Wednesday, July 6, 2005

Ketika Saudi dan Mesir Menolak Rice

Rating:★★★★
Category:Other
republika.co.id

Senin (20/6) pagi itu, awan menggantung di Sharm el Sheik, Semenanjung Sinai, Mesir. Di sebuah resor, tampak puluhan orang berbadan tegap berjaga-jaga dengan siaga tinggi. Beberapa di antara mereka sibuk berbicara melalui walkie-talkie, sementara lainnya berputar-putar mengelilingi area itu.

Hari itu, Presiden Mesir, Husni Mubarak, kedatangan tamu istimewa dari Amerika Serikat (AS), Condoleezza Rice, menteri luar negeri. Mubarak sengaja mengajak Rice bertemu di daerah yang ramai dikunjungi wisatawan itu agar pembicaraan serius bisa dilakukan dengan rileks.

Rice mengaku menunggu pertemuannya secara empat mata dengan Mubarak untuk membicarakan berbagai masalah demokratisasi di Mesir dan Timur Tengah. Pada pertemuan itu, Rice mendorong Mubarak untuk lebih memberi ruang terbuka bagi proses reformasi dan demokrasi.

''Mesir telah memulai proses demokrasi secara baik dengan dilakukannya pemilihan presiden dengan banyak calon,'' kata Rice dalam jumpa pers bersama dengan Menteri Luar Negeri Mesir, Ahmed Abul Gheit, usai pertemuan itu. September mendatang, Mesir memang akan menggelar pemilihan presiden bersejarah.

Mantan penasihat keamanan Presiden George W Bush itu mengingatkan Mesir untuk menjaga pemilihan umum itu secara adil dan transparan. ''Itu sangat esensial. Saya pikir Mesir mengerti dan saya percaya mereka akan bertanggung jawab secara serius [atas penyelenggaraan itu], karena rakyat akan mengawasi apa yang terjadi,'' tandasnya.

Abul Gheit langsung memotong pembicaraan koleganya itu. Ia meminta Rice menilai ulang ucapannya itu. ''Semua rakyat Mesir ingin pemilihan yang terbuka dan transparan, dan itu akan terjadi. Saya jamin itu.'' Rice, sambil menolehkan wajahnya, tersenyum menatap Abul Gheit. Menlu Mesir itu pun membalas senyuman Rice. Puluhan wartawan lokal dan asing berharap Rice kembali membalas interupsi rekannya itu. Seorang reporter televisi menyeletuk, mengatakan bahwa Rice kena batunya.

Wanita lajang itu pun meminta Mesir untuk bersikap ramah terhadap para demonstran, menggelar pengadilan yang adil, dan melepaskan tahanan aktivis. Abul Gheit menjawab bahwa semua yang dilakukan pemerintah sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan tak ada yang bisa mengintervensi.

Keduanya kemudian bersalaman. Para juru foto kembali sibuk mengabadikan momen itu. Setelah itu, Rice berceramah di Universitas Amerika, Kairo, dan bertemu dengan beberapa tokoh oposisi. Tapi, ia tak bersedia bertemu dengan tokoh Ikhwanul Muslimin, salah satu kelompok pergerakan besar di negeri piramid itu.

Selama sepekan, salah satu tokoh utama neokonservatif AS itu mengunjungi sejumlah negara Timur Tengah dengan agenda perubahan dan reformasi. Rice terlebih dahulu datang ke Israel dan Palestina, kemudian berlabuh di Yordania, disusul ke Mesir. Selasa (21/6) kemarin ia mengunjungi Arab Saudi yang merupakan akhir perjalanannya.

Sejak Bush terpilih kedua kalinya sebagai Presiden AS, negeri adidaya itu memfokuskan perhatiannya kepada proses demokratisasi di Timur Tengah, khususnya Mesir dan Saudi. Bahkan, mereka telah membuat semacam road map demokrasi dan reformasi Timur Tengah.

