Monday, May 29, 2006

Ever wonder why ?

Rating:★★★★★
Category:Other
Ever Wonder Why ?

Jew

Why a Jew can grow his beard in order to practice his faith

But when Muslim does the same, he is an extremist and terrorist!

Muslim

Nun

Why a nun can be covered from head to toe in order to devote herself to God

But when Muslimah does the same she oppressed

Hijab

Western Women

When a western women stays at home to look after her house and kids she is respected because of sacrificing herself and doing good for the household?

But when a Muslim woman does so by her will, they say, "she needs to be liberated"!

Muslim Women

Anything

Any girl can go to university wearing what she wills and have her rights and freedom?

But when Muslimah wears a Hijab they prevent her from entering her university!

Hijab

Subject

When a child dedicates himself to a subject he has potential.

But when he dedicates himself to Islam he is hopeless!

Islam

Question

When a Christian or a Jew kills someone religion is not mentioned, but when Muslim is charged with a crime, it is Islam that goes to trial!

Question

Hero

When someone sacrfices himself to keep others alive, he is noble and all respect him.

But when a Palestinian does that to save his son from being killed, his brother's arm being broken, his mother being raped, his home being destroyed, and his mosque being violated -- He gets the title of a terrorist! Why? Because he is a Muslim!

Terrorist

Question

When there is a trouble we accept any solution? If the solution lies in Islam, we refuse to take a look at it.

Question

Car

When someone drives a perfect car in a bad way no one blames the car.

But when any Muslim makes a mistake or treats people in a bad manner - people say "Islam is the reason"!

Islam

Newspapers

Without looking to the tradition of Islam, people believe what the newspapers say.

But question what the Quran says!

Quran


.........................

Saturday, May 27, 2006

Prof. Dr. M.M al-A'zami, Spesialis penakluk tesis Orientalis

Rating:★★★★★
Category:Other
Spesialis penakluk tesis kaum orientalis. Predikat itu tepat disematkan pada sosok Prof. Dr. Muhammad Mustafa al-A'zami, 73 tahun, guru besar ilmu hadis Universitas King Saud, Riyadh, Arab Saudi. Popularitas A'zami mungkin tidak setenar Dr. Yusuf Qardlawi dan ulama fatwa (mufti) lainnya. Namun kontribusi ilmiahnya sungguh spektakuler.

Sumbangan penting A'zami terutama dalam ilmu hadis. Disertasinya di Universitas Cambridge, Inggris, ''Studies in Early Hadith Literature'' (1966), secara akademik mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969), tentang hadis. Riset Goldziher (1890) berkesimpulan bahwa kebenaran hadis sebagai ucapan Nabi Muhammad SAW tidak terbukti secara ilmiah. Hadis hanyalah bikinan umat Islam abad kedua Hijriah.

Pikiran pengkaji Islam asal Hongaria itu jadi pijakan banyak orientalis lain, termasuk Snouck Hurgronje (1857-1936), penasihat kolonial Belanda. Tahun 1960, tesis Goldziher diperkuat Joseph Schacht, profesor asal Jerman, dengan teori "proyeksi ke belakang". Hadis, kata Schacht, dibentuk para hakim abad kedua Hijriah untuk mencari dasar legitimasi produk hukum mereka. Lalu disusunlah rantai periwayatnya ke belakang hingga masa Nabi.

Namun belum ada sanggahan telak atas pikiran Goldziher-Schacht dengan standar ilmiah, selain disertasi A'zami. "Cukup mengherankan," tulis Abdurrahman Wahid saat pertama mempromosikan A'zami di Indonesia tahun 1972, "hanya dalam sebuah disertasi ia berhasil memberi sumbangan demikian fundamental bagi penyelidikan hadis." Gus Dur menyampaikan itu dalam Dies Natalis Universitas Hasyim Asy'ari, Jombang, tak lama setelah pulang kuliah dari Baghdad.

Temuan naskah kuno hadis abad pertama Hijriah dan analisis disertasi itu secara argumentatif menunjukkan bahwa hadis betul-betul otentik dari Nabi. A'zami secara khusus juga menulis kritik tuntas atas karya monumental Joseph Schacht, judulnya On Schacht's Origins of Muhammadan Jurisprudence. Versi Indonesia, buku ini dan disertasi A'zami sudah beredar luas di Tanah Air. Murid A'zami di Indonesia, Prof. Ali Mustafa Yaqub, berperan banyak memopulerkan pikiran ulama kelahiran India itu.

Ali Mustafa membandingkan jasa A'zami dengan Imam Syafi'i (w. 204 H). Syafi'i pernah dijuluki "pembela sunah" oleh penduduk Mekkah karena berhasil mematahkan argumen pengingkar sunah --sebutan lain hadis. "Pada masa kini," kata Ali Mustafa, "Prof. A'zami pantas dijuluki 'pembela eksistensi hadis' karena berhasil meruntuhkan argumentasi orientalis yang menolak hadis berasal dari Nabi."

Setelah lama mapan dalam studi hadis, belakangan A'zami merambah bidang studi lain: Al-Quran. Namun inti kajiannya sama: menyangkal studi orientalis yang menyangsikan otentisitas Al-Quran sebagai kitab suci. Ia menulis buku The History of The Qur'anic Text (2003), yang juga berisi perbandingan dengan sejarah Perjanjian Lama dan Baru. "Ini karya pertama saya tentang Al-Quran," kata peraih Hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam tahun 1980 itu.

Sabtu pekan lalu, A'zami meluncurkan versi Indonesia buku itu dalam Pameran Buku Islam di Istora, Senayan Jakarta. Gus Dur, yang mengaku pengagum A'zami, bertindak sebagai panelis bersama pakar Quran dan hadis lainnya. Prof. Kamal Hasan, dalam pengantar buku itu, menilai karya A'zami ini relevan untuk meng-counter maraknya buku Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Mohammad Arkoun di Indonesia.

Kamal menyebut mereka sebagai "pengikut jejak orientalis". Tetapi Hanafi dan Abu Zayd juga dipromosikan Gus Dur di Indonesia, seperti halnya A'zami. Dua kutub kajian ini tampaknya perlu dibaca bersama. Wartawan Gatra Asrori S. Karni, Luqman Hakim Arifin, dan Nordin Hidayat, Ahad lalu, bertemu A'zami di Hotel Sahid Jakarta. Berikut petikan percakapan mereka:

Apa yang mendorong Anda menggeser objek studi dari hadis ke Al-Quran?
Al-Quran dan hadis keduanya pegangan penting seorang muslim. Keduanya sama-sama berasal dari Allah SWT. Selain itu, kini orang-orang Barat, para orientalis, banyak mengkaji Al-Quran sekehendak mereka. Mereka begitu ketakutan pada Al-Quran. Bagi mereka, Al-Quran seperti bom. Karena itu, mereka ingin ada proses peraguan (tasykik) atas kebenaran Al-Quran.

Studi orientalis generasi lama memang antipati pada Islam. Namun ada penilaian, arah kajian mereka akhir-akhir ini makin membaik: makin apresiatif dan empati pada Islam.

Apanya yang membaik? Bila Anda hendak menyimpulkan, jangan dari fakta parsial. Anda harus menyimpulkan dari keseluruhan fakta. Masih ada orientalis yang menulis sejarah Nabi dan mengatakan bahwa musuh terbesar manusia di dunia adalah Muhammad, Al-Quran, dan pedangnya Muhammad.

Dan problem mendasar kajian orientalis, mereka memulai kajiannya dengan tidak mempercayai Nabi Muhammad. Kita mengatakan, Muhammad adalah Nabi dan Rasul Allah. Menurut mereka, itu bohong besar. Jadi, mereka mengawali pembahasan dengan dasar pikiran bahwa Muhammad adalah pembohong, bukan rasul sebenarnya.

Mungkinkah mengkaji Islam semata-mata untuk tujuan studi, tanpa tujuan dan bekal keimanan, sebagaimana kaum orientalis?
Tidak mungkin. Agama apa saja, pada kenyataannya, sulit sekali mengkajinya tanpa keimanan. Kita lebih mudah mengkaji dan memahami Yahudi dan Kristen, karena kita percaya dan menghormati Musa, Harun, Maryam, dan Isa. Sementara orang Yahudi dan Nasrani tidak bisa memahami Islam, karena mereka mendustakan dan tak beriman pada Muhammad.

