa yang beliau yakini sebagai hasil ijtihad beliau dari hadits-hadits shahih. Apalagi bila menurut beliau, pendapat para ulama mazhab itu tidak didasari oleh riwayat hadits yang kuat sanadnya.

Bahkan beliau mudah menjatuhkan vonis ahli bid'ah kepada siapa saja yang menurut beliau telah berdalil dengan hadits yang lemah. Maksudnya lemah di sini adalah lemahmenurut hasil penelitian beliau sendiri. Termasuk juga pada masalah-masalah yang umumnya dianggap sudah final di kalangan para ahli fiqih. Buat beliau, semua itu harus diabaikan, bila berbeda dengan pandangan beliau dengan landasan ijtihad beliau di bidang ilmu hadits.

Barangkali hal-hal inilah yang sering menimbulkan pandangan tertentu di kalangan sebagian orang tentang sosok beliau.

Namun apa yang beliau sampaikan itu sebenarnya bukan sekedar omongan belaka, namun berangkat dari hasil ijtihad beliau pribadi. Dengan kapasitas ilmu hadits yang beliau miliki serta banyaknya beliau membaca di perpustakaan, maka apa yang menjadi pendapat beliau punya landasan ilmiyah, bukan asal bunyi.

Namun sebagaimana tradisi keilmuwan di dalam peradaban Islam, boleh saja para ulama saling berbeda pandangan satu dengan yang lainnya, namun kita diharamkan untuk saling ejek, saling cemooh, saling cela dan saling boikot, hanya lantaran perbedaan pandangan.

Apa yang menjadi pandangan Albani harus dihormati sebagai sebuah hasil ijtihad seorang yang telah menguasai satu cabang ilmu. Tentunya beliau berhak atas pendapatnya. Namun ijtihad yang dihasilkan oleh seorang ulama tidaklah harus menggugurkan ijtihad ulama lain yang juga telah mengerahkan semua kemampuannya. Biarlah hasil-hasil ijtihad saling berbeda, sehingga memberikan ruang gerak yang luas kepada umat Islam ini.

Beberapa Tugas yang Pernah Diemban

Syeikh al-Albani Beliau pernah mengajar hadits dan ilmu-ilmu hadits di Universitas Islam Madinah meski tidak lama, hanya sekitar tiga tahun, sejak tahun 1381-1383 H.

Setelah itu beliau pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syeikh al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di kerajaan Yordania. Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu.

Pada tahun 1395 H hingga 1398 H beliau kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam'iyah Islamiyah di sana. Mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H.

Wafat Beliau dan Warisannya

Beliau wafat pada hari Jum'at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yoradania. Karya-karya beliau amat banyak yang menjadi warisan kepada dunia Islam, sebagian sudah dicetak, namun ada yang masih berupa manuskrip, bahkan ada yang hilang, semua berjumlah 218 judul. Antara lain:

  1. Adabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
  2. Al-Ajwibah an-Nafi'ah 'ala as'ilah masjid al-Jami'ah
  3. Silisilah al-Ahadits ash-Shahihah
  4. Silisilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal maudhu'ah
  5. At-Tawasul wa anwa'uhu
  6. Ahkam Al-Jana'iz wabida'uha

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Rujukan lain - Click

Biografi tokoh-tokoh lain - Click


Saturday, November 11, 2006

Menyambut Kedatangan Presiden Bush

Rating:★★★★★
Category:Other
Oleh : Adian Husaini, M.A
http://adianhusaini.blogspot.com/

Pada hari-hari ini, pemerintah Indonesia sedang disibukkan dengan rencana kedatangan Presiden AS George W. Bush pada 20 November 2006 mendatang. Berbagai elemen umat Islam dan tokoh-tokoh masyarakat Indonesia sudah melakukan protes dan menyampaikan imbauan kepada pemerintah, agar menolak kedatangan Bush. Apalagi, terlihat jelas, bagaimana sikap dan tindakan pemerintah yang dinilai sangat berlebihan dalam menyambut rencana kedatangan Presiden AS tersebut. Di Istana Bogor, misalnya, sampai perlu dibuatkan landasan pendaratan helikopter khusus untuk sang Presiden AS.

