Friday, February 15, 2008

Trying to keeping the faith...

Assalamu'alaikum,


Beberapa bulan terakhir ini saya seringkali dihadapkan oleh pandangan-pandangan temen-temen lama yang dengan pandangan yang cukup aneh. Bahkan beberapa mungkin ada yang memandang sinis. Tapi saya udah mulai terbiasa dengan kondisi seperti itu. Dan saya memang udah memprediksikan bahwa nantinya pasti akan seperti itu.

Semenjak saya menjalani kehidupan yang baru sekitar 3-4 taun yang lalu, saya udah mengkondisikan diri bahwa nantinya kehidupan sosial saya bakal ngalamin sedikit "benturan" atau mungkin "gesekan" yang saya amat sangat sadar bahwa itulah konsekuensi dari jalan hidup yang akhirnya saya pilih sekarang ini.

Kira-kira 3-4 taun yang lalu saya memutuskan buat off dari "rutinitas" saya. Apalagi sih rutinitasnya kalo bukan buat nyari kesenangan dan kebahagian diri. Yap makna dari dua kata itulah yang selalu saya cari. Saya yakin setiap manusia normal pastilah mau hidup senang dan bahagia. Dan manusia bisa mengeluarkan beribu-ribu bahkan berjuta-juta definisi tentang hidup bahagia. Kalo saya pribadi saat itu pergi ke tempat-tempat keramaian udah bisa bikin saya bahagia, apalagi kalo perginya rame-rame. That would be so much fun.

Tapi ngga tau kenapa, dari sekitar taun 95an sampai taun 2003 saya yang terbiasa dengan itu, tiba-tiba di awal taun 2004 saya ngerasain kebosanan yang amat sangat!. Ya, ngga tau kenapa semua terasa jadi hambar, no salt, no sweet just plain. Misalnya satu saat saya pergi ke suatu acara party, ngga tau kenapa semua kerasa datar. Walaupun saya kenal sama DJnya dan dia dengan senang hati muterin setiap lagu yang saya request, still...datar. Saat itu saya ngerasa, "Ini party di Jakarta kok gak ada perubahan ya? orang-orangnya itu-itu mulu, konsepnya apalagi".

Tiap taun konsep party yang pasti ada itu ngga jauh-jauh dari tema valentine, halloween party, ladies nite, bubble party, single party dan arrrgghh..... Semua itu kerasa jadi monoton buat saya. Pernah ada satu event yang di iklan keliatan sebagai event yang paling spektakuler, ternyata pas saya coba hadir disana tetep aja datar buat saya. Begitu juga dengan kegiatan nongkrong saya sama temen-temen.

Saya ngerasa kelamaan berada di kehidupan seperti itu sehingga saya sampai bisa ngerasa jenuh yang amat sangat. Setelah ngerasa seperti itu, saya coba untuk ngelakuin sesuatu yang belum pernah saya lakuin, Backpacking. Walaupun mungkin kedengerannya simpel, tapi ternyata ngga juga. Saat itu saya cuma berangkat berdua sama mantan supir alm ayah dulu. Si mantan supir itu tinggal di Jepara dan akhirnya jadilah saya ikut dia kesana pindah-pindah bis. Singkat cerita, 10 sudah hari saya berada diluar Jakarta dengan segala keterbatasan dan ritme kehidupan yang sangat berbeda. Banyak pelajaran yang saya dapet dari sana.

Saya pun mulai tertarik baca, sesuatu yang dulu sangat anti baca (kecuali komik Gober). Buku awal yang saya baca adalah bukunya Gola Gong, Balada si Roy. Terus meningkat ke buku-buku tentang agama yang ringan-ringan seperti La Tahzan. Masih dalam rangka mencari definisi kesenangan dan kebahagian, saya terus nyoba menggali dan merangkul pengetahuan apapun yang berserakan untuk nyari jawaban dan definisi itu. Dan saya sadar betul bahwa itu ngga mudah.

Sangat-sangat ngga mudah. Saya harus melalui masa-masa dicurigain kakak saya ikut aliran sesat. Begitu juga dengan temen-temen saya. Waktu itu saya mau bikin pengajian dirumah dan ngundang seorang temen lewat sms, dengan enteng dia jawab, "Pengajian apa nih ? aliran sesat ?". Pernah juga satu ketika saya pergi ke luar kota sama ibu dan kakak saya. Sambil iseng nunggu naik ke pesawat, saya ngeluarin mp3 al Qur'an saya dan mulai ngaji pake earphone. Ngga berapa lama kemudian, kakak saya nyeletuk,

"Ndra, lo kenapa sih ?"