Bila Anda baca tulisan orang Yahudi tentang Isa dan Maryam, Anda akan temukan ungkapan mereka sangat kotor dan menjijikkan. Ada yang menuding Isa telah berzina tiga kali. Kalau penulisnya muslim, tidak mungkin bilang begitu. Haram! Karena kita memuliakan para nabi terdahulu. Persoalannya, berapa banyak orang Islam yang mau mengkaji lebih jauh tentang keyakinan Yahudi dan Nasrani? Sedangkan mereka sangat intens melakukan kajian tentang Islam.

Benarkah buku Anda sebagai counter atas corak kajian Al-Quran ala pemikir semacam Hassan Hanafi, Abu Zayd, dan Arkoun yang populer di Indonesia?
Ini bukan counter langsung. Tapi ada hal penting yang harus digarisbawahi di sini bahwa otoritas menafsirkan Al-Quran ada di tangan Rasulullah. Kita percaya, Al-Quran berasal dari Allah dan diturunkan pada Muhammad. Allah berfirman, "Dan kami turunkan Al-Quran pada kamu agar kamu jelaskan pada manusia." Sama saja, bila ada problem konstitusi di Indonesia, misalnya, maka yang berwenang membuat interpretasi adalah para hakim Indonesia. Meski meraih gelar doktor di Universitas Cambridge, saya tidak punya otoritas menyelesaikan problem konstitusi di Indonesia.

Jadi, kalau ada orang berpikir liberal, lalu menafsirkan perintah salat dalam Al-Quran semaunya, tidak mengindahkan tuntunan Rasul sebagai penafsir yang mendapat mandat dari Allah, maka saya katakan, "Siapa Anda? Siapa yang memberi Anda otoritas membuat tafsir sendiri?" Orang-orang seperti Hassan Hanafi dan Abu Zayd itu adalah "anak-cucu" Barat. Tak perlu meng-counter langsung mereka. Kecuali kalau terpaksa. Saya sebenarnya tidak peduli pada pemikiran-pemikiran mereka. Saya ingin membentuk pandangan saya sendiri.

Dalam pandangan Anda, apa yang membuat beberapa pemikir muslim menyerap pengaruh Barat? Tidakkah karena kekuatan argumentasi Barat?
Persoalan pokok sebenarnya adalah soal iman. Dari berbagai informasi, sangat nyata kebanyakan dari mereka adalah fasik (banyak berbuat dosa) dan sedikit sekali yang religius (mutadayyin). Mereka tidak puasa dan tidak salat. Ketika bulan Ramadan, subuh mereka bangun, makan pagi, tapi ketika magrib, ikut berbuka bersama lainnya, malamnya juga ikut sahur, ha, ha, ha....

Hasan Hanafi dan Nasr Abu Zeid misalnya, tidak belajar di sekolah-sekolah Barat. Tapi pemikiran mereka seperti mewakili pemikiran Barat. Mungkinkah?
Tentu. Karena buku-buku kajian mereka berasal dari Barat. Tapi Nasr Abu Zeid pernah belajar secara khusus di Jepang.

Kami pernah mengulas buku Prof. Christhop Luxenberg (nama samaran) yang berkesimpulan, bahasa asli Al-Quran adalah Aramaik, jadi yang beredar sekarang Quran palsu. Komentar Anda?
Ah, dia pemikir bodoh. Beberapa penulis mengomentari bahwa pengetahuannya tentang bahasa Syiriya-Aramaik sangat dangkal. Kata dia, Al-Quran berasal dari bahasa Aramaik, kemudian setelah 100 tahun beralih ke bahasa Arab. Sehingga disebut Quran kondisional. Itu sama sekali bukan kajian ilmiah.

Apakah pemikiran Christhop Luxenberg ilmiah atau tidak?
Tidak. Sama sekali jauh dari pemikiran ilmiah…

Apakah ini merupakan salah satu cara dari para orientalis untuk merusak umat Islam?
Itu nggak ada artinya. Tapi sekarang beberapa kali dan akan berkali-kali, mereka menginginkan bahwa ketika Al-Quran dibuat tidak ada titik dan tasydid. Nah, sekarang mereka menginginkan agar Al-Quran diperbarui dari sisi titik dan tasydid-nya. Lalu, membacanya seperti yang kita kehendaki, memberi tanda-baca baru, dan menjadikannya baru. Al-Quran lalu menjadi Al-Quran sesuai kebutuhan (kondisional).

Apakah mereka juga memiliki kaidah dasar untuk membuat Al-Quran kondisional tersebut?
Kaidahnya ya sekehendak hati mereka. Karena mereka memberi tanda baca sesuai kebutuhan mereka.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa Al-Quran merupakan produk budaya. Apa komentar Anda?
Itu pendapat Nasr Abu Zeid. Tapi apa yang sebenarnya disebut produk budaya? Ini tak ubahnya ketika orang menyebut “terorisme”. Semua berbicara terrorism. Tapi tidak pernah ada satu pun definisi yang muttafaq alaihi tentang terorisme. Terorisme justru kerap dikaitkan dengan Islam. Kita perlu memahami apa pengertiannya dulu.

Dalam hal ini, apakah pengertian produk budaya sama dengan asbabun nuzul (memahami Quran secara kontekstual)?
Tidak (sama). Memahami Quran secara kontekstual bisa dilakukan, jika “sesuatu” mempunyai kaitan dengan asbabun nuzul, tapi tak bisa diterapkan di semua tempat. Kecuali di beberapa tempat khusus yang merupakan sebab turunnya (ayat). Jadi, Anda tak bisa datang dan langsung mengatakan aqiimus shalat. Padahal di sana tidak ada asbabun nuzul, karena di sana adalah amr (perintah). Seharusnya, sebelum itu ada sebab. Allah adalah pencipta seluruh makhluk. Tentunya Dia tahu mana yang berbahaya dan bermanfaat bagi makhluk-Nya.

Jangan bermain dengan Api! Tidak ada …konteks di sini. Tidak hanya berlaku sekarang tapi selamanya.

Ini wacana yang elit. Apa hal penting dari buku Anda bagi orang-orang awam?
Saya tak bisa mengemukakan sesuatu untuk semua orang. Jadi saya sudah kepikiran untuk menulis buku baru, yang bisa dibaca dan dipahami oleh semua ummat Islam.

Anda pernah belajar dan lulus dari sebuah universitas di Barat. Tapi sikap anda tampak konservatif, dalam arti tidak liberal orang-orang seperti Hassan Hanafi atau Nasr Abu Zeid. Mengapa?
No! Saya kira ini pertanyaan dan persoalan tentang iman. Ha…ha..ha…

Menurut anda, apa yang salah dengan Barat?
Apa yang salah dengan Barat adalah sikap (attitude)-nya.

Apa tantangan terbesar bagi umat Islam saat ini?
Kitalah sesungguhnya tantangan terbesarnya. Karena kita tidak mempraktekkannya.

Man ghassa falaisa minna. “Barangsiapa yang menipu tidak termasuk golongan kami”. Kalau anda mengambil hadis dan mengujinya di dalam kehidupan (Adzami memberi contoh, bagaimana ia menemukan seorang penjual susu yang menempelkan hadis ini di atas tokonya, tapi ternyata ia menambah air dalam susu yang dijualnya). Meskipun Anda percaya Al-Quran dan Hadis, tapi dalam praktek kehidupan kita kita jauh dari sunnah. Ini salah satu kesulitan kita. Kalau kita menjadi good practicse-nya moslem. Saya tidak bicara tentang Islamisasi ilmu di sini. Tapi saya ingin menegaskan bahwa pengetahuan di Islam masih sangat jauh dari praktek. Islam itu sebenarnya pratek, bukan teori.

[Agama, Gatra Nomor 22 Beredar 11 April 2005]

Tuesday, May 23, 2006

Megaproyek Islamisasi Peradaban Syed M. Naquib Al-Attas

Rating:★★★★★
Category:Other
Syed Naquib Al-Attas
Megaproyek Islamisasi Peradaban

(republika.co.id)


Menjadikan peradaban Islam kembali hidup dan memiliki pengaruh yang mewarnai peradaban global umat manusia adalah salah satu gagasan dan proyek besar cendekiawan ini. Seluruh hidupnya, ia persembahkan bagi upaya-upaya revitalisasi peradaban Islam, agar nilai-nilai yang di masa lalu dapat membumi dan menjadi 'ikon' kebanggaan umat Islam, dapat menjelma dalam setiap lini kehidupan kaum Muslim sekarang ini.