Untuk apa Bush datang dan mengapa Indonesia begitu sibuk menyambut kedatangan Presiden Bush? Sejumlah pejabat Indonesia menyatakan, bahwa Bush datang --selain untuk memenuhi undangan Presiden RI-- juga untuk memberikan bantuan kepada Indonesia, utamanya dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Apakah hanya untuk itu Bush datang? Tentulah tidak. Sagat mungkin ada agenda lain yang kita tidak tahu, apakah menyangkut masa depan proyek minyak dan gas Natuna atau pesan-pesan tertentu yang akan langsung diberikan kepada Presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono. Wallahu a’lam.

Memang, penyambutan dan pengamanan yang sangat berlebihan terhadap rencana kedatangan Presiden Bush, seharusnya tidak dilakukan oleh bangsa Indonesia. Apalagi, dalam kondisi rakyat yang sedang menghadapi dan mengalami begitu banyak bencana. Di Sudoarjo, Jawa Timur, hingga kini, para korban lumpur panas masih belum jelas nasibnya. Masih banyak yang tinggal di barak-barak pengungsian yang tidak layak. Menyambut datangnya musim hujan, nasib mereka juga semakin mengkhawatirkan.

Di Bantul Yogyakarta, masih banyak rakyat yang belum dapat membangun rumahnya kembali. Pemerintah belum dapat menyelesaikan semua itu. Tapi, untuk persiapan penyambutan Bush, dana milyaran rupiah dengan mudah bisa dikucurkan.

Bagi umat Islam, Bush memang agak lain dengan Presiden AS sebelumnya. Semasa pemerintahannya, Presiden yang satu ini secara jelas merupakan pemimpin yang mengobarkan perang melawan umat Islam di berbagai tempat. Sebagai bagian dari kelompok neo-konservatif dari unsur fundamentalis Kristen, Bush telah memberikan corak yang khas dalam pemerintahannya.

Esther Kaplan, dalam bukunya, With God on Their Side: How Christian Fundamentalists Trampled Science, Policy, and Democracy in George W. Bush’s White House, (New York: The New Press, 2004), menggambarkan bagaimana cengkeraman kelompok Kristen Fundamentalis dalam pemerintahan Bush. Di masa Bush inilah, untuk pertama kalinya diadakan pengajian Bibel seminggu sekali di Gedung Putih dan dihadiri oleh separoh lebih staf Gedung Putih. Di Department of Justice, setiap hari dibacakan ayat-ayat Bibel.

Tidak dapat dipungkiri, kebijakan perang melawan terorisme yang diluncurkan Bush adalah kebijakan yang diarahkan memerangi kelompok-kelompok Islam yang dipandang membahayakan kepentingan AS dan Israel.

Karena itu, meskipun dunia Islam tetap menolak, AS dan Israel tetap menempatkan Hamas sebagai kelompok teroris yang boleh dibunuhi kapan saja, tanpa pertanggungjawaban hukum internasional. Kebijakan Bush dan kelompok neo-konservatif di AS, telah menimbulkan reaksi keras di berbagai penjuru dunia, termasuk di dalam negeri AS sendiri. Penyerbuan terhadap Iraq tahun 2003 telah menuai arus protes dan menjadi bumerang dalam pemilihan anggota Kongres dan Senat di AS bulan ini. Partai Republik kalah suara dengan Partai Demokrat. Lalu, salah satu tokoh kelompok garis-keras AS, Donald Rumsfeld mengundurkan diri dari jabatannya.

