Saturday, July 23, 2005

Perbedaan Pendapat Pada Umatku Adalah Rahmat ?

Rating:★★★★★
Category:Other
Source : http://swaramuslim.net

Perbedaan Pendapat Pada Umatku Adalah Rahmat ?

Berkata sebagian kaum Muslimin :

"Biarkanlah keragaman pendapat yang ada di tubuh kaum Muslimin tentang agama mereka tumbuh subur dan berkembang, asalkan setiap perselisihan dibawa ketempat yang sejuk."

Alasan mereka didasarkan pada sebuah hadits yang selalu mereka ulang-ulang dalam setiap kesempatan, yaitu hadits:

"Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat"

Benarkah ungkapan ini? benarkah Rasulullah mengucapkan hadits tersebut?
Apa kata Muhadditsin (Ahli Hadits) tentang hadits tersebut??

Syaikh Al-Albani rahimahulah berkata: "Hadits tersebut tidak ada asalnya". [Adh-Dha’ifah :II / 76-85]

Imam As-Subki berkata: "Hadits ini tidak dikenal oleh ahli hadits dan saya belum mendapatkannya baik dengan sanad shahih, dha’if (lemah), maupun maudhu (palsu)."

Syaikh Ali-hasan Al-Halaby Al-Atsari berkata: "ini adalah hadits bathil dan kebohongan." [Ushul Al-Bida’]

Dan dari sisi makna hadits ini disalahkan oleh para ulama.

Al-‘Alamah Ibnu Hazm berkata dalam Al-Ahkam Fii Ushuli Ahkam (5/64) setelah menjelaskan bahwa ini bukan hadits: "Dan ini adalah perkataan yang paling rusak, sebab jika perselisihan itu adalah rahmat, maka berarti persatuan adalah adzhab. Ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang muslim, karena tidak akan berkumpul antara persatuan dan perselisihan, rahmat dan adzhab."

Bagaimanakah Daya Rusak Hadits Palsu Tersebut Terhadap Islam ?


1. Mengekalkan perpecahan dalam Islam

Tidak ragu lagi bahwa hadits tersebut adalah tikaman para pembawanya bagi persatuan Islam yang haqiqi. Ketika para pembawa panji-panji sunnah menyeru umat kepada persatuan Aqidah dan Manhaj (jalan/metode) yang shahih. Tiba-tiba muncul orang-orang yang mengaku mengajak kepada persatuan Islam dengan berkata: "Biarkanlah kaum muslimin dengan keyakinannya masing-masing, biarkanlah kaum muslimin dengan metodenya masing-masing dalam berjalan menuju Allah , janganlah memaksakan perselisihan yang ada harus seragam dengan keyakinan dan pola pikir orang-orang arab padang pasir 15 abad yang lalu. Karena Rasulullah bersabda: "perselisihan pendapat pada umatku adalah rahmat."

Allahu Akbar…!! Alangkah kejinya ungkapan tersebut dan banyak lagi perkataan yang semisalnya yang mengakibatkan kaum muslimin abadi di dalam aqidah dan manhaj yang berbeda. Padahal ayat-ayat dalam Al-Qur’an melarang berselisih pendapat dalam urusan agama dan menyuruh bersatu. Seperti Firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 46 yang artinya;

"Jangan kamu berselisih, karena kamu akan menjadi lemah dan hilang kewibawaan kamu."

Surat Ar-Rum ayat 31-32:

"Jangan kamu seperti orang-orang yang musyrik, yaitu mereka mencerai-beraikan agamanya dan bergolong-golongan. Dan setiap golongan berbangga dengan apa yang ada pada golongan mereka."

Surat Hud ayat: 118-119:

"Mereka terus-menerus berselisih kecuali orang yang mendapatkan rahmat dari Tuhanmu."

Dan kita diperintah Allah untuk bersatu dalam Aqidah dan manhaj diatas Aqidah dan Manhajnya Rasulullah dan para sahabatnya. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-An’am ayat: 153 yang artinya:

"Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa."

Dan kita diperintahkan Allah untuk merujuk bersama kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah ketika terjadi perselisihan, bukannya membiarkan perselisihan aqidah dan hal-hal yang pokok dalam agama meradang di tengah ummat dengan dalih sepotong hadist palsu. Firman-Nya dalan surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya:

"Jika kamu berselisih pendapat maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya."

2. Kaum muslimin tidak lagi menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagi sandaran kebenaran dan hakim.

Syaikh Al-Albani berkata: "Diantara dampak buruk hadits ini adalah banyak kaum muslimin yang mengakui terjadinya perselisihan sengit yang terjadi diantara 4 madzab dan tidak pernah sama sekali berupaya untuk mengembalikannya kepada Al-Qu’an dan Al-Hadits." [Adh-Dha’ifah: I/76]

Allah berfirman menceritakan Nabi-Nya Muhammad ketika mengadu kepada-Nya:
"Berkatalah rasul: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan." [QS. Al-Furqan:30].

Sungguh hal itu terulang kembali di zaman ini dikarenakan hadist palsu yang menggerogoti ummat.

3. Umat islam tidak lagi menjadi umat terbaik yang jaya di atas umat yang lainnya.

Ini dikarenakan hadits palsu tersebut menjadi dinding bagi seorang muslim untuk beramar ma’ruf nahi mungkar, seorang muslim tidak lagi menegur saudaranya yang berbuat salah dalam syirik, kekufuran, dan bid’ah serta maksiat disebabkan meyakini hadits palsu tersebut. Karena mereka menganggap semua itu sebagai suatu perbedaan yang hakikatnya adalah rahmat, sehingga tidak perlu untuk ber-nahi mungkar. Akibatnya, predikat ummat terbaik tidak lagi disandang oleh umat islam, karena telah meninggalkan syaratnya yakni Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali-’Imran ayat: 110 yang artinya:
"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah ."

4. Ancaman dan kecaman yang keras dari Nabi, karena berkata dengan mengatasnamakan Rasulullah secara dusta.

Rasulullah bersabda :

"Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia siapkan tempat duduknya dari api neraka" [Riwayat Bukhari-Muslim].

Hendaklah takut orang-orang yang mengada-adakan perkataan dusta atas nama Rasulullah , demikian pula orang-orang yang menyebarkan dan mendongengkan kisah-kisah palsu dan lemah yang hanya muncul dari prasangka belaka yang padahal prasangka itu adalah seburuk-buruk perkataan.

5. Meninggalkan perintah Allah

Ini adalah efek lanjutan dari hadist palsu tesebut, karena ketika seseorang mentolelir perselisihan aqidah, halal dan haram, serta segala sesuatu yang telah tegas digariskan oleh dua wahyu, maka di saat yang sama ia telah meninggalkan perintah Allah untuk menuntaskan setiap perselisihan kepada Al-Qur’an, dan As-Sunnah. Sebagaimana Allah berfiman :
"Jika kamu berselisih pendapat maka kembali-kanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya" [An-Nisa:59]

6. Melemahkan kekuatan kaum Muslimin serta membuka jalan bagi orang-orang kafir untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Syaikh Ali Hasan dalam kitabnya "ushul bida" mengisyaratkan dampak buruk hadist tersebut yang dapat melemahkan kaum muslimin dan menjatuhkan kewibawaannya, karena jelas-jelas hadist palsu tersebut menebarkan benih-benih perpecahan di tubuh kaum Muslimin, sedangkan Allah berfirman :
"Jangan kamu berselisih, karena kamu akan menjadi lemah dan hilang kewibawaan kamu." [Al-Anfal: 46]

Ibnu mas’ud meriwayatkan :
“Rasulullah membuat satu garis dengan tangannya lalu bersabda “ini jalan Allah yang lurus”, lalu beliau membuat garis-garis dikanan kirinya, kemudian bersabda, “ini adalah jalan-jalan yang sesat tak satupun dari jalan-jalan ini kecuali didalamnya terdapat setan yang menyeru kepadanya.” Selanjutnya beliau membaca firman Allah , “dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia janganah mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertaqwa (Qs. Al-an’am153)”. (Hadits shahih riwayat Ahmad dan Nasa’i).