Seluruh daya upaya itu telah dan terus dilakukan oleh Syed Naquib Al-Attas, intelektual yang di masa kini menjadi salah satu menara keilmuan Islam modern. Proyek besarnya itu dikemasnya dalam 'Islamisasi Ilmu Pengetahuan' melalui lembaga pendidikan yang ia dirikan, yakni International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, Malaysia.

Guru Besar dalam bidang studi Islam di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur ini lahir di Bogor, Indonesia, pada 5 September 1931. Moyang Naquib berasal dari Hadramaut (keturunan Arab Yaman). Dari garis ibu, Naquib keturunan Sunda, sekaligus memperoleh pendidikan Islam di kota Hujan itu. Sementara dari jalur ayah, ia mendapatkan pendidikan kesusastraan, bahasa, dan budaya Melayu. Ayahnya yang masih keturunan bangsawan Johor itu, membuat Naquib memiliki banyak perhatian tentang budaya Melayu sejak muda. Tampaknya kedua orang tuanya ingin Naquib kecil mendalami ilmu di negeri jiran, Malysia. Lantaran itu, sejak usia 5 tahun, Naquib dikirim menetap di Malaysia. Di sinilah ia mendapatkan pendidikan dasarnya di Ngee Heng Primary School.

Namun, sejak Jepang menduduki Malaya pada pertengahan 40-an, Naquib kembali ke Indonesia dan melanjutkan pendidikan menengahnya di Madrasah Urwatul Wutsqa, Sukabumi. Ia tamat sekolah atas, dan kembali ke Malaysia. Naquib sempat bergabung dengan dinas ketentaraan negeri itu, dan sempat pula dikirim untuk belajar di Royal Military Academy, Inggris.

Namun pada 1957, ia keluar dari militer dan melanjutkan studi di University Malaya. Selanjutnya, ia mengambil studi Islam di McGill University, Montreal, Kanada hingga meraih gelar master. Sementara strata doktoralnya ia raih dari School of Oriental and Africa Studies, University of London (1965). Ia lantas kembali ke Malaysia dan pernah memegang beberapa jabatan penting, antara lain Ketua Jurusan Kajian Melayu, University Malaya (UM).

Naquib sempat menjadi perhatian publik intelektual Malaysia dan mendapat tentangan keras beberapa kalangan ketika ia mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa resmi pengantar di sekolah. Saat itu, bahasa resmi pengantar adalah Bahasa Inggris.

Ia juga menentang keras penghapusan pengajaran bahasa Melayu-Jawi (yang ditulis dengan huruf Arab) di sekolah-sekolah dasar dan lanjutan. Kini, sistem tersebut masih diberlakukan di negeri jiran tersebut. Naquib memang memberi perhatian besar pada bahasa dan budaya Melayu. Ia ingin putra bumi (pribumi) benar-benar terdidik sehingga tidak menjadi obyek dari penjajahan kultural dunia Barat.

Selain itu, Naquib amat memberi perhatian besar pada bidang pendidikan Islam. Pada Konferensi Dunia Pertama Pendidikan Islam di Makkah, 1977, ia mengungkapkan konsep pendidikan Islam dalam bentuk universitas. Respons bagus muncul dan ditindaklanjuti oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang menjadi sponsor pendirian Universitas Islam Internasional (IIU) Malaysia pada 1984.

Tak hanya berhenti di situ, Naquib juga mendirikan ISTAC, lembaga pendidikan Islam yang dimaksudkan untuk merevitalisasi nilai-nilai peradaban Islam dan islamisasi ilmu pengetahuan. Lembaga ini sempat menjadi perhatian publik intelektual internasional dan dipandang sebagai salah satu pusat pendidikan Islam terpandang. Sayangnya, akibat tragedi 11 September 2001, pemerintah Malaysia bersikap berlebihan dan mencurigai beberapa pengajar sebagai pengembang gerakan Islam.

Akibatnya pemerintah negeri itu mengeluarkan keputusan menggabungkan ISTAC ke dalam UM, sebagai salah satu departemen tersendiri, dan tak lagi sebagai lembaga pendidikan Islam independen. Atas berbagai prestasinya itu, Naquib meraih banyak penghargaan internasional. Di antaranya, Al-Ghazali Chair of Islamic Thought.

Sebagai intelektual dan ilmuwan Muslim yang sangat dihormati dan berpengaruh, Selama ini Naquib dikenal sebagai pakar di bidang filsafat, teologi, dan metafisika. Gagasannya di sekitar revitalisasi nilai-nilai keislaman, khususnya dalam bidang pendidikan, tak jarang membuat banyak kalangan terperanjat lantaran konsep yang digagasnya dinilai baru dan karena itu mengundang kontroversi.

Salah satu konsep pendidikan yang dilontarkan Naquib, seperti ditulis dalam The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1998) yang telah di-Indonesiakan oleh Mizan (2003), yaitu mengenai ta'dib. Dalam pandangan Naquib, masalah mendasar dalam pendidikan Islam selama ini adalah hilangnya nilai-nilai adab (etika) dalam arti luas. Hal ini terjadi, kata Naquib, disebabkan kerancuan dalam memahami konsep tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib.

Naquib cenderung lebih memakai ta'dib daripada istilah tarbiyah maupun ta'lim. Baginya, alasan mendasar memakai istilah ta'dib adalah, karena adab berkaitan erat dengan ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan dan ditularkan kepada anak didik kecuali orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang.

Sementara, bila dicermati lebih mendalam, jika konsep pendidikan Islam hanya terbatas pada tarbiyah atau ta'lim ini, telah dirasuki oleh pandangan hidup Barat yang melandaskan nilai-nilai dualisme, sekularisme, humanisme, dan sofisme sehingga nilai-nilai adab semakin menjadi kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah ilahiyah. Kekaburan makna adab atau kehancuran adab itu, dalam pandangan Naquib, menjadi sebab utama dari kezaliman, kebodohan, dan kegilaan.

Dalam masa sekarang ini, lazim diketahui bahwa salah satu kemunduran umat Islam adalah di bidang pendidikan. Dari konsep ta'dib seperti dijelaskan di atas, akan ditemukan problem mendasar kemunduran pendidikan umat Islam. Probelm itu tidak terkait masalah buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalahartikan, bertumpang tindih, atau diporakporanndakan oleh pandangan hidup sekular (Barat).

Akibatnya, makna ilmu itu sendiri telah bergeser jauh dari makna hakiki dalam Islam. Fatalnya lagi, ini semua kemudian menjadi 'dalang' dari berbagai tindakan korup (merusak) dan kekerasan juga kebodohan. Lahir kemudian pada pemimpin yang tak lagi mengindahkan adab, pengetahuan, dan nilai-nilai positif lainnya. Untuk itulah, dalam amatan Naquib, semua kenyataan ini harus segera disudahi dengan kembali membenahi konsep dan sistem pendidikan Islam yang dijalankan selama ini.

Pada sisi lain, Naquib berpendapat bahwa untuk penanaman nilai-nilai spiritual, termasuk spiritual intelligent dalam pendidikan Islam, ia menekankan pentingnya pengajaran ilmu fardhu ain. Yakni, ilmu pengetahuan yang menekankan dimensi ketuhanan, intensifikasi hubungan manusia-Tuhan dan manusia-manusia, serta nilai-nilai moralitas lainnya yang membentuk cara pandang murid terhadap kehidupan dan alam semesta. Bagi Naquib, adanya dikotomi ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah tidak perlu diperdebatkan. Tetapi, pembagian tersebut harus dipandang dalam perspektif integral atau tauhid, yakni ilmu fardhu ain sebagai asas dan rujukan bagi ilmu fardhu kifayah.