Apakah kita patut ikut bergembira dengan kekalahan partai Bush itu? Melihat pengalaman yang lalu-lalu, kita tidak sepatutnya terlalu berharap banyak. Saya menduga, kebijakan AS terhadap Islam tidak akan banyak berbeda secara substansi antara Presiden Bush atau Presiden AS lainnya di masa mendatang.

Sebab, di AS, yang berkuasa secara riil bukan hanya pemerintah yang terlihat. Ada ‘invisible government’ yang perlu diperhitungkan. Kebijakan itu begitu kuat menekan, mengatur, dan mengarahkan kebijakan politik luar negeri AS, siapa pun yang akan menjadi Presiden AS. Ingatlah nasib Presiden John F. Kennedy yang mencoba keluar dari jeratan ‘invisible government’ ini. Film

JFK, garapan Oliver Stone, mengarahkan kesimpulan bahwa pembunuh Kennedy adalah CIA. Tetapi, buku ‘Final Judgement’, karya Michel Colin Piper, menyimpulkan, bahwa pembunuh Kennedy adalah Mossad.

William Blum, mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, menulis sebuah buku berjudul “Rouge State: A Guide to the World’s Only Superpower” (2002). Buku ini membongkar perilaku politik dan berbagai intervensi AS. Blum menyimpulkan, intervensi-intervensi AS antara lain bertujuan untuk mengokohkan AS sebagai satu-satunya superpower. Tidak boleh ada pesaing AS. Bahwa, di dunia ini tidak boleh ada dua jagoan, kecuali Paman Sam.

Meskipun seringkali dibantah, kita masih melihat, kebijakan politik luar negeri AS tidak mampu keluar dari skenario politik kaum neo-konservatif yang menempatkan Islam sebagai potensi ancaman terbesar bagi AS. Karena itu, ketika berhadapan dengan Islam, para pejabat AS bersikap sangat paranoid, menunjukkan ketakutan nyang membabi-buta.

Hari Jumat (10 November 2006) ini, Harian Republika menurunkan sebuah tulisan menarik dari Dr. Indrawadi Tamin MSc, mantan Deputi Protokol, Pers, dan Media, Sekretariat Presiden. Tulisan itu berjudul “Bush, Denpasar, dan Bogor”. Berdasarkan pengalamannya saat berunding dengan para pejabat AS menjelang kedatangan Presiden Bush di Bali, Oktober 2003, Indrawadi menuturkan bahwa disamping keprofesionalan mereka, pengawal Presiden AS dan protokol Gedung Putih memang bersikap paranoid dan membuatnya pusing. Paranoid, karena – menurut mereka -- Presiden AS dipandang sebagai target teroris, dan juga ada unsur-unsur arogan, dan sikap tidak menghormati tuan rumah.

Dalam bukunya, The High Priests of War, Michel Colin Piper menyebutkan, belum pernah dalam sejarah AS terjadi dominasi politik AS yang begitu besar dan mencolok oleh ‘tokoh-tokoh pro-Israel’ seperti dimasa Presiden George W. Bush. Sebagian besar anggota neo-kon adalah Yahudi. Salah satu prestasi besar kelompok ini adalah memaksakan serangan AS atas Iraq, meskipun elite-elite militer AS dan Menlu Colin Powell sendiri, semula menentangnya.

Piper membahas peran kelompok garis keras Zionis Yahudi di AS dengan menguraikan satu persatu latar belakang dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam konspirasi neo-konservatif ini, seperti Richard Perle, William Kristol, Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, Rupert Murdoch, juga ilmuwan dan kolomnis terkenal seperti Bernard Lewis, Charles Krauthammer, dan tokoh-tokoh Kristen fundamentalis seperti Jerry Falwell, Pat Robertson, dan Tim LaHaye. Cengkeraman atau pembajakan kelompok neo-kon terhadap politik AS sebenarnya meresahkan banyak umat manusia. Mereka sedang menjalankan satu skenario besar “Perang Global”, dengan menempatkan Islam sebagai musuh utama peradaban dunia.