Maraji’:
Ushul bida’ [Syaikh Ali Hasan Ali Abdul hamid]
Sifatush shalaty An-Naby [Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani] dan sumber-sumber lainnya
http://swaramuslim.net

35 comments:

  1. karena syariat itu sudah paripurna. segala sesuatu sudah termaktub dalam Al Quran dan Al Hadits yang menjadi tempat kembalinya ummat dari segala permasalahan. karena jika tidak kembali pada keduanya, dengan apa lagi ummat ini berpegang....?
    Katakan Hitam adalah Hitam
    Katakan Putih adalah Putih
    Tuk Kebenaran dan Keadilan...menjunjung totalitas perjuangan
    (lho, kok kayak demo..!)

    ReplyDelete
  2. numpang baca...
    makasih sharing artikelnya ya.... ^_^

    ReplyDelete
  3. Siap grak ! hehe kok jadi kerasa lagi upacara

    ReplyDelete
  4. Silahkan, mudah-mudahan bermanfaat ya jeng

    ReplyDelete
  5. Jazakallah akhi Indra atas posting ini.

    Saya ingin menambahkan sedikit, bahwa kalimat serupa di atas pernah diucapkan oleh beberapa tokoh Islam di masa silam di antaranya adalah Khalifah Umar bin Abdul Azis dan Imam al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr al-Siddiq, yang konteksnya lebih mengarah kepada perbedaan pendapat di dalam masalah2 furu' / cabang dalam agama.

    Imam As-Suyuthi juga menyebutkan hal ini dalam salah satu kitab beliau, bahwa dalam hal2 furu' / cabang agama, perbedaan pendapat (argumentasi) di kalangan ulama memberikan kemudahan bagi umat. Bahkan di kalangan sahabat Rasulullah SAW terjadi perbedaan2 pendapat yang tidak dikecam oleh beliau SAW. Sudah menjadi sunatullah, otak manusia dan latar belakang mereka berbeda2 sehingga perbedaan pendapat di antara mereka adalah lumrah saja.

    Mengkomentari pendapat Ibnu Hazm yang mengkritik pendapat tsb, Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim berkata "Ketika dikatakan perbedaan pendapat adalah rahmat, ini tidak langsung berarti bahwa lawannya kalimat tersebut (persatuan/tidak adanya perbedaan pendapat) adalah bukan rahmat. Tidak ada seorang pun yang bisa menyimpulkan demikian... Allah SWT sendiri berfirman "Karena rahmat-Nya ia menjadikan malam itu bagi kamu agar kamu bisa beristirahat di dalamnya", Dia menyebut malam sebagai rahmat ini tidak berarti bahwa siang adalah adzab atau bukan rahmat."

    Wallahu'alam.

    ReplyDelete
  6. Kalau gitu saya juga mau nambah lagi bahwa hadits dhaif/maudhu ini juga pernah dibawakan oleh seorang cendekiawan muslim dari Paramadina universitas saya, yaitu Nurcholish Madjid. Bisa dilihat disini, paragraf ke enam dari bawah.

    Berikut ini ada penambahan :

    Perbedaan pendapat merupakan sunnatullah di muka bumi ini namun apakah dapat dikatakan bahwa ia merupakan rahmat bagi umat Islam.?

    Tentunya jawaban atas hal ini selalu dilandaskan kepada sebuah hadits yang amat masyhur, yang menyatakan bahwa perbedaan pendapat itu adalah rahmat. Nah, kali ini, akan sedikit berbicara tentang hadits tersebut dan kualitasnya,

    NASKAH HADITS

    اِخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ

    “Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat.”

    Penjelasan:

    Hadits dengan redaksi seperti ini sebagai yang disebutkan Imam as-Suyûthiy dalam buku yang kita kaji ini (ad-Durar al-Muntatsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah) diriwayatkan oleh Syaikh Nashr al-Maqdisiy di dalam kitabnya “al-Hujjah” secara marfu’ dan al-Baihaqiy di dalam kitabnya “al-Madkhal” dari al-Qasim bin Muhammad, yaitu ucapannya,
    “Dan dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, dia berkata,

    مَا سَرَّنِي لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ لَمْ يَخْتَلِفُوْا، ِلأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوْا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ

    “Tidak menyenangkanku andaikata para shahabat Muhammad itu tidak berbeda pendapat, karena andaikata mereka tidak berbeda pendapat, tentu tidak ada rukhshoh (keringanan/dispensasi)”

    Setelah ucapan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ini, Imam as-Suyûthiy mengomentari,
    “Menurutku, ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah perbedaan mereka di dalam hukum. Ada pendapat yang mengatakan bahwa maksudnya adalah perbedaan di dalam bidang skill dan pekerjaan. Ini disebutkan oleh beberapa orang.

    Dan di dalam Musnad al-Firdaus dari jalur Juwaibir, dari adl-Dlahhâk dari Ibn ‘Abbas secara marfu’ disebutkan,

    اِخْتِلاَفُ أَصْحَابِي لَكُمْ رَحْمَةٌ

    “Perbedaan pendapat para shahabatku bagi kalian adalah rahmat.”

    Ibn Sa’d di dalam kitabnya “ath-Thabaqât” berkata, ‘Qabîshah bin ‘Uqbah menceritakan kepada kami, dia berkata, ‘Aflah bin Humaid menceritakan kepada kami, dia berkata, ‘dari al-Qâsim bin Muhammad berkata,

    كَانَ اخْتِلاَفُ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ رَحْمَةً لِلنَّاسِ

    “Perbedaan para shahabat Muhammad itu merupakan rahmat bagi umat manusia.” “ [Selesai ucapan Ibn Sa’d]

    CATATAN:

    Penahqiq (analis) atas buku yang kita kaji ini, yaitu Syaikh. Muhammad Luthfy ash-Shabbâgh memberikan beberapa anotasi berikut:
    “Hadits ini kualitasnya Dla’îf (Lemah) . Untuk itu, silahkan merujuk kepada buku-buku berikut:

    1. al-Maqâshid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah, karya as-Sakhâwiy, h.26
    2. Tamyîz ath-Thayyib Min al-Khabîts Fîmâ Yadûr ‘Ala Alsinah an-Nâs Min al-Hadîts, karya Ibn ad-Diba’, h.9
    3. Kasyf al-Khafâ` wa Muzîl al-Ilbâs ‘Amma isytahara Min al-Ahâdîts ‘Ala Alsinah an-Nâs, karya al-‘Ajlûniy, Jld.I, h.64
    4. al-Asrâr karya ,no.17 dan 604
    5. Dla’îf al-Jâmi’ karya Syaikh al-Albâniy, no.230
    6. Silsilah al-Ahâdîts adl-Dla’îfah karya Syaikh al-Albâniy, no.57
    7. Tadzkirah al-Mawdlû’ât karya al-Fitniy, h.90
    8. Tadrîb ar-Râwiy karya Imam as-Suyûthiy, h.370
    9. Faydl al-Qadîr karya as-Sakhâwiy, jld.I, h.209-212, di dalam buku ini Imam as-Subkiy berkata, “(Hadits ini) tidak dikenal di kalangan para ulama hadits dan saya tidak mengetahui ada sanad yang shahih, dla’if atau mawdlu’ mengenainya.”