Berkaitan dengan islamisasi ilmu pengetahuan, sosok Naquib amat mencemaskan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Sosok ini termasuk orang pertama yang menyerukan pentingnya islamisasi "ilmu". Dalam salah satu makalahnya, seperti ditulis Ensiklopedi of Islam, Naquib menjelaskan bahwa "masalah ilmu" terutama berhubungan dengan epistemologi. Masalah ini muncul ketika sains modern diterima di negara-negara muslim modern, di saat kesadaran epistemologis Muslim amat lemah.

Adanya anggapan bahwa sains modern adalah satu-satunya cabang ilmu yang otoritatif segera melemahkan pandangan Islam mengenai ilmu. Naquib menolak posisi sains modern sebagai sumber pencapaian kebenaran yang paling otoritatif dalam kaitannya dengan epistemologis, karena banyak kebenaran agama yang tak dapat dicapai oleh sains yang hanya berhubungan dengan realitas empirik. Pada tingkat dan pemaknaan seperti ini, sains bertentangan dengan agama. Baginya, dalam proses pembalikan kesadaran epistemologis ini, program islamisasi menjadi satu bagian kecil dari upaya besar pemecahan "masalah ilmu."

Naquib, seperti disinggung di atas, juga memberi perhatian besar pada nilai-nilai Melayu. Pemikir ini berpendapat, jati diri Melayu tak terpisahkan dengan Islam. Bahkan menurutnya, kemelayuan itu dibentuk oleh Islam. Bukti-bukti yang diajukannya bukan berdasarkan peninggalan-peninggalan fisik, tapi terutama berkaitan dengan pandangan dunia orang melayu.

Ia berpandangan, dakwah Islam datang ke wilayah Melayu sebagai "Islamisasi". Proses ini, ujarnya, berjalan dalam tiga periode dan tahap yang serupa dengan ketika Islam mempengaruhi Abad Pertengahn Eropa. Segenap apa yang dilakukan Naquib jelas menunjukkan komitmennya tentang upaya peradaban Islam tampil kembali ke permukaan dan mewarnai kancah pergaulan.

Hingga kini, Naquib masih terus menulis. Ia tergolong intelektual yang produktif. Puluhan buku telah ia tulis, antara lain: Rangkaian Ruba'iyat; Some Aspects of Shufism as Understood and Practised Among the Malays; Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh; The Origin of the Malay Sya'ir; Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago.

Selain itu, ia juga menulis Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu; Risalah untuk Kaum Muslimin; Islam, Paham Agama dan Asas Akhlak; Islam and Secularism; The Concept of Education in Islam; The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul; dan The Meaning and Experience of Happiness in Islam.

Sebagian dari karyanya tersebut telah diterjemahkan ke beberapa bahasa, seperti Inggris, Arab, Persia, dan Indonesia. Di usianya yang uzur kini, pemikir yang banyak pengaruhnya dalam kancah intelektualisme kontemporer ini terus aktif merealisasikan gagasan dan pemikirannya melalui lembaga ISTAC. (republika.co.id)


Saturday, May 20, 2006

Pelecehan Islam di IAIN

Rating:
Category:Other
Sabili.co.id - Seorang dosen Fakultas Dakwah IAIN Supel menyebut al-Qur’an sebagai mahluk. Ia juga menginjak-injak lafadz Allah di hadapan para mahasiswa. Heboh. Bagaimana di perguruan tinggi Islam lainnya?

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel (Supel), Surabaya, Jawa Timur, 6 Mei 2006. Perkuliahan di Fakultas Dakwah berlangsung. Sulhawi Ruba, dosen Sejarah Peradaban Islam (SPI) menyampaikan kuliahnya di depan para mahasiswa semester dua Fakultas Dakwah. Di saat yang sama, perkuliahan juga berlangsung di sejumlah fakultas di kampus Islam kebanggaan arek-arek Suroboyo itu. Seperti biasanya, proses transfer ilmu di IAIN Supel berjalan tertib dan tenang.

Namun ketenangan proses belajar-mengajar itu pecah oleh ulah tidak pantas Sulhawi Ruba. Di hadapan para mahasiswa/inya, dosen SPI yang tidak fasih membaca “kitab kuning” itu, mengatakan bahwa al-Qur’an, kitab suci orang Islam sebagai mahluk. Sama seperti mahluk ciptaan Allah SWT lainnya, seperti rumput, harimau dan lainnya. “Al-Qur’an itu hasil kebudayaan manusia,” kata laki-laki yang mengaku diri penganut paham liberal itu.

Tak cukup menyebut al-Qur’an sebagai mahluk. Dosen yang sering menyebut dirinya dengan syekh (sebutan orang untuk para ulama dan pemikir Islam –red) ini, menginjak-injak lafadz Allah yang ditulisnya sendiri di atas secarik kertas kemudian dibuangnya ke lantai. “Niat saya untuk keilmuan. Saya lakukan itu untuk memberikan pemahaman kepada para mahasiswa agar tidak syirik,” tandasnya, tanpa ada rasa takut sedikit pun akan protes umat Islam.

Penghinaan di atas seakan belum cukup buat Ruba. Ketika sejumlah mahasiswa protes, sikap dosen yang diragukan kemampuan agamanya ini malah makin menjadi-jadi. Menurutnya, sah saja menginjak-injak lafadz Allah, seperti menginjak rumput. “Karena al-Qur’an itu mahluk dan hasil budaya manusia, maka ketika menginjak lafadz Allah, sama seperti saya menginjak mahluk Allah lainnya,” ujar lelaki yang mengaku sealiran dengan grup band Dewa ini.

Sikap nyeleneh Ruba tersebut sempat membuat heboh suasana perkuliahan di kelas. Karena tidak senang mendengar dan melihat Ruba melecehkan Allah SWT dan Islam, sejumlah mahasiswi tak kuat menahan tangis. Yang lain, sambil menangis sejadi-jadinya, bergegas keluar meninggalkan perkuliahan. “Terus terang, hati saya sakit mendengar Allah dan Islam dilecehkan. Sambil menahan tangis, saya keluar dan menangis sejadi-jadinya,” tutur salah seorang mahasiswi, mengenang kejadian yang tidak pantas tersebut.

Kejadian yang menyayat hati umat ini bemula ketika Ruba memberi kuliah tentang iqra (bacalah) kepada para mahasiswa semester dua Fakultas Dakwah. Awalnya, perkuliahan berjalan baik, apalagi Ruba menyampaikan materinya diselingi dengan humor.

Penyimpangan terjadi saat Ruba mengatakan bahwa al-Qur’an adalah mahluk. Dengan maksud memperjelas pandangannya tersebut, ia meminta lembaran kertas kepada seorang mahasiswi dan menuliskan lafadz Allah dengan huruf Arab di atas kertas tersebut.

Sejurus kemudian, Ruba membuang lembaran kertas yang tertulis lafadz Allah tersebut ke lantai dan langsung menginjak-injak dengan sepatunya. Nah, jadilah kasus pelecehan al-Qur’an oleh oknum dosen IAIN Supel ini, heboh.

Ruba sendiri tidak terlalu mengkhawatirkan pandangan dan perbuatannya tersebut. Ia mengatakan, pendapatnya ini dalam konteks akademis. Seperti yang dikemukakannya kepada SABILI saat mewawancarai dosen SPI ini di kampus IAIN Supel, Surabaya, Jatim beberapa waktu lalu.

“Saya ingin memberikan pemahaman kepada mahasiswa apa itu kebudayaan. Kebudayaan adalah hasil cipta manusia. Tulisan Allah, alif lam ha, adalah budaya. Kemudian saya tulis di atas kertas dengan tulisan lafadz Allah. Ini bukan Allah. Jangan didewakan. Untuk apa? Maksud saya supaya tidak syirik,” paparnya, memberi alasan.

Ia menambahkan, “Karena itu, ketika saya demo menginjak-injak lafadz Allah harus dilihat niatnya. Kalau niatnya pelecehan, harus dibunuh. Tapi, niat saya adalah kelilmuan. Saya ingin memberikan pemahaman kepada mahasiswa agar tidak jatuh pada kesyirikan.”

Tak ayal pandangan nyeleneh dan aksi menginjak-injak lafadz Allah tersebut memantikkan kemarahan kaum Muslimin. Gelombang protes akan aksi tak pantas tersebut datang dari alim-ulama, tokoh masyarakat, kalangan akademisi dan masyarakat.

Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma’ruf Amin berpendapat menginjak-injak lafadz Allah sama saja dengan menginjak-injak al-Quran. Karena itu dia mengatakan, tindakan Ruba tersebut merupakan penodaan dan penghinaan terhadap al-Qur’an. “Jangan menginjak-injak al-Qur’an. Para ulama tidak akan rela ada al-Qur’an diinjak-injak,” kata ulama yang dikenal tegas pada paham sekular, plural dan liberal ini.

Ia juga mengatakan akan mengusut tuntas kasus ini. Kiai Ma’ruf akan meminta MUI Jawa Timur untuk meneliti kasus ini dan segera melaporkannya ke MUI Pusat. “Paham seperti ini tidak bisa dibiarkan, apalagi ada penodaan agama. Kita sepakat dalam kebebasan tidak boleh ada penodaan agama,” ujarnya.

Pandangan tak kalah kerasnya datang dari Ketua FUUI KH. Athian Ali M. Da’i. Tokoh Islam asal Bandung ini mengatakan, orang yang menginjak-injak lafadz Allah itu telah dikatakan kafir karena murtad dari keyakinannya. “Di negara Islam orang seperti ini harus dipancung, baik karena kemurtadannya juga karena ajakannya agar orang tidak mengakui adanya Allah,” tegas tokoh Islam yang pernah memberi fatwa mati untuk Ulil Abshar Abdalla itu.

Athian juga menyayangkan sikap tak tegas pemerintah terhadap kasus-kasus pelecehan Islam selama ini. Sehingga, lanjutnya, menyebabkan para pengasong paham nyeleneh itu menjadi leluasa dan berani menyatakan pemikiran dan tingkah lakunya yang tidak sejalan dengan aturan Islam. “Tak ada sanksi yang membuat mereka jera,” tambahnya.

Pandangan senada dikemukakan Peneliti LPPI Hartono A Jaiz. Penulis buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia ini menyatakan, kasus menginjak-injak lafadz Allah merupakan pelecehan ayat-ayat Allah. Menurut ulama, jika orang itu tidak segera bertaubat, maka hukumannya dibunuh.

“Kalau pelecehannya kepada Nabi Muhammad tidak usah diminta taubat, tapi langsung dibunuh. Namun jika menghina ayat-ayat Allah, maka diminta taubat terlebih dahulu. Jika tidak mau bertaubat, maka hukumannya adalah dibunuh. Karena prosedur hukum mati sulit dijalankan, maka diajukan ke pengadilan dengan tuduhan penodaan agama,” tegasnya.

Protes keras juga datang dari institusi tempat Ruba mengais rejeki, IAIN Supel sendiri. Pembantu Dekan III Fakultas Dakwah Supel Sunarto menyatakan, Sulhawi tidak layak menginjak-injak lafadz Allah, apalagi di depan mahasiswa. Meski hanya simbol, sambung Sunarto, namun seharusnya ia tahu bahwa lafadz Allah itu adalah simbol zat Yang Maha Kuasa.

“Kalau ia punya prinsip seperti itu, ya yakini sendiri saja, jangan didemonstrasikan di depan mahasiswa. Ini kan institusi Islam, sangat tidak layak melakukan penginjakan lafadz Allah. Saya kira dia harus mempertimbangkan apa yang dia diperbuat. Kalau ada yang sekadar protes, masih untung. Tapi kalau ada yang pakai cara lain, bagaimana?” Ia juga mengatakan akan menggalang dukungan di internal kampus untuk melakukan peneguran kepada Ruba.

Protes yang sama juga datang dari Guru Besar IAIN Supel Prof. Dr. Syechul Hadi Purnomo. Dewan Penasihat MUI Surabaya ini menyatakan, tindakan Ruba tersebut bukan lagi tindakan bodoh, tapi penghinaan terhadap Islam. “Ini semakin besar karena dilakukan di hadapan para mahasiswa,” ujarnya.

Dewan Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur ini juga menyatakan bahwa tindakan dosen SPI itu sama dengan penghinaan Islam yang dilakukan mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati (SGD), Bandung pada tahun 2004 yang menyebut “Selamat datang di area bebas tuhan.” “Mereka sudah kufur dan murtad,” tegasnya.

Mahasiswa UIN SGD ketika itu memasang spanduk bertuliskan, “Selamat datang di area bebas tuhan.” Di hadapan mahasiswa baru, para pengecer SEPILIS itu juga mengajak mahasiswa baru untuk berdzikir dengan ucapan “Anjing hu akbar.” Kejadian yang direkam baik dalam bentuk VCD itu juga merekam pembicaraan salah seorang di antaranya yang mengatakan, “Allah kita telah mati.”

Saat ini, para pengasong SEPILIS (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) mulai unjuk gigi di IAIN Supel, Surabaya. Mereka protes keras saat pihak rektorat mengeluarkan kebijakan kode etik mahasiswa IAIN Supel yang salah satu poinnya memuat kewajiban memakai pakaian Muslimah atau jilbab di bawah lutut.

Mereka juga giat melakukan propaganda dengan membuat buletin, seminar, kajian dan diskusi yang mengusung ide SEPILIS. Tapi, gerakan mereka belum terlalu menyebar dan separah seperti di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Hal ini dikarenakan para dosen yang lurus masih dapat mengimbangi para pengasong SEPILIS tersebut. Meski demikian, mereka berusaha merintis dan membangun gerakannya agar cepat atau lambat IAIN Supel akan seperti di UIN Jakarta.

Cerita pelecehan Islam ternyata tak hanya “monopoli” IAIN Supel, Surabaya saja. Di sejumlah perguruan tinggi Islam itu juga mengemuka kasus-kasus penodaan Islam seperti itu. Misalnya seperti kejadian di UIN Sunan Gunung Djati (SGD), Bandung, Jawa Barat, para pengasong SEPILIS juga gencar mengampanyekan ide-idenya.

Mereka juga bergerak dalam tataran wacana. Beberapa waktu lalu misalnya, mereka menggelar seminar tentang pembelaan terhadap Ahmadiyah dan pemikiran liberal. Meskipun belakangan, mereka tidak terlalu berani dan vulgar melontarkan berbagai pemikiran SEPILIS karena banyak counter dari mahasiswa lainnya. “Mereka pikir dua kali untuk berkoar secara vulgar saat ini,” kata sumber SABILI yang minta tak disebutkan identitasnya.

Kini, mereka menjalankan trik baru dengan mengusung budaya hedonisme yang tentu saja bertolak belakang dengan niai-nilai Islam. Akibatnya muncul sikap-sikap tidak islami, seperti budaya pergaulan bebas, pemakaian obat-obatan terlarang.

Mereka pernah juga mengadakan festival band yang di dalamnya dibumbui perkelahian antar peserta dan panitia. Parahnya, pada tahun 2005 lalu, mereka pernah mengadakan lomba kecantikan bencong yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan persoalan akademik.

Praktik-praktik seperti ini mendapat respon serius dari Direktur Pascasarjana UIN SGD, Bandung Dr. Afif Muhammad. Ia tak memungkiri ada pemikiran nyeleneh di kampusnya, namun jumlahnya bisa dihitung dengan jari. “Tidak bisa digeneralisir sebab banyak juga mahasiswa yang baik. Mereka mengembangkan pemikiran Islam, seperti TPA dan TQA,” ujarnya.

Ia menambahkan, saat ini kampusnya sedang melakukan sejumlah revisi kurikulum yang ada dan melakukan berbagai pengawasan untuk mengembalikan tatanan ilmu kepada nilai-nilai Islam sebenarnya. “Kita berusaha menjadikan UIN lebih baik. Selain itu harus dilihat bahwa IAIN tidak sedikit memberikan kontribusi positif bagi masyarakat,” ujarnya.

DI UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta lain lagi ceritanya. Di sini, berpikiran nyeleneh bukanlah barang baru. Bahkan, boleh dibilang UIN Jakarta menjadi contoh bagi IAIN lainnya dalam hal berpikir nyeleneh ini. Sejumlah oknum dosen dan mahasiswanya sering melontarkan pandangan SEPILIS. Misalnya, mereka menyebut semua agama sama. Ada juga yang mengatakan bahwa Budha, Hindu termasuk agama samawi.