Karena itu, mungkin karena melihat Indonesia sebagai bangsa Muslim terbesar dan dianggap sebagai ‘sarang teroris’, maka AS meminta pengamanan yang super ketat terhadap Bush saat datang ke Indonesia. Apa yang pernah dialami oleh Indrawadi Tamin sebagai pejabat istana sangatlah menarik, karena menunjukkan sikap paranoid AS yang sangat tidak beralasan. Sikap paranoid itu tentulah juga karena diakibatkan oleh bayang-bayang dosa yang diperbuatnya sendiri.

William Blum sendiri menyatakan, bahwa lebih dari 50 tahun, secara klinis, politik luar negeri AS bisa dikatakan “gila” (However, it can be argued, that for more than half century American foreign policy has, in actuality, been clinically mad.). Karena itu, untuk mengkahiri kemelut internasional dan menciptakan rasa aman bagi masyarakat AS, Blum mengajukan konsep sederhana. Jika ia menjadi Presiden AS, kata Blum, ia akan sanggup menghentikan aksi terorisme terhadap AS hanya dalam beberapa hari. Dan itu bersifat permanen.

Caranya, pertama, ia akan meminta maaf kepada semua janda dan anak yatim, orang-orang yang terluka dan termiskinkan akibat ulah imperialisme AS. Kedua, ia umumkan dengan jiwa yang tulus, ke seluruh pelosok dunia, bahwa intervensi global AS telah berakhir, dan umumkan bahwa Israel tidak lagi menjadi negara bagian AS yang ke-51. Lalu, Blum – andai jadi Presiden AS– akan memotong anggaran belanja pertahanan AS, sekurangnya 90 persen, dari angka 330 milyar USD per tahun. Jumlah itu sama dengan pembelanjaan dana pertahanan sebesar 18.000 USD per jam, sejak kelahiran Yesus. Itulah yang akan dikerjakan Blum pada tiga hari pertamanya di Gedung Putih. Tapi, katanya, pada hari keempat, ia akan dibunuh. “On the fourth day, I’d be assassinated.”

Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, jauh-jauh sudah menyatakan tidak bersedia datang, jika diundang lagi untuk bertemu Bush. Saat pertemuan di Bali, tahun 2003 lalu, Hasyim Muzadi dan sejumlah tokoh agama sudah mengajukan berbagai usulan terhadap Bush, termasuk agar AS lebih menjadi ‘Bapak dunia’ dan bukan sebagai ‘polisi dunia’. Tetapi, berbagai usulan itu, tidak dipandang sebelah mata.

Dunia Islam dan juga dunia internasional juga sudah banyak menasehati Bush dan pemerintah AS. Dalam soal Palestina, dunia Islam sudah terlalu banyak menasehati AS agar jangan menjadikan Israel sebagai anak emas mereka. Tetapi, semua nasehat itu menguap, tanpa bekas. Ibarat pepatah: “Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.”

Semua fakta itu menunjukkan bahwa selama ini pihak AS tidak menganggap penting adanya dialog dengan dunia Islam. Dialog hanyalah basa-basi, karena aspirasi dunia Islam tidak didengar. Kita sudah paham sikap Barat itu, khususnya AS. Karena itu, menghadapi kedatangan Presiden Bush kali ini, umat Islam sudah seyogyanya dan wajib menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Kita imbau dan nasehatkan, agar Presiden SBY dan jajaran pemerintah RI tidak berlebihan dalam menyambut Bush. Jika mereka meminta yang berlebihan, lebih baik ditolak, demi martabat bangsa. Apalagi, jika mengingat, Pembukaan UUD 1945 sendiri dengan tegas menolak segala bentuk penjajahan di muka bumi.

Sedangkan AS adalah pendukung kolonialisme Israel atas Palestina. Tahun 1955, Konferensi Asia-Afrika di Bandung sudah menyatakan Zionisme sebagai bentuk kolonialisme yang paling jahat dan harus ditentang.