    Menurut saya (Syaikh Muhammad Luthfiy), “Perbedaan pendapat itu bukanlah rahmat tetapi bencana akan tetapi ia merupakan hal yang tidak bisa dihindari sehingga yang dituntut adalah selalu berada di dalam koridor syari’at dan tidak menjadi sebab perpecahan, perselisihan dan perang.”

    (Sumber: ad-Durar a

    ReplyDelete
  7. Thanks akh Indra for the additional information! Jadi tambah panjang deh tuh referencenya... :-) tapi insya Allah bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Amin.

    Memang sudah seharusnya Muslim scholars berhati2 menggunakan reference yang apriori disebutnya sebagai "hadits Nabi" sebagai dasar argument mereka tanpa mau meneliti lebih jauh sumbernya.

    Sekalian mumpung masih inget :-) dan masih berhubungan dengan topik ini, setahu saya ada dua buku bagus "The Ethics of Disagreement in Islam"nya Dr.Taha Jabir Al-Alwani dan "Fiqh Ikhtilaf"nya Dr.Yusuf Qardhawi yang membahas secara komprehensif mengenai perbedaan pendapat dalam umat Islam sejak zaman Nabi SAW, para shahabat, tabi'in, sampai Imam2 mazhab. Bagi yang ingin membacanya online, bukunya Al-Alwani bisa diakses di link ini. Kalau bukunya Qardhawi di atas belum saya jumpai online. :-) (kalau nggak salah bisa dibeli toko2 buku Islam di tanah air). Tapi mudah2an reference ini (dan reference yang diquote akhi Indra) bisa menambah wawasan bagi kita2 yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai topik satu ini yang sering menimbulkan konflik dan perpecahan umat.

    ReplyDelete
  8. Hhehe iya ya jadi tambah panjang nih tapi alhamdulillah kalau artikel ini berguna akh :)...tentang bukunya Dr.Taha Jabir Al-Alwani ini kira-kira ada terjemahan Indonesia nya ngga ya ? kalau Fiqih Ikhtilafnya Qardhawi sepertinya saya pernah lihat disini, insya Allah saya coba cari deh. Ternyata hadits dhaif dan maudhu itu bisa berbahaya ya, apalagi kalau yang membawakan hadits dhaif dan maudhu itu seorang yang terpandang...Mudah-mudahan Allah selalu membimbing kita semua ke jalan yang selalu di ridhai-Nya...Amin

    ReplyDelete
  9. Islam Cinta Keadilan
    Takan takut akan rintangan
    membela kebenaran tinggikan keadilan
    Hanya 4jjI tujuan

    ReplyDelete
  10. wah bagus sekali tulisan Indra ini. Semoga Alloh makin berikan banyak ilmu pada Indra. Tahniah

    ReplyDelete
  11. Terima kasih doanya, mudah-mudahan Allah semakin banyak memberikan ilmu-Nya bukan hanya ke saya saja tapi kepada kita semua. Aamiin

    ReplyDelete
  12. Kalau melihat hasil search di google, tampaknya buku ini sudah diterjemahkan... Judulnya "Etika berbeda pendapat dalam Islam", penerbitnya Pustaka Hidayah (atau mungkin juga ada yang dipublished oleh penerbit2 lainnya). Kalau di Jakarta mungkin bisa didapatkan di buku Wali Songo atau Gunung Agung. Biasanya mereka memiliki koleksi buku2 Islam lengkap. Wallahu'alam.

    ReplyDelete
  13. Terima kasih banyak mas, biasanya saya juga suka cari di Walisongo, nanti saya coba cari disana :)

    ReplyDelete
  14. Jazakallahu khoir katsir akh indra, postingan yang bagus sekali .....

    ReplyDelete
  15. Jazakallahu khoir katsir akh indra, postingan yang bagus sekali .....

    ReplyDelete
  16. assalamualaykum,
    saya numpang baca, dan jadi termenung sendiri

    btw krn saya teh awam banget, jadi saya pengen nanya.

    bismillahirahmanirrahiim........

    kalau memang perbedaan itu nggak boleh, sulit banget ya teh, buat saya memilih yg mana yg bener. kalo kebetulan teteh/akang tau jawaban yang dibawah, saya dikasih tau dong teh

    saya misalnya, dulu waktu masih di kampung, di kampung teh, ada yang shalat tarawih 11 rakaat, yang kampung lain teh shalat tarawih 23 rakaat, dan dua-duanya sama-sama muhammadiyah, dan sama-sama syafii.
    sampe sekarang sih saya teh, ya.. karena dibilangin ada hadis itu (nggak tau itu teh maudhu/semacam itu), ya.. menerima aja. mungkin aja dua-duanya benar, pernah dilakukan Rasulullah.

    kalaupun tidak, mungkin salah satu sahabat mencontohkan lain, karena ijtihad yang bersangkutan.

    begitupula perbedaan tentang berbagai bacaan shalat. soalnya, buku shalat teh banyaaak sekali, tapi beda-beda semuanya. doa juga.

    terus puasa, ada yang bilang puasa ayyamul apaa gitu, hari-hari putih, itu sebaiknya dilakukan, ada yang bilang bid'ah.

    terus shalawat, ada yang bilang shalawat itu bid'ah, tapi kita setiap shalat baca shalawat, dan wajib lagi itu teh (ada di buku-buku fiqh)

    terus terang saya teh jadi panik dan bararingung baca artikel ini teh. waktu saya dulu kecil, saya suka iseng baca buku hadis (riyadhus shalihin) punya ayah saya, setau saya bahkan hadis-hadis yagn sama-sama shahih tentang shalat janazah saja, bervariasi. ada yang bilang takbirnya 5 rakaat, dan ada yang bilang takbir

    sekarang, saya teh sempet baca buku fiqh, baik dari yang syafii, hanafi, maliki bahkan hambali. saya teh menemukan bahkan, didalam syafii sendiri kok banyak perbedaan ya?

    maksudku, kan imam syafii pernah di mesir, dan pernah di madinah. fatwa beliau di kedua tempat itu nggak bener-bener sama, misalnya yang nikah. sehingga sekarang, orang syafii di mesir dan madinah praktik keagamaannya beda.

    saya sendiri belum nemu bukunya.

    terus gimana yaa.. hubungan kita dengan teman-teman dari berbagai firqah?

    apakah harus kita putuskan begitu saja? bukankah makna persatuan adalah mempersatukan orang-orang yang berbeda. kalau semua orang sama, maka persatuan (mungkin) tidak perlu ada. karena sudah sama.

    lalu dimana fungsi dakwah, fungsi pembelajaran dsb.

    lagian, saya teh jadi was-was. kan ulama-ulama berijtihad juga, tentang berbagai hal, dan pendapat mereka beda-beda. apakah hanya ulama yang kita ikuti saja yang benar?

    tapi kan dia juga belum tentu benar sepenuhnya. imam-imam madzhab bilang begitu.

    rasanya imam syafii/salah satu imam madzhab pernah berkata, pendapat saya benar, tapi bisa jadi mengandung kesalahan, pendapat dia salah, tapi bisa jadi mengandung kebenaran.

    akhirnya, dia tidak menafikan perbedaan. saya jadi bingung teh.. gimana yaa
    maaf panjang banget, abis saya bingung.

    sebetulnya, saya jadi bingung, harus bersikap apa? saya teh madzhab ukhuwah, jadi saya senang deh sama ukhuwah berbagai firqah. makanya saya bingung.