Padahal, ini bertentangan dengan konsep Islam yang dibawa para nabi. Agama yang dibawa para nabi, mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad hanya satu, yaitu Islam. Mereka membawa satu risalah Allah, yaitu Islam.

Tak sebatas melontarkan persamaan semua agama. Wacana mengkritisi (membongkar—red) al-Qur’an juga mencuat ke permukaan. Mereka menyebut, al-Qur’an wajib dikritisi dan ditafsir ulang untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Itulah sebabnya, tidak sedikit buku yang tujuannya membongkar al-Qur’an bermunculan dari perguruan tinggi Islam ini.

Fenomena maraknya pemikiran SEPILIS di UIN Jakarta ini mendapat tanggapan dari pihak rektorat. Pembantu Rektor IV Bidang Pengembangan Lembaga Prof. Dr. Suwito membantah jika institusinya mengembangkan studi pengkritisi (revisi--red) al-Qur’an. “UIN tak mengajarkan seperti itu.

Meski demikian, Suwito tak membantah jika di UIN Jakarta diperkenalkan berbagai pendapat aliran dalam Islam, seperti Jabariyah, Mu’tazilah, Qodariyah dan lainnya. Ia juga tidak mengelak jika terjadi diskusi karena perbedaan pandangan tersebut. “Itu jalan memperoleh kebenaran. Jadi, jangan disimpulkan bahwa diskusi-diskusi itu merupakan keputusan final,” ujarnya.

Sependapat dengan pandangan sejumlah tokoh Islam bahwa UIN, IAIN atau STAIN adalah aset bangsa. Oleh karena itu, perlu ada upaya serius oleh semua pihak, baik dari internal maupun ekstral mereka untuk menyelamatkan perguruan tinggi Islam ini dari berbagai “virus” yang mematikan, seperti paham SEPILIS dan sejenisnya.

UIN, IAIN dan STAIN harus dikembalikan ke khittahnya sebagai lembaga tafaqquh fiddin yang nantinya menelurkan para sarjana yang tidak hanya berwacana saja. Tapi benar-benar sarjana yang menghayati nilai-nilai Islam yang sesuai tuntutan Nabi Muhammad saw untuk kemudian mengamalkan dan mendakwahkannya ke masyarakat.

Rivai Hutapea
Laporan: Chairul Ahmad, Apriadi Murwanto, Diyah Kusumawardani, Deffy Ruspiyandy (Bandung), Habibi Mahabbah.


Kekeliruan Para Orientalis

Rating:★★★★★
Category:Other
Oleh :

Dr. Syamsuddin Arief*


Al-Qur`an merupakan target utama serangan misionaris dan orientalis—Yahudi dan Kristen--setelah gagal menghancurkan sirah dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sayangnya, serangan tersebut didasari oleh asumsi yang keliru.

Pertama, mereka mengasumsikan bahwa Al-Qur`an adalah dokumen tertulis atau teks, bukan “hafalan yang dibaca”. Padahal, pada prinsipnya Al-Qur`an bukanlah tulisan (rasm atau writing), tetapi bacaan (qira'ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turunnya (pewahyuan), penyampaian, pengajaran, sampai periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Dari dahulu, yang dimaksud dengan ”membaca Al-Qur`an” adalah membaca dari ingatan (qara'a 'an zhahri qalbin atau to recite from memory).

Tulisan yang ada berfungsi sebagai penunjang semata-mata. Sebab pada awalnya ayat-ayat Al-Qur`an dicatat di atas tulang, kayu, kertas, daun, berdasarkan hafalan sang qari'/muqri'. Proses transmisi semacam ini--dengan isnad (narasumber) secara mutawatir dari generasi ke generasi--terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian Al-Qur`an hingga hari ini.

Ini sungguh berbeda dengan kasus Bibel. Tulisannya—fakta manuskrip dalam bentuk papyrus, perkamen, dan sebagainya--memegang peran utama dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum (perjanjian) alias Gospel.

Dengan asumsi keliru ini—menganggap Al-Qur`an semata-mata sebagai teks-- mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Akibatnya, mereka menganggap Al-Qur`an sebagai produk sejarah, hasil interaksi orang Arab abad ke-7 Masehi dan 8 dengan masyarakat sekeliling mereka.

Mereka mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti!). Karena itu mereka mau membuat edisi kritis, merestorasi teksnya, dan hendak membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada.

Kedua, meskipun pada prinsipnya Al-Qur`an diterima dan diajarkan melalui hafalan, namun juga dicatat melalui berbagai medium tulisan. Sampai Rasulullah wafat, hampir seluruh catatan awal tersebut milik pribadi para sahabat sehingga kualitas dan kuantitasnya berbeda satu sama lain. Ini karena para sahabat menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir glosses) di pinggir atau di sela-sela ayat untuk keperluan masing-masing.

Baru setelah menyusutnya jumlah penghafal Al-Qur`an karena gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam') pun dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu ’anhu hingga Al-Qur`an terkumpul dalam satu mushaf berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawatir dari Nabi.

Setelah wafatnya Abu Bakr (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah 'Umar bin Khattab sampai wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafshah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah 'Utsman bin Affan.

Pada masa inilah, atas desakan sejumlah sahabat, sebuah tim ahli dibentuk dan diminta mendata kembali semua qira'at yang ada. Mereka juga ditugasi meneliti dan menentukan nilai keshahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standardisasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang masing-masing mengandung qira'ah-qira'ah mutawatir yang disepakati keshahihan periwayatannya dari Nabi. Jadi, sangat jelas fakta sejarah dan proses kodifikasinya.

Namun, para orientalis biasanya akan mulai dengan mempertanyakan fakta ini dan menolak hasilnya. Mereka menganggap sejarah kodifikasi tersebut hanya kisah fiktif dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9 M. Di sini kelihatan bahwa para orientalis tidak mengerti atau sengaja tidak peduli bahwa Al-Qur`an tidak sama dengan Bibel. Al-Qur`an bukan lahir dari manuskrip, tapi sebaliknya, manuskrip lahir dari Al-Qur`an.

Ketiga, salah faham tentang rasm dan qira'ah-qira'ah. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam, Al-Qur`an ditulis gundul, tanpa tanda-baca sedikit pun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Namun rasm 'Utsmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin saat itu belajar Al-Qur`an langsung dari para sahabat dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.

Lucunya, orientalis semacam Arthur Jeffery dan Gerd R Joseph Puin menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul inilah sumber variant readings (ragam pembacaan)--sebagaimana terjadi dalam kasus Bibel--serta keliru menyamakan qira'ah dengan readings. Mereka tidak tahu bahwa kaidah yang berlaku pada Al-Qur`an adalah tulisan mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi (rasmu taab'iun li riwaayah), bukan sebaliknya.

Para orientalis itu juga salah faham mengenai rasm Al-Qur`an. Dalam bayangan mereka, munculnya bermacam-macam qira'ah disebabkan oleh rasm yang sangat sederhana itu, sehingga setiap pembaca bisa saja berimprovisasi dan membaca sesuka hatinya. Padahal ragam qira'ah telah ada lebih dahulu sebelum adanya rasm.

Mereka juga tidak mengerti bahwa rasm Al-Qur`an telah disepakati dan didesain sedemikian rupa sehingga dapat mewakili dan menampung pelbagai qira'ah yang diterima. Misalnya, dengan menyembunyikan (hadzf) ”alif” pada kata ”m-l-k” (Al-Fatihah: 4) demi mengakomodasi qira'ah 'Ashim, al-Kisa'i, Ya'qub, dan Khalaf—yang menggunakan "maaliki"atau panjang--sekaligus qira'ah Abu 'Amr, Ibnu Katsir, Nafi', Abu Ja'far, dan Ibnu 'Amir--"maliki" atau pendek.

Mungkin ada yang bertanya: Apakah semua qira'ah telah tertampung oleh rasm Utsmani? Adakah qira'ah mutawatir yang tidak terwakili oleh rasm Utsmani? Atau, apakah naskah-naskah yang dikirim oleh Khalifah 'Utsman ke berbagai kota (Makkah, Basrah, Kufah, Damaskus) seragam rasm-nya dan sama dengan yang ada di Madinah atau berbeda-beda, yakni sesuai dengan harf atau qira'ah yang dominan di kota tersebut?