Banyak pertimbangan taktis dan strategis dalam menerima kehadiran Bush kali ini. Tetapi, perlu kita imbau, agar para pemimpin negara kita yang Muslim juga memasukkan pertimbangan iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Allah sudah jelas-jelas mengingatkan kepada kita semua dalam Al-Quran: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (pemimpin, pelindung, teman kepercayaan); sebagian mereka adalah wali bagi sebagian lainnya. Barangsiapa diantara kamu yang mengambil mereka menjadi wali, sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 51).

Sayang sekali, sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, kondisi kita sepertinya belum menyadari bahwa kita adalah bangsa yang mulia, karena iman dan taqwa. Bahkan, kita sudah diperingatkan oleh Allah, agar jangan menukar nikmat Allah dengan kehinaan dan kebinasaan:

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan.” (Ibrahim:28).

Sebagai orang beriman, mestinya para petinggi negara kita berani bersikap mandiri dan menunjukkan sikap ‘izzah (mulia) dalam berhadapan dengan siapa pun di dunia ini. Allah memerintahkan kepada kita: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan pula kamu berduka, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 139).

Kita memang menyesalkan penyambutan Bush yang berlebihan, tetapi kita juga perlu menyadari bahwa masalah kedatangan Bush hanyalah sebagian kecil dari masalah yang kita hadapi dari hegemoni peradaban Barat dalam berbagai bidang kehidupan. Kita perlu meletakkan masalah ini dengan proporsional, sebab agenda perjuangan umat Islam Indonesia masih sangat banyak dan besar. Perlu nafas dan energi yang panjang dalam perjuangan ini. Wallahu a’lam.

(Depok, 10 November 2006)

Monday, November 6, 2006

KISS (Kajian Islam Sabtu Sore)

Start:     Nov 11, '06
Location:     Jl. Kemanggisan Utama 2 No. 126, Slipi Jak-Bar
Assalamu'alaikum wr wb

Setelah sekian lama vakum, Insya Allah akan saya adakan lagi acara KISS (Kajian Islam Sabtu Sore) dirumah saya hari Sabtu tgl 11 November 2006 jam 3 sore, dengan ustadz Drs. HM Fauzi Nurwahid, beliau adalah pemimpin pesantren Persatuan Islam 69 atau PERSIS 69 yang beralamat di Jl. Kramat asem raya no.59 kel. Utan Kayu Selatan Matraman Jakarta Timur, juga anggota dari komisi pendidikan dan dakwah PERSIS. Pertemuan kali ini juga diharapkan menjadi ajang halal bihalal temen-temen MP yang pernah hadir di majelis KISS atau dulu namanya DKI (Diskusi Kajian Islam). Peta bisa dilihat disini.

Untuk topik lebih spesifik belum ditentukan. Tapi ada beberapa topik permintaan dari temen-temen yang MP yang biasa hadir untuk membahas lagi tentang munakahat atau kajian pra-nikah dan kalau bisa yang lebih mendalam. Juga akan membahas bagaimana mempertahankan ke-istiqomahan setelah bulan Ramadhan. Insya Allah diskusi kajian Islam kecil-kecilan ini bisa bermanfaat buat temen-temen yang mau hadir. Aamiin

Ada sedikit kisah dari hadits yang mungkin bisa memotivasi kita :

Sa’id ibn al-Musayyib, salah seorang pemimpin tabi’in, pernah duduk bersama seorang pembesar Madinah untuk belajar darinya. Maka, orang-orang disekitarnya bertanya, “Engkau adalah orang yang paling alim, tapi mengapa engkau duduk bersamanya, padahal dia adalah salah satu muridmu ?”