    ReplyDelete
  17. assalamualaykum,
    saya numpang baca, dan jadi termenung sendiri

    btw krn saya teh awam banget, jadi saya pengen nanya.

    bismillahirahmanirrahiim........

    kalau memang perbedaan itu nggak boleh, sulit banget ya teh, buat saya memilih yg mana yg bener. kalo kebetulan teteh/akang tau jawaban yang dibawah, saya dikasih tau dong teh

    saya misalnya, dulu waktu masih di kampung, di kampung teh, ada yang shalat tarawih 11 rakaat, yang kampung lain teh shalat tarawih 23 rakaat, dan dua-duanya sama-sama muhammadiyah, dan sama-sama syafii.
    sampe sekarang sih saya teh, ya.. karena dibilangin ada hadis itu (nggak tau itu teh maudhu/semacam itu), ya.. menerima aja. mungkin aja dua-duanya benar, pernah dilakukan Rasulullah.

    kalaupun tidak, mungkin salah satu sahabat mencontohkan lain, karena ijtihad yang bersangkutan.

    begitupula perbedaan tentang berbagai bacaan shalat. soalnya, buku shalat teh banyaaak sekali, tapi beda-beda semuanya. doa juga. dan nyaris semuanya menginduk ke madzhab yang sama, syafii

    terus puasa, ada yang bilang puasa ayyamul apaa gitu, hari-hari putih, itu sebaiknya dilakukan, ada yang bilang bid'ah.

    terus shalawat, ada yang bilang shalawat itu bid'ah, tapi kita setiap shalat baca shalawat, dan wajib lagi itu teh (ada di buku-buku fiqh)

    terus terang saya teh jadi bararingung baca artikel ini teh. waktu saya dulu kecil, saya suka iseng baca buku hadis (riyadhus shalihin) punya ayah saya, setau saya bahkan hadis-hadis yagn sama-sama shahih tentang shalat janazah saja, bervariasi. ada yang bilang takbirnya 5 takbir, dan ada yang bilang takbirnya 4 rakaat. dan dua-duanya ada yang sama kuat, ada yang lemah. sekarang, diambil yang 4 takbir, karena Rasul lebih sering melakukan itu, ketimbang yang 5 takbir. tapi, apakah yang 5 takbir itu salah? tidak juga, toh Rasul memang pernah melakukannya.

    sekarang, saya teh sempet baca buku fiqh, baik dari yang syafii, hanafi, maliki bahkan hambali. saya teh menemukan bahkan, didalam syafii sendiri kok banyak perbedaan ya?

    maksudku, kan imam syafii pernah di mesir, dan pernah di madinah. fatwa beliau di kedua tempat itu nggak bener-bener sama, misalnya yang nikah. sehingga sekarang, orang syafii di mesir dan madinah praktik keagamaannya beda.

    terus gimana yaa.. hubungan kita dengan teman-teman dari berbagai firqah?

    apakah harus kita putuskan begitu saja? bukankah makna persatuan adalah mempersatukan orang-orang yang berbeda. kalau semua orang sama, maka persatuan (mungkin) tidak perlu ada. karena sudah sama.

    lagian, saya teh jadi was-was. kan ulama-ulama berijtihad juga, tentang berbagai hal, dan pendapat mereka beda-beda. apakah hanya ulama yang kita ikuti saja yang benar?

    tapi kan dia juga belum tentu benar sepenuhnya. imam-imam madzhab bilang begitu.

    rasanya imam syafii/salah satu imam madzhab pernah berkata, pendapat saya benar, tapi bisa jadi mengandung kesalahan, pendapat dia salah, tapi bisa jadi mengandung kebenaran.

    akhirnya, dia jadi tidak menafikan perbedaan, dalam arti, dia membenarkan perbedaan itu. saya jadi bingung teh..

    sebetulnya, saya jadi bingung, harus bersikap apa? saya teh akhirnya jadi madzhab ukhuwah aja, soalnya saya senang deh sama ukhuwah berbagai firqah. makanya saya bingung ketika hadis ini dinyatakan salah, dan batil untuk diikuti.

    kalo mengikuti Qur'an dan Sunnah, Quran kan nggak bisa ditafsirkan secara sembarangan, harus mengikuti ilmu tafsir yang meliputi ulumul Qur'an, balaghah (sastra arab), ulumuddin, dst untuk bisa menafsirkan Qur'an dengan baik, nggak serampangan. Ilmu penarikan hukum dari satu ayat Qur'an itu tidak mudah sama sekali.

    tapi, tafsir Quran (yang mereka yang menafsirkan adalah para ahli) juga sangat bervariasi. Saya teh, melihat di banyak tafsir Quran, mengikut sertakan juga pendapat ulama tafsir yang lain di dalamnya, untuk kehati-hatian. Bagaimanapun, para ulama tafsir sadar betul bahwa beliau tidak maksu

    ReplyDelete
  18. Assalamualaikum akhi,

    Di artikel yang ana posting disini ada yang comment dan bertanya ttg permasalahan artikel itu. Kalau ngga merepotkan, mungkin akhi bisa bantu menulis di comment artikel itu dan memberikan pandangan dan pemikiran akhi kepada orang itu, insya Allah berpahala.

    Syukron

    ReplyDelete
  19. knapa mesti bararingung atuh teh, walaupun saya masih awam terhadap dinul islam ingin mencoba untuk memberi sedikit gambaran dari fakta yang ada agar teteh sedikit tidak bingung :

    secara fitrah manusia itu diciptakan berbeda2, baik itu dari tingkah laku, pola fikir, warna kulit dsb. so berbeda its ok. tapi klo dilihat dari konteks hadits diatas (sebelum melihat apakah itu hadits dhaif or shahih ). maka setiap muslim akan mempunyai anggapan bahwa menjalankan syariah boleh sekehendak dia (tanpa harus belajar apa yang di contohkan oleh rasul tentunya melalui hadits yang shahih). dengan alasan (berbeda kan suatu rahmat). So yang ditimbulkan apa.. kita malah terpecah belah, orang yahudi & nasrani menganggap umat muslim, umat yang tidak kompak, dll. yang efek nya lebih mudharat dari pada maslahat.