"Kenapa gimana ?"

"Akhir-akhir ini lo aneh kelakuannya"

"He ? aneh gimana ?"

"Iya aneh, setiap hari lo dikamar mulu, keluar paling pas waktu makan aja. Abis shubuh biasanya gak pernah ngaji sekarang jadi ngaji dan banyak lagi deh. Lo ngga ikut aliran sesat kan ?!"

.........Dan saya pun bengong dan hampir menangis dibuatnya sambil berkata dalam hati, "Hey ! I'm just trying to find my way home aight !"

Cobaan-cobaan kaya gitulah yang seringkali saya alami. Nah yang terbaru adalah beberapa hari yang lalu. Saat itu saya ketemu temen lama seorang perempuan di sebuah resepsi dan berusaha nyapa. Dengan gaya bajunya yang bisa dibilang kekurangan bahan, dia pun nyodorin tangannya, tapi saya coba dengan sehalus mungkin untuk ngga nyentuh tangannya dengan gaya bersalaman ala sunda. Dan saya rasa ini bukan hal yang aneh bahkan dalam agama yang saya yakini, seorang laki-laki itu haram menyentuh wanita yang bukan muhrim atau pasangan hidupnya.

The next thing, pandangan dia jadi terlihat sadis huhuhu. Bahkan ketika saya pamit pulang dan saya menyodorkan tangan ala sunda lagi, dia ngga nyambut dan tangannya tetep di posisi biasa...hehehe....does she think i'm weirdo ? Kalau saya mesti dibilang aneh hanya karena saya ingin berusaha menjalankan agama saya dengan baik, go ahead ! keep telling me that i'm a weirdo, and i happy for that.

Saya rasa inilah hasilnya karena saya pengen nyoba sekuat saya untuk mempertahankan prinsip-prinsip dari agama yang saya yakini. Dibilang aneh, dibilang ikut aliran sesat dan sebagainya. Emosi ? oh dulu waktu di awal jelas saya sering emosi setiap kali dibilang seperti itu. Tapi sekarang alhamdulillah suara-suara seperti itu makin menghilang :). Ngga mudah memang dan saya ngga menyesali itu. Bahkan saya merasa tertantang untuk itu. Biarin orang lain mau nganggep saya apa aja, yang penting sekarang saya udah punya prinsip yang insya Allah bakal saya pertahankan sampai ajal menjemput. Mohon doanya selalu.


Wassalamu'alaikum


“Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing
dan akan kembali pula daam keadaan asing,
maka berbahagialah orang-orang dikatakan asing.”

[HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma]



Sunday, February 3, 2008

Bisnis Itu Permainan, Bukan Ilmu Pengetahuan

Rating:★★★★★
Category:Other
Oleh : Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan

Selama kita merasa belum familiar dan takut memulai bisnis, biasanya yang timbul di pikiran kita adalah: “belajar!”. Pilihannya mungkin dengan jalan mengambil program S2 dan jadi seorang MBA, atau ikut sebanyak-banyaknya seminar dan pelatihan, atau bisa juga dengan berguru dan mengabdi pada seorang begawan bisnis.

Kira-kira, sudah selaraskah alur pemikiran yang sedemikian dengan apa yang terjadi pada kenyataannya? Mari kita telaah.

Kebanyakan dari kita berbisnis karena ingin sukses, lalu menjadi kaya raya. Kita membayangkan, betapa enak dan hebatnya bila kita dapat sesukses dan sekaya Bill Gates atau Donald Trump. Menurut pandangan masyarakat pada umumnya, mereka itulah orang-orang sukses yang sebenar-benarnya. Merekalah sosok-sosok pebisnis yang prestasinya membuat banyak orang terobsesi.

Maka tidak heran jika para pakar pun berusaha menyadap dan mempelajari segala hal yang ada pada orang-orang sukses itu, dengan harapan dapat mentransfer nilai-nilai kesuksesannya kepada orang-orang lain yang juga ingin menjadi figur sukses. Mereka berpendapat bahwa: “Leaders are made, not born”.

Selanjutnya, segala sepak terjang yang dilakukan oleh para pebisnis tersebut, dikumpulkan, dipilah-pilah, lalu dianalisis. Dari analisis itu dibuat teori-teori. Hasilnya, muncullah berbagai teori kesuksesan yang terkemas dalam materi-materi “ilmu bisnis”, wacana profesionalisme, ilmu kepemimpinan (leadership), dan lain sebagainya.