Dia menjawab, “Sesungguhnya Allah menyelimuti majelis ini dengan rahmat. Dan saya ingin Allah menyelimuti saya bersama mereka”. Ini adalah persis seperti sabda Rasulullah saw dari Allah SWT bahwa Dia berfirman kepada para jama’ah majelis ini, “Mereka meninggalkan majelis ini dengan mendapat ampunan,sesungguhnya kalian ridha dengan-Ku dan Aku pun ridha dengan kalian”.

Maka, para malaikat bertanya, “Wahai Tuhan, didalamnya ada seorang yang datang hanya untuk begini dan begitu”. Maka Allah berfirman, “Apa yang ada padanya telah Aku ampuni. Mereka adalah kaum yang tidak menyusahkan teman duduk mereka.” [at-Targhib wa at-Tarhib 1493, Bukhari 6261, Muslim 6790]

Mudah-mudahan Allah juga melimpahkan ampunan-Nya dan meliputi majelis KISS ini dengan rahmat dan ridha-Nya. Aamiin, Allahuma Aamiin.

Wassalamu'alaikum
 

Saturday, October 28, 2006

Idul Fitri 1427 H, 24 Oktober 2006




Saya dan Nina, juga kami sekeluarga mengucapkan Taqaballahu Minna Wa Minkum. Semoga amal ibadah puasa kita selama bulan Ramadhan kemarin diganjar oleh Allah dengan sebaik-baik ganjaran dan dosa-dosa kita dihapuskan. Amin !.

Saya pribadi, mohon maaf ya apabila selama berkutat di multiply ini mempunyai banyak kesalahan kepada temen-temen semua. Mudah-mudahan tali silahturahim yang telah terjalin dengan indah ini dapat terus dipertahankan. :)

Ingin cepat terkenal ? Hujatlah Islam !

Rating:★★★★★
Category:Other

Anda ingin cepat tenar dan dipuja Barat? Caranya gampang. Hujatlah Islam dan Anda akan mendapat berbagai pujian dan undangan, khususnya dari Negara-negara Barat!

Hidayatullah.com—Cara-cara seperti ini sudah dilakukan Irshad Manji, seorang warga Muslim asal Kanada yang kini tinggal di Belanda. Dia begitu tenar setelah gagasannya yang pernah disampaikan bahwa cendekiawan Barat seharusnya tidak takut lagi mengkritik Islam. Manji begitu tenar dan dipuja sebagai pahlawan di dunia Barat karena kritik agresif mereka terhadap Islam. Tetapi mereka dihujat di dunia Muslim.


Irsyad Manji adalah seorang aktivis yang juga penganut lesbianisme. Bagi pers asing, Manji dianggap ‘seorang provokator berjalan untuk Islam tradisional’. Tahun 2003 ia mempublikasikan bukunya "The Trouble with Islam Today", yang merupakan kritik tajam terhadap pelanggaran hak-hak perempuan dan kelompok minoritas agama lainnya atas nama Islam.


Tak urung, buku ini banyak mendapat pujian Barat. Tak cuma itu, sebuah stasiun televisi langsung menjadikannya sebagai pembawa acara talkshow televisi Kanada. Tentu saja membawakan acara seputar debat mengenai Islam.


‘Serangan-serangan’nya terhadap Islam, menjadikan dia dijululi Barat sebagai seorang Muslim modernis. Seperti halnya Hirsi Ali, Manji juga mendorong kaum cendekiawan Barat mengkritik Islam. Menurutnya kritik itu sangat dibutuhkan untuk membawa pembaharuan yang dibutuhkan. Di Barat filsafat multikultural, menurut Manji, sudah ditingkatkan menjadi pandangan ortodoks, yang seperti halnya aliran agama ortodoks lainnya, selalu mengintimidasi dan membungkam orang, sehingga tidak berani menyuarakan apa yang mereka pikirkan. Orang-orang Barat takut dicap rasialis jika mengkritik Islam.[ranesi/cha]



Tuesday, October 24, 2006

Sebuah awalan


Assalamu'alaikum

Alhamdulillah, proses akad nikah telah selesai dilaksanakan
dengan lancar kurang lebih sebulan yang lalu tanpa hambatan yang
berarti. Itu artinya berakhir sudah penantian saya dalam mencari teman hidup
untuk menemani hari-hari saya. Sampai hari ini semua masih terasa seperti mimpi.
Duduk di hadapan petugas KUA, ijab kabul, menandatangani buku nikah, etc....ah
rasanya tak terasa saya telah melewati fase itu semua dan sedang menuju fase
berikutnya yaitu membangun sebuah bangunan yang dinamakan rumah
tangga.