    so kita ingin bersatu apa ingin berbeda ?,

    masalah fiqih itu kan banyak cabangnya. dan dalam satu madzhab pun ada yang berbeda tatacara pelaksanaanya, sesuai dengan yang dinyatakan teteh tersebut. hal itu karena imam tersebut saat itu berijtihad untuk memecahkan masalah yang tidak ditemukan pada jaman rasulullah & disesuaikan dengan kondisi geografis, kondisi masyarakat dsb.

    sebetulnya yang harus dibingungkan dan dipikirkan adalah bagaimana cara menyatukan umat ini agar tidak terpecah belah, bukannya memikirkan perbedaan yang ada. kalo qta berbicara masalah perbedaan tidak akan ada ujungnya.

    menyikapi perbedaan pendapat yang ada ditengah2 umat muslim sekarang adalah dengan kita terus mencari kebenaran (terus belajar) syariah yang sesuai dengan yang di perintahkan oleh 4jjI & diajarkan oleh rasul. dengan begitu kita tidak mudah untuk di bodohi dan disesatkan. karena bangsa yahudi dan nasrani sudah menggunakan media perbedaan pendapat para ulama untuk menghancurkan umat islam.

    lebih utama mana meluruskan masalah tauhid dengan meluruskan masalah fiqih, yang kita sendiri belum begitu faham masalah fiqih secara keseluruhan. kondisi yang ada sekarang malah orang2 lebih tertarik menonjolkan perbedaan fiqih dari pada melihat umat muslim indonesia yang tauhid nya masih kacau balau, masih suka menduakan 4jjI, masih suka bersemedi mencari wangsit dsb.

    ayoo tehhh terus belajar, berdakwah, dan menuai pahala Insya 4jjI qta bertemu di jannahnya. amienn

    ReplyDelete
  20. setlah mikir-mikir, mungkin yang bikin bingung teh ini...

    mustinya, perbedaan tidak ditafsirkan sebagai perpecahan nya..

    karena toh secara prinsip itu berbeda. perbedaan sendiri diakui al Qur'an, misalnya di ayat bahwa manusia itu diciptakan bersuku-suku dan bergolongan. dan leres pisan, bener pisan itu teh, kalo berbeda itu fitrah sekali.

    sedangkan perpecahan, meskipun satu firqah, kalau tidak mau saling bertoleransi dan bekerjasama, itu yang namanya perpecahan.

    kalau nggak mau bekerjasama dan gontok2an karena perbedaan, itulah yang namanya perpecahan. kitu meureun.dan itu emang sih, berbahaya pisan.

    soal menjalankan syariat sekehendak dia, ini beda deui.. saya sih berpendapat, kalo awam kaya kita teh, harus punya guru/ulama. jadi maqamnya kita mah, taqlid aja sama ulama, pada masalah fiqh dan urusan ubudiyah lainnya. kenapa? karena kita mah nggak punya ilmunya untuk menghukumi musik rock, dangdut dan tekno itu haram misalnya .

    kita bisa berijtihad untuk memilih ulama yang menurut kita paling cocok/paling berilmu. udah sampe situ. biar nggak buat syariat sendiri secara serampangan dan tanpa ilmu, kaya sebagian orang (inget kasus shalat jumat di newyork?).

    tah, tapi kalau kita udah milih ulama nu ieu, firqah yang ini, entong eh jangan menuduh orang lain yang tidak seulama rujukan/se firqah sama kita sesat, meskipun secara ritual berbeda, soalna tah eta nu namanya perpecahan. kitu meureun nya?

    bener pan, kalau kaya gini, jadi cocok. berbeda itu oke, asal tidak jadi gontok-gontokan, tidak jadi berpecah belah.

    Ibn Hazm (tau nggak, ibnu Hazm juga salah satu imam madzhab yang tidak terlalu terkenal lho), benar, perpecahan itu berbahaya, tapi, tidak berarti orang yang berbeda dengan kita harus diperangi untuk mencegah perpecahan kan?

    tah.. mun kieu abdi ngartos! (tah kalo gini saya ngerti)

    ReplyDelete
  21. hmm setiap orang berhak untuk berpendapat serta menyakini apa yang diyakininya. asal jangan taqlid buta aja teh. walaupun ulama tersebut telah memberikan ijtihadnya tidak berarti kita berhenti mencari ilmu serta kebenaran yang hakiki. untuk sementara waktu (dlm proses belajar) sih sah2 saja but kenapa mesti stag di posisi tersebut.

    Salalm JITAK (jihad & takwa)

    ReplyDelete
  22. Bismillahir Rahmanir Rahim,

    Assalamu'alaikum Ukhti, izinkan saya mencoba menjawab sebatas pengetahuan saya.

    Baiklah ukhti saya coba menjawab sesuai urutan
    A. shalat tarawih. Hadist sholat tarawih yaitu
    1. Dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwa beliau bertanya kepada Aisyah radliyallahu `anha: "Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan?" Beliau menjawab: "Tidaklah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan selainnya melebhi sebelas raka'at. Beliau shalat empat raka'at dan jangan ditanya betapa bagus dan panjangnya, lalu beliau shalat tiga raka'at." (HR Bukhari 2/25, 4/205. Muslim 2/16 Abu Uwamah 2/327 Al-Baihaqi 2/495 - 496 dan Ahmad 6/36, 37, 104)

    2. Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu `anhu berkata: "Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat bersama kami pada bulan Ramadlan delapan raka'at dan beliau berwitir. Tatkala malam berikutnya kami berkumpul di Masjid dan berharap beliau keluar (ke masjid). Ternyata beliau tidak kunjung datang sampai pagi. Kemudian kami masuk dan mengatakan: "Wahai Rasulullah kami tadi malam berkumpul di masjid dan kami mengharap engkau shalat bersama kami." Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan atas kalian."

    Di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, Muslim dan lain-lain yang menyebutkan bahwa shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada bulan Ramadlan dan selainnya di malam hari adalah 13 raka'at, termasuk darinya dua rakaat fajar. Akan tetapi ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik 1/142 dan Bukhari 3/35 dan lain-lain dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Rasulullah biasa shalat di malam hari 13 raka'at." Kemudian beliau shalat dua rakaat ringan (pendek) apabila mendengar adzan subuh.

    Al-Hafidh mengkompromikan riwayat ( 13 rakaat) ini dengan riwayat sebelumnya (11 rakaat), beliau mengatakan: "Dhahir hadits ini menyelisihi yang telah lewat, maka dimungkinan bahwa (kelebihan) dua rakaat (pada yang 13 rakaat) tadi adalah sunnah ba`da Isya'. Hal itu karena memang shalat ini dilaksanakan di rumah atau sebagai pembuka shalat malam, karena telah tsabit (tetap) dalam riwayat Muslim bahwa Rasulullah membuka shalat lail dengan dua rakaat yang ringan/pendek."

    Syaikh Al-Albani mengatakan: "Inilah yang rajih menurutku, karena riwayat Abi Salamah menunjukkan kekhususan/pengharusan pada 11 rakaat, yaitu 4 rakaat, 4 rakaat kemudian 2 rakaat. Hal ini menunjukkan tidak bertentangan dengan riwayat 2 rakaat yang ringkas."

    Bersambung

    ReplyDelete
  23. Lanjutannya....