Orang-orang awam memang ingin sekali menemukan cara-cara yang bisa membantu mereka untuk secara cepat mencapai kesuksesan. Semacam rel kereta yang tinggal diikuti saja akan mengantar orang tiba di gerbang kejayaan.

Namun demikian, apa benar kalau kita ingin menjadi figur sukses -- lebih spesifiknya pebisnis sukses -- harus menempuh perjalanan yang sarat dengan teori-teori kesuksesan seperti itu?

Dari berbagai catatan yang ada, tampaknya tidak demikian. Banyak sepak-terjang yang dilakukan oleh para pemimpin bisnis dunia tidak mencerminkan bahwa kesuksesan mereka disebabkan pembelajaran yang sungguh-sungguh dalam ilmu bisnis, profesionalisme dan teori kepemimpinan. Tidak juga pengetahuan ekonomi, teori-teori tentang kebebasan finansial, ilmu marketing dan lain sebagainya. Pun, tidak karena mereka rajin mengikuti seminar kesuksesan atau lokakarya tentang strategi bisnis.

Di lain pihak, banyak pemimpin bisnis ternyata merupakan orang-orang yang justru tidak suka belajar, malas sekolah, dan hanya ingin bermain-main saja. Boro-boro ikut seminar atau lokakarya. Lho kok bisa?

Ada beberapa contoh kasus. Yang pertama, Thomas Alva Edison. Nama ini sudah kita tahu sejak di bangku SD bukan? Namun, tentunya kita kenal Edison lebih sebagai tokoh ilmu pengetahuan, karena sekolah memfokuskan ajaran hanya pada penemuan atas lampu pijar dan berbagai temuan teknis lain yang dilakukannya.

Maka jarang kita memperhatikan bahwa sesungguhnya Thomas Alva Edison adalah juga seorang pengusaha besar yang sukses. Ia adalah pemilik dan pendiri berbagai perusahaan dengan nama-nama seperti Lansden Co. (mobil/otomotif), Battery Supplies Co. (baterai), Edison Manufacturing Co. (baterai dsb), Edison Portland Cement Co. (semen dan beton), North Jersey Paint Co. (cat), Edison General Electric Co. (alat listrik dll), dan banyak lainnya. Salah satu yang masih berjaya sampai sekarang adalah General Electric.

Apakah untuk mencapai itu semua Edison harus bersusah-payah mengikuti berbagai sekolah dan pendidikan tinggi? Atau mengikuti seminar kelas dunia yang diselenggarakan oleh para pakar kesuksesan, pakar bisnis atau pakar financial freedom? Ternyata tidak. Figur Edison adalah figur pemalas yang hanya tahan 3 minggu bersekolah. Ia lebih suka bermain-main dengan perkakas, dengan kawat dan dengan listrik. Itu kesenangannya dan dengan itu ia sukses.

Contoh lain adalah Kenji Eno. Ia juga tidak suka sekolah. Ia cuma suka bermain-main dengan permainan, istimewanya dengan video games. Kelas 2 SMA berhenti sekolah terus nganggur. Lalu dapat kerja di perusahaan perangkat lunak, sampai akhirnya ia berhasil mendirikan perusahaan perangkat lunaknya sendiri yang dinamakan WARP. Dalam tempo beberapa tahun saja Kenji Eno mampu membawa perusahaannya menjadi perusahaan video games terhebat di dunia yang diakui oleh tokoh-tokoh industri.

Fenomena-fenomena yang dibuat oleh orang-orang semacam Edison dan Kenji Eno ini memberi kesan kepada kita semua bahwa bisnis itu sebenarnya lebih dekat kepada sebuah permainan, dan terlalu jauh untuk diperlakukan sebagai sebuah ilmu pengetahuan.

Gede Prama yang dikenal sebagai pakar manajemen (bahkan dijuluki Stephen Covey Indonesia), mengomentari fenomena Kenji Eno sebagai kesuksesan dari kebebasan berfikir yang mampu melompat, karena belum terkena polusi-polusi yang dibuat sekolah.

Menurut saya, adalah keliru mempelajari fenomena pemimpin, untuk menciptakan pemimpin. Demikian juga, keliru mempelajari fenomena pebisnis sukses, untuk mencetak pebisnis sukses. Sebab, fenomena pemimpin (atau pebisnis) adalah fenomena manusia, yang tidak sama dengan fenomena alam. Kalau Isaac Newton mempelajari peristiwa jatuhnya buah apel ke tanah (fenomena alam) dan kemudian menemukan hukum gavitasi, maka itu oke-oke saja. Karena fenomena alam tidak berubah, hukum gravitasi pun akan tetap abadi.