Yang masuk katagori ketiga cukup banyak. Menurut Prof Dr Sya'ban Muhammad Ismail dari Universitas Al-Azhar, Kairo (Mesir), jumlah qira`ah yang ditulis dengan rasm berbeda-beda dalam mashahi 'Utsman, tanpa pengulangan, mencapai 58 kata.

Dari sini jelas, mushaf-mushaf yang dikirim oleh Khalifah 'Utsman ke berbagai kota itu beragam rasm-nya, sesuai dengan bacaan sahabat yang diutus untuk mengajarkannya. Namun demikian tetap saja bacaan tidak bergantung pada teks. Dan memang, qira'ah sahabat (yang dikirim ke sebuah kota) atau perawinya tidak otomatis sama dengan mushaf yang beredar di kota itu, tetapi pada umumnya sama.

Boleh saja seorang imam atau perawi membacanya sesuai dengan riwayat dan rasm yang ada di mushaf kota lain. Contohnya, Imam Hafsh di Kufah membaca Surat Az-Zukhruf: 71 dengan bacaan ”tasytahiihi al-anfus” (dengan dua ha), seperti tertera dalam mushaf Madinah dan Syam. Padahal dalam mushaf Kufah tertulis ”tasytahi” (dengan satu ha). Ini dibolehkan mengingat salah satu syarat diterimanya sebuah qira'ah adalah sesuai dengan salah satu rasm mushaf 'Utsmani.

Sebaliknya, jika suatu qira'ah tidak tercatat dalam salah satu mushaf Utsmani, qira'ah tersebut dianggap syadz' (janggal) dan tidak dapat diterima. Itu karena bertentangan dengan rasm yang disepakati atau rasm yang telah menampung dan mewakili semua qira'ah mutawatir.

Jika demikian halnya, maka improvisasi liar atau bacaan liberal seperti yang direka-reka oleh para orientalis sudah pasti ditolak.*


* PhD dari ISTAC-IIUM Kuala Lumpur, dan sekarang sedang menulis disertasi PhD kedua
di Departemen Orientalistik Universitas Frankfurt, Jerman.

Monday, May 15, 2006

Kuliah Pandangan Hidup Islam (Islam Weltanschauung)

Start:     May 20, '06 2:00p
End:     Jun 8, '06
Location:     INSISTS, Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta
Kuliah ini sebagai pengantar bagi kuliah lain yang akan diselenggarakan INSISTS. Gagasan-gagasan kunci dalam Pandangan Hidup Islam seperti konsep Tuhan, konsep agama, konsep wahyu dan kenabian, konsep manusia dan konsep ilmu akan dipaparkan secara komprehensif. Selain itu, studi komparatif antara pandangan hidup Islam dan pandangan hidup agama-agama/ peradaban lain juga akan dijelaskan.

Pengajar : Adnin Armas, MA*
Waktu : 45 hari (6 kali pertemuan, @ 2 jam), Setiap Sabtu, Pukul: 13.00-15.00 WIB
(Kuliah dimulai dari tanggal 17 Juni, 2006)
Tempat : Kantor INSISTS, Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta, Telp. 021- 7940381, Fax. 7984388

Pendaftaran dimulai dari tanggal 5 Mei 2006 s/d 8 Juni 2006. Biaya pendaftaran Rp. 300.000 (umum), Rp. 150.000 (mahasiswa). Peserta terbatas! Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kantor INSISTS atau melalui email: henri_sa@yahoo.com

Materi Kuliah

1. Konsep Tuhan: Konsep Tuhan menurut Islam dan perbedaannya dengan konsep Tuhan dalam filsafat Yunani, Barat Modern, agama-agama lain dan gagasan Kesatuan Transenden Agama-Agama
2. Konsep Agama: Etimologi: din, madani dan tamaddun serta derivasinya yang lain. Perbedaan konsep agama dalam Islam dengan konsep agama-agama lain. Dan konsep Tragedi.
3. Konsep Wahyu dan Kenabian: Al-Quran sebagai kalamullah, Sejarah teks al-Quran, Bahasa Arab al-Quran, Konsep Kenabian
4. Konsep Manusia: Manusia dalam Islam, Jiwa dan akal manusia, Hak, kewajiban, kebebasan, keadilan dan kebahagiaan.
5. Konsep Ilmu: Konsep Ilmu dalam Islam dan Barat, Islamisasi Ilmu.


* Adnin Armas, M.A, menyelesaikan pendidikannya di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo tahun 1992 dan melanjutkan ke Universitas Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM), dalam bidang Filsafat. Memperoleh Sarjana dari International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) bidang Pemikiran Islam (Islamic Thought) dengan tesis berjudul Fakhruddin arRazi on Time pada tahun 2003.

Saat ini beliau adalah kandidat doktor di ISTAC UIAM aktif sebagai peneliti INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization). Karya beliau antara lain adalah: Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an; Pengaruh Orientalis terhadap Islam Liberal. Di samping itu beliau sangat aktif menulis artikel-artikel ilmiah di beberapa majalah dan surat kabar di Indonesia.

Saturday, May 13, 2006

Pengadilan keluarga



Assalamu'alaikum,

Tiba-tiba
saja seluruh badanku berkeringat dingin. Jari-jari kaki dan tanganku
terasa lengket karena peluh yang terus saja keluar dari lubang
pori-pori. Entah kenapa, detak jantungku bergerak lebih cepat ketika
mobil yang kunaiki berdua dengan ibuku, berhenti di sebuah rumah di
komplek perumahan di Pejaten. Padahal selama di perjalanan kondisi
badanku sangat baik. Beberapa hari yang lalu, ibu memang sempat
mengajakku ke rumah uwa Hariry, kakak kandung ibu di Pejaten. Ibu dan
aku sepakat untuk membawa semua yang sedang aku hadapi ini untuk
dibicarakan dengan pihak keluarga tertua.

Akhirnya hari Sabtu
sore 13 Mei, jadilah aku disidang di hadapan ibu dan dua saudara
lelakinya. Saudara ibu yang satu lagi bernama wa Harun, adik ibu. Wa
Harun ini memang punya sifat yang tegas dan lantang dalam berbicara,
dan sifat ini sangat bertolak belakang dengan wa Hariry yang lebih
lemah lembut dan bijaksana dalam bertutur kata.

Ruang sidang itu
adalah ruang tamu uwa Hariry dimana beliau sebagai mantan asisten
menteri biasa menerima tamu-tamunya disini. Posisi duduk mereka bertiga
benar-benar strategis yaitu membentuk formasi seperti layangan dimana
akulah yang berada disudut paling jauh. Posisi itu benar-benar
membuatku semakin mirip terdakwa kasus kelas berat dan sukses membuat
telapak tanganku semakin basah oleh peluh. Kasihan jantungku yang mulai
terasa tak berirama lagi detaknya....

Setelah ibu mengutarakan
maksud kedatangannya, maka giliranku untuk angkat bicara. Tetapi belum
selesai sekitar 3-4 kalimat aku ucapkan, wa Harun dengan suara lantang
memotong pembicaraanku dan mengeluarkan pendapat-pendapatnya. Bahkan
porsi bicara wa Harun lebih banyak dibandingkan aku. Ketika aku coba
potong pembicaraannya dengan baik-baik, maka beliau dengan tegas
berkata, "Nanti dulu saya belum selesai !".

Sekali
lagi beliau sukses membuat peluh di telapak tanganku banjir. Mataku
mulai sedikit kabur dan sesekali aku melirik ke ibu dan wa Hariry, tapi
pandangan tajam mereka berdua tertuju tepat ke mataku. Ah ! rasanya aku
ingin lari saja dari ruang sidang itu !. Aku membayangkan lari menuju
mobil dan melarikannya sejauh mungkin dari rumah itu.....Tapi
tidak....tidak ! aku harus coba untuk terus bertahan !.

Setelah
masing-masing di ruang sidang itu mengutarakan pendapatnya sekitar 15
menit, ruangan menjadi sedikit sepi senyap selama beberapa menit sambil
diiringi sayup-sayup suara adzan maghrib di kejauhan. Suasana di
menit-menit itu seperti sedang berbaik hati untuk memberikan aku celah
untuk bernafas dan menenangkan diri....