    D .Masalah shalawat. Shalawat yang tidak diajarkan oleh rasulullah maka shalawat itu bid’ah dan bathil. Shalawat bathil seperti shalawat nariyah. Shalawat badar, shalawat sa’adah, shalawat Al in’am. Dan lain-lain yang tidak diajarkan Rasullullah. Shalawat yang diajarkan Rasulullah adalah shalawat yang ada di dalam sholat kita. Lihat kita bukhari dan muslim bab sholat.

    E. mengenai sholat jenazah. Hadits yang lebih tsabit & tsiqoh adalah yang 4 takbir. Mengenai hadits 5 takbir insya Allah ana bawakan. Apakah yang 5 takbir mempunyai cacat atau tidak. Jikalau tidak apakah di mansukh (dihapus) atau mempunyai ketentuan lain. Insya allah ana coba lihat di nailul athor atau di kitab shalat jenazah karya syaik ibu utsaimin.

    F. perbedaan ijtihad. Ijtihad ini dapat dilihat kuat lemahnya argumen tentu berdasarkan Alquran dan Assunnah yang shahih serta ijma’ sahabat. Hanya para ulama yang tsiqoh dan istiqomah dijalan Al Quran dan Assunnah yang dapat memberikan solusinya. Namun keempat tokoh madzhab tersebut sepakat bahwa jika pendapat mereka ternyata bertentangan dengan hadits shahih, maka wajib bagi kita membuang pendapatnya dan menerima hadits shahih. Dan mereka rujuk terhadap hadits shahih baik sewaktu hidup ataupun sesudah wafatnya. Berikut ana nukilkan perkataan-perkataan beliau yang diambil dari mukadimah buku sifat sholat nabi karya Imam Al Albani:

    I. ABU HANIFAH

    Yang pertama-tama diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah An-Numan bin
    Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak perkataan dan ungkapan
    darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan, yaitu kewajiban untuk
    berpegang teguh kepada hadits dan meninggalkan pendapat para imam yang
    bertentangan dengannya.

    1. "Apabila hadits itu shahih, maka hidits itu adalah madzhabku." (Ibnu
    Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/63)

    2. "Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami,
    selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya". (Ibnu Abdil Barr di
    dalam Al-Intiqau fi Fadha ilits Tsalatsatil Aimmatil FuqahaI, hal. 145)

    3. Dalam sebuah riwayat dikatakan: "Adalah haram bagi orang yang tidak
    mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku".

    4. Di dalam sebuah riwayat ditambahkan: "sesungguhnya kami adalah manusia
    yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari".
    5. "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah
    dan kabar Rasulullah salallahu alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah
    perkataanku". (Al-Fulani di dalam Al-Iqazh, hal. 50)

    II. MALIK BIN ANAS

    Imam Malik berkata:
    1. "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka
    perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan
    sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan sunnah,
    tinggalkanlah". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami, 2/32)

    2. "Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali
    dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi
    Salallhu Alaihi Wasallam". (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

    3. Ibnu Wahab berkata, "Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang
    menyelang-nyelangi jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, "tidak ada hal
    itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku meninggalkannya hingga manusia
    berkurang, kemudian aku berkata kepadanya. Kami mempunyai sebuah sunnah di
    dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah itu? Aku berkata: Al-Laits bin Saad
    dan Ibnu Lahiah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Maafiri dari Abi
    Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah
    memberikan hadist kepada kami, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah
    Shallallahu Alaihi Wa Sallam menunjukkan kepadaku dengan kelingkingnya apa
    yang ada diantara jari-jari kedua kakinya. Maka dia berkata, "sesungguhnya
    hadist ini adalah Hasan,

    ReplyDelete
  24. Wa'alaikum salam,

    Saya jadi ingin ikutan berbagi pendapat...:-) mudah2an ada manfaatnya...

    Sebenarnya ada dua hal yang bisa dipelajari dari original posting mengenai hal ini:
    1. Status reliability dari hadits "perbedaan di antara umatku adalah rahmat"
    2. Isi/makna dari hadits tsb serta implikasinya buat umat

    Meskipun telah diketahui hadits tsb ternyata statusnya unreliable (berdasarkan berbagai pandangan ulama2 hadits), tidak bisa langsung dikatakan bahwa bunyinya ("perbedaan pendapat adalah rahmat") adalah suatu hal yang tidak bisa diterima dalam Islam, tanpa ada dasar nash lain atau argumentasi yang bisa diterima. Kita semua tahu bahwa perbedaan pendapat merupakan fakta yang dapat dijumpai di kalangan ulama. Bahkan di zaman Nabi SAW pun perbedaan pendapat sudah ada di antara para sahabat beliau. Tapi selama Nabi masih hidup, perbedaan pendapat ini tidak membesar sehingga menyebabkan perpecahan atau permusuhan antara sesama Muslim.

    Mungkin satu contoh yang telah diketahui bersama bisa disebut di sini, di tengah perjalanan memerangi Bani Quraizah Nabi SAW menyuruh para sahabat untuk shalat ashr di kampung Bani Quraizah. Di tengah perjalanan ketika menjelang maghrib, sebagian sahabat akhirnya shalat ashr meskipun belum sampai di tempat tujuan karena merasa waktu ashr sudah hampir habis (dan ashr tidak bisa dijama' dengan maghrib). Sebagian sahabat lagi tidak melakukannya saat itu karena merasa akan melanggar perintah Nabi. Ketika terjadi perdebatan di antara mereka, masalah ini dibawa ke depan Nabi. Beliau tidak menyalahkan salah satu di antara kedua pendapat yang berbeda ini. (HR.Bukhari).

    Sekarang masalahnya, apakah ini berarti setiap pendapat yang berbeda dalam segala hal termasuk aqidah/prinsip keimanan atau amalan2 ibadah yang telah jelas nash/aturannya adalah sah2 saja dan diakui dalam Islam? Apakah tidak boleh dikatakan salah orang yang bilang shalat tidak perlu lagi karena dengan meditasi kita sudah bisa mengingat Allah? Apakah tidak boleh dikatakan salah pula orang yang bilang bahwa ada Nabi lagi setelah Nabi Muhammad? Atau tidak boleh dibilang salah orang yang bilang makan babi hukumnya tidak lagi haram di zaman sekarang? Tentunya hal2 ini bertentangan dengan nash2 yang telah jelas dalam Islam dan bukan lagi merupakan hal2 yang cabang/furu' dalam agama (seperti tata cara ibadah shalat misalnya).

    Saya melihat ada dua pandangan yang extrim dalam hal ini:

    1. Mereka yang bilang semua pendapat yang berbeda (apapun masalahnya) adalah sah2 saja karena kebenaran itu relatif sifatnya. Kalau kebenaran itu relatif sifatnya, apakah mereka mau membenarkan pendapat yang menghalalkan pemerkosaan, pembunuhan, terorisme, dlsb yang jelas2 haram hukumnya? Dalam pandangan ini, aturan2 yang telah jelas hukumnya akan menjadi buram, tidak jelas mana halal mana haram.

    2. Mereka yang bilang berbeda pendapat (dalam masalah apapun) dikecam oleh agama. Kalau memang berbeda pendapat itu dikecam, mengapa Nabi tidak mengecam terhadap perbedaan2 pendapat di kalangan para sahabatnya?