Akan tetapi, mempelajari fenomena manusia pasti akan menimbulkan frustrasi. Sebab, manusia merupakan mesin perubahan, sehingga tidak akan ada fenomena manusia yang tinggal tetap abadi sepanjang masa, berlawanan dengan yang kita lihat pada peristiwa jatuhnya buah apel.
Pemimpin, dalam bidang apa pun termasuk bisnis, adalah sosok manusia yang bebas, yang bertindak semaunya tanpa memperhatikan teori mau pun kaidah, sehingga nyaris percuma kalau kita ingin mempelajari dan mengikuti jejak sepak terjangnya.

Coba lihat, pada saat terjadinya resesi ekonomi dunia tahun 1929, semua orang berdasarkan teori-teori yang ada, berusaha untuk berlaku sehemat mungkin. Tapi sebaliknya, Matsushita si raja elektrik dari Jepang malah royal mengeluarkan uang. Seakan uang itu tidak lebih dari mainan saja layaknya. Meski pun bukan tanpa alasan dia berlaku demikian.

Lihat juga Kim Woo Chong, pendiri imperium Daewoo. Ketika semua pengusaha (juga dengan teori-teori yang ada) berkonsentrasi memasuki pasar negara-negara kaya semacam Amerika dan Eropa, ia malah dengan santainya masuk ke pasar-pasar “keras” seperti Iran, Sudan dan Rusia serta negara-negara blok timur.

“Kesia-siaan” mempelajari dan berusaha mengikuti sepak terjang para pemimpin bisnis bisa dirasakan secara langsung di lapangan. Saat pertama kali Harvard Business Review mempublikasikan konsep pemasaran yang beken dengan “Marketing Mix” 4P (product, price, place dan promotion), nyaris semua pengusaha serta pakar bisnis menganut konsep ini secara fanatik. Begitu juga dengan perguruan-perguruan tinggi dan sekolah manajemen.

Tapi, tidak terlalu lama, sebagai akibat “ulah” para pemimpin bisnis yang gemar bermain-main, perubahan tren perekonomian dan industri memaksa para pakar dan pembelajar merubah lagi konsepnya dengan 6P, 8P bahkan yang terakhir disebutkan sebagai 12P.

Terus bagaimana? Kalau kita harus bersiaga setiap saat untuk belajar dan tidak ketinggalan zaman dengan ilmu marketing, kapan kita berbisnis?

Saya rasa kita semua banyak yang terjebak dan hanyut dalam “arus ilmu pengetahuan” yang dibuat oleh mereka yang “pakar ilmu pengetahuan”, sehingga kita tidak sempat lagi berinovasi yang justru merupakan kunci sukses bisnis. Kita malah terus menerus “dipaksa” mengejar ketinggalan ilmu pengetahuan tanpa tahu di mana ujung pangkalnya.

Pertanyaannya: ”Sebenarnya kita mau jadi pebisnis atau mau jadi ilmuwan sih?”

Saya sendiri yakin bahwa bisnis dan kesuksesan itu adalah semacam permainan saja. Seperti apa yang dikatakan oleh William Cohen dalam tulisannya “The Art Of The Leader” : “Success is acquired by playing hard, not by working hard..”.

Mengacu pada obsesi banyak orang tentang Bill Gates dan Donald Trump sebagaimana disebut di atas, perlu diketahui bahwa kedua orang tokoh ini pun mencapai sukses dari kesenangannya bermain-main.

Bill Gates sejak masih berusia 13 tahun sudah bermain-main dengan perangkat lunak komputer, dan dengan itu ia menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Donald Trump juga sejak kecil selalu bermain-main ke kantor ayahnya, Fred Trump. Dia suka sekali melihat-lihat maket gedung dan pencakar langit, sebelum tertarik dengan bidang bisnis sang ayah, yaitu properti. Dan jadilah Donald Trump seorang Raja Properti.

Terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, orang yang mempelajari ilmu kepemimpinan tidak akan menjadi pemimpin. Tapi, orang yang mencoba menjadi pemimpin, akan menjadi pemimpin. Demikian juga, orang yang mempelajari ilmu bisnis, tidak akan menjadi pebisnis. Tapi, orang yang mencoba menjadi pebisnis, akan menjadi pebisnis.


Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: +62 21 816.144.2792
http://rusmanhakim.blogspot.com/2006/12/bisnis-itu-permainan-bukan-ilmu.html