Pasangan hidup telah kudapat.
Seorang akhwat yang dengan ikhlas menutupi dirinya dengan hijab kemuliaan.
Seseorang yang mengerti bagaimana menghargai dan menjaga miliknya dan
menyimpannya hanya untuk suami tercinta, yaitu saya. Seorang wanita yang
mengerti posisinya sebagai istri dan dia telah membuktikannya. Seseorang yang
mungkin lebih tepat saya sebut sebagai bidadari yang terjatuh dari
surga.

Sampai ada saatnya saya berpikir apa
iya Allah tidak salah pilih memilih saya sebagai teman hidupnya. Seseorang yang
pernah mempunyai masa lalu kelam, dan sekarang kejatuhan bidadari surga ? The
angels up there must been looking one of their friend right now. Terima kasih ya
Allah...karena telah membiarkan dia terjatuh dari surga untuk jatuh dipelukanku.
Inilah sebuah awalan baru bagiku untuk terus berusaha menjadi hamba-Nya yang
istiqomah dan Allah telah memberikan teman sejati untuk menemani hari-hariku.
Doakan kami ya :)

Fa bi ayyi
aalaa-i rabbikumaa tukadzibaan........

Wassalamu'alaikum







Sunday, October 22, 2006

Pemerintah Umumkan 1 Syawal / Lebaran Hari Selasa

Hidayatullah.com--Sidang Isbat untuk menentukan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri 1427 Hijriah yang dilakukan pemerintah hari Ahad (22/10) hari ini yang berlangsung di Departemen Agama memutuskan 1 Syawal .

Sidang yang dipimpin langsung oleh Menteri Agama Maftuh Basyuni sedang mendengarkan pengamatan hilal dari seluruh Indonesia. sejumlah anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan organisasi masyarakat serta para perwakilan kedutaan besar negara-negara Islam.

Dari hasil pemantauan hilal di berbagai daerah di Indonesia yang disampaikan oleh Ketua Hisab Rukyat Departemen Agama, Muzakir, mayoritas menyatakan belum melihat hilal yang merupakan pertanda bergantinya bulan dalam kalender Islam.

Dengan demikian, pemerintah menetapkan 1 Syawal jatuh hari Selasa. Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1427 Hijriah ditetapkan jatuh pada hari Selasa 24 Oktober 2006. Penetapan tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Agama Maftuh Basyuni dalam sidang Isbat yang berlangsung di Departemen Agama, Ahad (22/10) malam tadi.

Keputusan itu diambil berdasarkan hasil pengamatan hilal dari 29 wilayah di Indonesia yang sebagian besar menyatakan hilal masih belum terlihat.

Kendati demikian, Maftuh menyatakan pihaknya menyadari bahwa ada kelompok masyarakat yang tidak menyetujui keputusan pemerintah tersebut. Iapun menghimbau agar seluruh rakyat menyingkapi perbedaan tersebut agar tidak menjurus pada perpecahan.

Sebelumnya, Muhammadiyah telah menyatakan 1 Syawal 1427 Hijriah jatuh pada hari Senin tanggal 23 Oktober 2006. Kendati demikian, ia menyatakan Muhammadiyah tetap akan menghargai keputusan pemerintah. Senada dengan Muhammadiyah, PWNU Jatim juga memutuskan berhari raya besok Senin. [cha, berbagai sumber]