    Beda pendapat adalah hal yang lumrah bagi manusia (sunatullah) karena perbedaan kapasitas pemahaman dan background. Tapi ini tidak berarti kita menjadi malas untuk berusaha mengkaji dasar2 argumentasi dari pendapat2 yang berbeda ini. Dalam Islam, telah jelas adanya arahan bahwa setiap pendapat harus bisa mendasarkan argumentasinya kepada Qur'an dan Sunnah Nabi. Tapi ini tidak langsung berarti kalau demikian halnya (dengan dalih berpegang Qur'an dan sunnah) semua orang akan memiliki pendapat yang sama. Ini bisa kita lihat dalam perbedaan2 pendapat di kalangan imam2 mazhab. Ini bisa terjadi karena:
    - ada perbedaan dalam memahami arti kata2 / linguistic meaning
    - ada perbedaan dalam memahami hadits2 Nabi
    - ada perbedaan dalam memahami metodologi dalam pengambilan hukum (ushul fiqh).

    Buku Dr.Al-Alwani mengenai hal ini mungkin

    ReplyDelete
  25. G. Firqoh. Bahwa Firqoh ini memang telah dinyatakan oleh Rasulullah Shallalahu’alaihi wasallam. Bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 Firqoh.72 Firqoh masuk neraka sedang 1 firqoh yang selamat. Para sahabat bertanya siapakah 1 firqoh yang selamat itu, dijawab mereka itu adalah golongan yang cirri-cirinya adalah "Golongan itu ialah yang mengikuti sunnahku dan sunnah para shahabatku hari ini." ( Hadits mutawatir lihat. Silsilah hadits As shahihah) diriwayat lain "Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku" (lihat: Irwa'ul Ghalil,Al-Albani no 2455). Ukhti..Akhi..kebenaran itu satu, tidak berbilang. Jika ada 2 orang yang berselisih, apakah benar dua-duanya ? tentu satu bukan. Kalaupun dua-duanya benar tentu ada yang lebih kuat salah satu argumennya bukan? Jadi tetap satu bukan. Ibnu Mas’ud berkata:
    “Rasulullah menggaris satu garis dengan tangannya, kemudian bersabda: “Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Setelahnya beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya, kemudian beliau bersabda: “Ini adalah jalan-jalan. Tidak ada satu jalan pun dari jalan-jalan ini melainkan di atasnya ada setan yang mengajak kepadanya.” Beliau lalu membaca ayat: “Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan ini dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan lain karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. (Surat Al-An’am ayat 153)”
    Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya (1/465 dan 1/435) dan Ad-Darimi dalam Sunan-nya (no. 204). Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain (2/20-21). Rasulullah menggambarkan garis jalan kebenaran – jalannya Allah Cuma satu garis dan tidak banyak. Lalu bagai mana dengan saudara kita yang berada di firqoh lain. Maka itulah gunanya dakwah mengajak kepada 1 garis atau 1 jalan yang telah Allah dan RasulNya tetapkan. Seperti Ibnu Abbas r.a. mendakwahi firqoh khawarij kepada jalannya sabilul mukminin. Apakah kita dapat membangun daulah islamiyah seperti dulu khulafaur rasyidin dengan berbagai Jalan ? Jawabnya tidak. Tahukah akhi, ukhti nanti ketika imam mahdi turun beliau akan membuat daulah islamiyah dengan satu jalan. Barang siapa yang tidak mengikutinya maka dia akan celaka.

    H. Tafsir Alquran. Benar tidak gampang menafsiri Alquran. Tidak boleh menafsirkan Alquran dengan Akal. Alquran ditafsiri dengan Hadits. Ayat ditafsiri dengan ayat atau ayat dengan hadits (lihat pembukaan tafsir ibnu katsir) Tafsir Alquran membutuhkan cabang-cabang ilmunya yang banyak. Tafsir Alquran yang baik tentu dilihat dari pengambilannya melalui dari Ahli tafsir sahabat seperti ibnu mas’ud, muadz, ibnu abbas, abu hurairah dan sahabat lain yang tahu dan menyaksikan tentang turunya ayat tersebut berkaitan apa dengan apa. Tentu hadits / atsar tersebut harus shahih riwayatnya. Dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Begitupula hadits rasulullah. Harus merujuk kepada pemahaman sahabat yang menyaksikan dan mendengarkan hadits. Karena mereka lebih tahu. Mengenai shahih atau tidak, mutawatir, masyhur, bisa dilihat dari segi sanad, matan dan keadaan rijalnya (rawinya) .dia tsiqoh kah hafalannya, kehidupan sehari-harinya bagaimana ? pendustakah dia, ta’dilnya,jahr para ulama gimana dsb. Dan barang siapa yang mengatakan hadist ini shahih, dhaif maka perlu mendatangkan dalil, dari mana rujukannya, bagaimana para ulama ijma’nya dan sebagainya pula.

    I. Kata siapa berpegang pada Alquran dan Assunnah tidak menyelesaikan masalah. Justru kebalikannya.

    J. Memang tidak boleh mengatakan sesat kepada orang lain jika tidak bisa mendatangkan bukti. Jika bisa mendatangkan bukti maka orang yang sesat perlu di tahzir (memperingatkan orang akan bahaya sesatnya) dan orang tersebut kita dakwahi untuk bertaubat dan kebali kepada jalan yang benar. Tentu standart nya adalah Alquran dan Assunnah yang shahih.

    K. Memilih ulama tentu kembali lagi kepada standart keberagamaan kita yaitu mengikuti Alquran dan Assunnah. Dan tidak cocok-cocokkan, lalu baga

    ReplyDelete
  26. Jazakallah untuk temen-temen yang mau me-reply dan memberikan pendapatnya. Mudah-mudahan bisa bermanfaat. Aamiin

    ReplyDelete
  27. Salam, Ustadz...

    menurut Muhammad Al Ghazali (dalam buku Studi Kritis Hadits Nabi) dan Yusuf Qardhawi (Fatwa-fatwa Mutakhir), hadits yang lebih sahih adalah, "Bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 Firqoh.72 Firqoh selamat sedang 1 firqoh yang masuk neraka."
    Sedangkan kalimat "Para sahabat bertanya siapakah 1 firqoh yang selamat itu, dijawab mereka itu adalah golongan yang cirri-cirinya adalah 'Golongan itu ialah yang mengikuti sunnahku dan sunnah para shahabatku hari ini.' " setahu saya (menurut salah satu buku di atas) tidak termasuk bagian asli dari hadits Rasul, melainkan tambahan dari perawi..
    Mohon dijelaskan..

    ReplyDelete
  28. Salam,
    Bila Rasulullah tidak memerintahkan shalat tarawih berjamaah di masjid, mengapa Khalifah Umar memerintahkannya, dan berkata "inilah sebaik-baik bid'ah.." (Bukhari).
    Mohon penjelasan..

    ReplyDelete
  29. Saya coba bantu kasih referensi ya

    Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
    Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba'd.

    Bid'ah Dalam Makna Bahasa
    Bid'ah shalat tarawih 20 rakaat adalah bid'ah dalam arti bahasa yaitu sesuatu yang sebelumnya tidak ada kemudian diadakan. Tetapi sebenarnya keliru kalau dimasukkan dalam makna bid'ah yang sesat. Sebab apa yang dilakukan oleh Umar bin al-Khattab ra itu justru hanya meneruskan kembali apa yang dahulu sudah dikerjakan oleh Rasulullah SAW namun sempat terhenti akibat pertimbangan tertentu.