Tapi tak lama ! karena setelah itu wa Harun mulai angkat bicara lagi dan berkata, "Baik kalau begitu, karena Indra dan sang akhwat sudah sama-sama siap, nanti kita ke Bandung untuk khitbah........".

Alhamdulillahi Rabbill Aalamiin...................
.......Segala puji bagi-Mu Ya Allah..........

Wassalamu'alaikum









Thursday, May 11, 2006

Bush VS Bush




Film pendek ini sepertinya dibuat secara independent yang dikemas layaknya sebuah talkshow interaktif. Dan yang menjadi bintang tamu di talkshow ini adalah Mr. Bush dengan lawan debatnya....another Mr. Bush !. Confuse ? hehe just watch :)

Sunday, May 7, 2006

Mari ikut membantu...



Assalamu'alaikum,

Ini adalah aksi long march yang pertama kalinya bagiku. Tak pernah aku mengikuti aksi semacam ini sebelumnya. Dulu aku pernah berkeinginan apabila suatu saat nanti aku harus ikut aksi turun ke jalan, maka aksi itu haruslah yang mempunyai nilai tambah di hatiku dan mempunyai nilai lebih di mata Rabbku.

Maka hari itu kuputuskan untuk mengikuti aksi turun ke jalan bertajuk "One Man, One Dollar To Save Palestina" yang diadakan oleh Partai Keadilan Sejahtera. Walaupun saya bukan kader, boleh dong ikut team horenya :D. Hari itu sekitar 180 ribu manusia dari wilayah Jabotabek tumpah ruah di sepanjang jalan MH. Thamrin. Mereka memulai aksi long march nya dari bundaran Hotel Indonesia dan berakhir di depan kantor kedutaan besar Amerika.

Aksi long march itu berjalan dengan damai. Selama di perjalanan, hal-hal inilah yang selalu kupertanyakan dalam
hati dan juga kutanyakan ke Fatah, sahabatku. Selama ini yang aku
perhatikan di televisi, banyak aksi-aksi massa semacam ini yang berujung
menjadi tindakan vandal dan merusak.

Salah satu contohnya adalah yang baru kita lihat kemarin di depan gedung MPR, menyedihkan bukan ?. Padahal dengan jumlah massa yang mencapai kurang lebih 180 ribu manusia itu sangat mungkin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akibatnya bisa lebih fatal dibandingkan kejadian kemarin di depan gedung MPR. Tapi ternyata ? aksi itu berjalan dengan sangat damai, sedamai wajah para akhwat disana. Oh ya, ketika aku mau berangkat, seseorang kirim sms yang isinya, "Sebelum ikutan aksi, jangan lupa bawa jaket plus topi dan....hati-hati ya akh disana banyak akhwat-akhwat cantik...".

Fatah, sahabat saya yang ketua RISMATA sekaligus kader setia PKS itu pun menjawab dengan bijaksana. Dia mengatakan bahwa semua itu kembali kepada apa sebenarnya yang menjadi tujuan kita dalam melakukan aksi massa. Kalau tujuan kita hanyalah untuk meraih ridha Allah, maka kita sendiri yang akan malu ke Allah apabila ingin melakukan aksi-aksi yang merugikan orang lain.

Fatah juga mengatakan, "Yang kita lakukan ini bukan untuk membela hak kita pribadi, tapi kita membela hak saudara kita semuslim nun jauh di Palestina sana yang ter-zhalimi bukan saja secara fisik tapi juga secara psikis yang bisa mengakibatkan torehan luka yang lebih dalam dan lama, maka sudah sewajarnyalah kita ikut berpartisipasi sebatas yang kita mampu". Saya terkesima mendengar penjelasan dari seseorang yang selalu jadi bahan bercandaan kita semua di RISMATA :).

Maka saat itu saya semakin yakin, bahwa sekecil apapun kontribusi kita dalam membantu saudara kita, pastilah akan membuka jalan bagi kita untuk mendapatkan ke-ridhaan Allah terhadap negeri ini. Bukankah ada hadits yang mengatakan bahwa doa orang-orang yang ter-zhalimi itu adalah doa yang tidak ada hijab antara sang hamba dengan Allah dan mudah untuk dikabulkan. Lalu bayangkan ketika semua warga Indonesia ikut membantu Palestina, dan mereka membalasnya dengan ribuan atau bahkan jutaan doa agar Indonesia menjadi negara yang lebih baik di masa depan. Sungguh....sebuah transaksi yang indah, mari kita ikut membantu... (http://ads.eramuslim.com/act-palestine/)

Wassalamu'alaikum







One Man One Dollar for Palestine, May 7th 2006




Sekecil apapun kontribusi kita dalam membantu saudara kita, pastilah akan membuka jalan bagi kita untuk mendapatkan ke-ridhaan Allah terhadap negeri Indonesia ini. Bukankah ada hadits yang mengatakan bahwa doa orang-orang yang ter-zhalimi itu adalah doa yang tidak ada hijab antara sang hamba dengan Allah dan mudah untuk dikabulkan.

Lalu bayangkan ketika semua warga Indonesia ikut membantu Palestina, dan mereka membalasnya dengan ribuan atau bahkan jutaan doa agar Indonesia menjadi negara yang lebih baik di masa depan. Sungguh....sebuah transaksi yang indah, mari kita ikut membantu...

http://ads.eramuslim.com/act-palestine/

Friday, May 5, 2006

Menyegerakan Nikah

Rating:★★★★
Category:Other
Oleh : Empi Sofyan
republika.co.id


Banyak alasan orang yang kerap menunda-nunda nikah. Di antara dalih yang sering jadi alasan adalah takut tidak mampu memberi nafkah keluarga alias takut miskin. ''Barangsiapa yang takut menikah karena takut miskin, maka bukan umatku.'' (HR Dailami dan Abu Dawud).

Rasulullah SAW berpesan, ''Wahai para pemuda, jika salah seorang dari kalian mampu menikah, maka lakukanlah, sebab menikah itu baik bagi mata kalian dan melindungi yang paling pribadi (farj).'' (HR Bukhari dan Muslim). Hadis di atas mengisyaratkan untuk segera menikah bila lahir batin, fisik maupun mental, telah mampu. Bahkan, Rasulullah SAW mempertegas, ''Barangsiapa yang suka syariatku, maka hendaklah mengikuti sunahku. Dan bagian dari sunahku adalah menikah.'' (HR Baihaqi).

Menikah memiliki banyak keutamaan. Pertama, terpelihara diri dan agamanya. Rasulullah SAW berkata, ''Jika seorang telah menikah, berarti ia telah mencukupi separuh dari agama, maka hendaklah bertakwa pada Allah dalam menjaga sisanya yang separuh.'' Kedua, mendapatkan limpahan rahmat dari Allah SWT. ''Pintu-pintu langit akan dibuka dengan rahmat-Nya dalam empat situasi, yaitu saat turun hujan, saat seorang anak melihat wajah orang tuanya dengan kasih, ketika pintu Ka'bah dibuka, dan saat pernikahan,'' jelas Rasulullah SAW.

Ketiga, berbagi kasih sayang dan cinta. ''Di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah adalah Dia menciptakan dari jenismu pasangan-pasangan agar kamu (masing-masing) memperoleh ketenteraman dari (pasangan-pasangan)-nya, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir. (QS Ar-Rum (30): 21).

Nikah merupakan ibadah yang didasarkan pada kerelaan, kesediaan, serta berkomitmen secara tulus untuk merajut rumah tangga sebagai surga yang dipenuhi kasih dan sayang (mawaddah wa rahmah). Mawaddah, secara harfiah berarti kelapangan dan kekosongan. Jadi, mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk.

Sedangkan rahmah adalah kondisi psikologis yang terbit di dalam ufuk hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. ''Istri-istri kalian adalah pakainan bagi kalian, dan kalian adalah pakaian untuk mereka. (QS Al-Baqarah (2): 187).

Hidup melajang dan membujang seumur hidup, secara psikologis, tak sehat. Sebab, secara fitri manusia membutuhkan pasangan hidup tempat saling mencurahkan kasih sayang. Dan yang terpenting, nikah merupakan salah satu solusi ampuh guna menekan angka penyakit-penyakit sosial, seperti pergaulan bebas.