    Di masa Rasulullah SAW masih hidup, beliau SAW pernah melakukan shalat tarawih selama beberapa hari, namun setelah itu beliau berhenti mengerjakannya. Setelah diadakan konfirmasi, ternyata beliau takut shalat itu akan diwajibkan bagi seluruh umat Islam. Sebab fenomena yang terjadi selama beberapa kali menunjukkan animo para shahabat yang sangat bear untuk shalat tarawih bersama beliau. Sehingga hal ini membuat beliau khawatir bila sampai diwajibkan.

    Sehingga sejak itu, praktek shalat tarawih hanya dilakukan sendiri-sendiri oleh para shahabat, tidak berjamaah.

    Namun ketika Rasulullah SAW telah wafat dan wahyu dari langit telah terputus, maka halangan untuk tidak shalat tarawih berjamaah menjadi hilang. Kekhawatiran akan menjadi sesuatu yang diwajibkan sudah tidak ada lagi. Maka di masa Umar para shahabat sepakat "menghidupkan" kembali shalat taawih berjamaah. Bukan Umar sendirian yang melakukannya, melainkan jumhur shahabat sepakat untuk melakukannya.

    Para Shahabat Tidak Mungkin Mendiamkan Bid'ah Terjadi
    Kalau saja shalat tarawih berjamaah itu dianggap bid'ah, tidak mungkin didiamkan oleh para shahabat, sebab diantara manusia yang paling paham urusan bid'ah atau bukan adalah lapis pertama generasi Islam yaitu para shahabat. Mereka tidak mungkin akan mendiamkan seorang Umar melakukan apa yang dikehendaki seenaknya.

    Bukankah ketika Umar ra ingin membuat peraturan tentang penyusaian tarif mahar wanita dalam pernikahan, beliau langsung diprotes oleh seorang wanita. Umar pun sadar atas hal itu dan segera mengoreksinya. Apalagi dalam masalah yang melibatkan bab shalat, pastilah para shahabat protes bila apa yang diprakarsai Umar itu termasuk bid'ah.

    Namun tak satu pun riwayat menyebutkan bahwa ada seorang shahabat yang menganggap hal itu bid'ah yang sesat. Justru yang menyebutkan bahwa shalat tarawih berjamaah itu bid'ah adalah Umar ra sendiri. "Inilah senikmat-nikmat bid'ah". Namun maksudnya bukan bid'ah dalam arti ibadah yang sesat, melainkan dalam makna bahasa aslinya, yaitu sesuatu yang selama ini tidak ada lalu diadakan. Namun sebenarnya, dahulu telah disyariatkan oleh Rasulullah SAW meski sempat terhenti.

    Untuk lebih detail bisa merujuk kesini

    ReplyDelete
  30. Salam...
    Maaf, sepertinya referensinya tidak menjawab pertanyaan saya.
    Mohon klarifikasi lebih lanjut soal pernyataan Yusuf Qardhawi dan Muhammad Al-Ghazali tersebut...
    Terima kasih...

    ReplyDelete
  31. Alhamdulillah bisa dapet ilmu lagi. Saya udah periksa di kitab Silsilah Ahaadits Dha'iifah wal Maudhu'ah dan memang tertera disana bahwa hadits itu maudhu (palsu). Kita memang harus lebih hati-hati terhadap hadits-hadits dhaif apalagi maudhu. Syukron jiddan akhi Abu !.

    ReplyDelete
  32. Akhi Alifa, bisakah diquote apa yang disebut oleh Yusuf Qardhawi ini dalam bukunya mengenai hal ini? Saya memiliki buku Qardhawi mengenai Fatwa Mutakhir dan Fiqh Ikhtilaf, tapi saya tidak jumpai kata2 beliau mengenai hadits ini di dalamnya. Bisakah diinformasikan di dalam bab apa beliau menyebutkannya? Yang saya bisa jumpai dalam buku Fiqh Ikhtilaf adalah pembahasan beliau mengenai hadits terpecahnya umat menjadi firqah2, dari perpective beberapa ulama seperti Ibnu Al-Wazir, Ibnu Hazm, Ibnu Hajar, Ibn Katsir, Ibnu Taimiyah, dll, tanpa menyebut hadits yang disebut di atas.

    ReplyDelete
  33. Akhi Alifa, bisakah diquote apa yang disebut oleh Yusuf Qardhawi ini dalam bukunya mengenai hal ini? Saya memiliki buku Qardhawi mengenai Fatwa Mutakhir dan Fiqh Ikhtilaf, tapi saya tidak jumpai kata2 beliau mengenai hadits ini di dalamnya. Bisakah diinformasikan di dalam bab apa beliau menyebutkannya? Yang saya bisa jumpai dalam buku Fiqh Ikhtilaf adalah pembahasan beliau mengenai hadits terpecahnya umat menjadi firqah2, dari perpective beberapa ulama seperti Ibnu Al-Wazir, Ibnu Hazm, Ibnu Hajar, Ibn Katsir, Ibnu Taimiyah, dll, tanpa menyebut hadits yang disebut di atas.

    ReplyDelete
  34. Hadits palsu, namun ternyata maknanya diterima oleh banyak ulama, termasuk ulama salaf.

    Contohnya:

    Bayhaqi dan Zarkashi juga mengatakan:

    Qutada berkata: "`Umar ibn `Abd al-`Aziz biasa berkata :"Aku tidak menyukai jika sahabat Rasulullah Muhammad tidak berbeda (pendapat) diantara mereka, karena jika mereka tidak berbeda pendapat, maka tidak akan toleransi (bagi kita)"

    al-Hafiz al-Bayhaqi dalam bukunya al-Madkhal and al-Zarkashi dalam Tadhkirah fi al-ahadith al-mushtaharah menyebutkan:

    Imam al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr al-Siddiq berkata: "Perbedaan diantara sahabat Rasulullah Muhammad adalah rahmat bagi hamba-hamba Allah".

    al-Hafiz al-`Iraqi guru dari Ibn Hajar al-`Asqalani berkata:

    Ini adalah perkataan al-Qasim ibn Muhammad yang berkata : "Perbedaan diantara sahabat Rasulullah Muhammad adalah rahmat"

    Imam Abu Hanifa dalam versi singkat al-Fiqh al-Akbar berkata:

    "Perbedaan pendapat dalam umat adalah tanda dari rahmat"

    Ibn Qudama al-Hanbali berkata dalam al-`Aqa'id:

    "Perbedaan pendapat dalam umat adalah rahmat, dan kesepakatan mereka adalah bukti."

    13. Ibn Taymiyya dalam kitabnya Mukhtasar al-fatawa al-misriyya berkata:

    "al-a'imma ijtima`uhum hujjatun qati`atun wa ikhtilafuhum rahmatun wasi`a -- Kesepakatan para Imam (fiqh) terhadap sebuah pertanyaan adalah bukti yang pasti, dan perbedaan pendapat diantara mereka adalah rahmat yang luas... Jika seseorang tidak mengikuti salah satu satu dari empat Imam (fiqh)....maka dia dalam kesalahan, karena kebenaran tidak akan ditemukan diluar empat madzhab."

    Lengkapnya:

    http://justiz4alle.multiply.com/journal/item/1/Ulama_Salaf_Perbedaan_itu_rahmat

    ReplyDelete