Secara tegas, Mesir dan Saudi menolak semua itu. Rice mengaku kurang begitu senang dengan penolakan yang ada. Ia pernah mengingatkan meskipun antara AS, Mesir, dan Saudi ada hubungan yang baik, namun bukan berarti akan membiarkan tidak terwujudnya demokratisasi di kedua negara itu.

Di Saudi, Rice pun kembali menegaskan tentang perlunya perubahan. Ia diterima Pangeran Abdullah dan membicarakan agenda yang dibawanya. Rice menyatakan di era seperti ini sudah saatnya tak ada lagi penangkapan terhadap aktivis yang kontra dengan pemerintah.

Padahal, Rice menegaskan orang-orang itu mencoba menyuarakan hak-haknya yang terbaikan. ''Dan itu tidak bisa dilarang,'' katanya. Bulan Mei lalu, Pemerintah Kerajaan Saudi memenjarakan tiga aktivis, yakni Ali al-Demaini, Abdullah al-Hamed, dan Matruk al-Faleh, yang disalahkan karena terlalu menggunakan terminologi Barat dalam memformulasikan tuntutannya.

Amerika juga mendesak Saudi untuk melaksanakan pemilu yang lebih terbuka dan melibatkan seluruh warganya. Menurut Rice, AS telah melakukan semua itu secara beriringan sejak ratusan tahun lalu, tanpa diembel-embeli alasan demi stabilitas keamanan kemudian demokrasi dikekang.

Menteri Luar Negeri Saudi, Pangeran Saud al-Faisal, tersenyum kecut ketika berbicara kepada para wartawan, menanggapi segala pelajaran demokrasi Rice. Ditegaskannya, penilaian penting terhadap perubahan untuk reformasi dan demokrasi tergantung semua pada rakyat Saudi. Semua, katanya, ditentukan oleh kehendak rakyat. ''Kami negara Islam, dan kami memiliki sistem serta cara sendiri untuk menentukan itu semua,'' tegas Pangeran Saud.

Pemerintah Saudi malah menuding AS yang terlalu merasa sebagai pahlawan demokrasi dan antikekerasan. Padahal, kata Pangeran Saud, mereka [para tentara dan pemerintah AS] telah memperlakukan para tawanan di Irak dan Guantanamo dengan semena-mena. Ada oknum-oknum militer AS juga yang secara sengaja telah melecahkan kitab suci umat Islam, Alquran.

Saudi mempertanyakan kredibilitas AS untuk mengajari negeri kaya minyak itu tentang demokrasi dan kekerasan. Termasuk, kata Pangeran Saud, terkait dengan penahanan tiga aktivis Saudi. ''Bukan pemerintah yang menahan mereka, tapi pengadilan,'' tegasnya.

Sejumlah analis politik Timur Tengah berpendapat kedatangan Rice ke sana terlalu berani. Semestinya, kata mereka, Rice tidak usah memaksakan dan mendiktekan demokratisasi sebelum becermin pada kelakuan mereka di Irak dan Afghanistan.


(ap/afp/erd )


9 comments:

  1. hehehe ada-ada aja si ibu nasi (rice)

    ReplyDelete
  2. dulu waktu kuliah, si ibu tk nasi (warteg) selalu nanya, nasi sama apa dek, aku jawabnya sama dengan bu...

    ReplyDelete
  3. Mampus tuh Nona Sego (Jw = Nasi)!! biar kerasa gimana gak enaknya dibikin keki!

    Democracy is suck!

    ReplyDelete
  4. nasi..nasi.. (sambil geleng2 kepala)... ngapain ceramah2 kesana, coba kesini, pasti deh dah dimaem...... mmm nyam nyam...

    ReplyDelete
  5. heuheuheuhe kira-kira dia kapok ngga ya berkunjung ke sana lagi hihi

    ReplyDelete
  6. Si nasi mah ga kapok akh, Paling-paling dia manggil babenya si semak-semak (bush)..supaya bikin isu terorisme...he.he.he.

    ReplyDelete
  7. Kesini aja sekalian, biar dibadhog dia...hahahaha

    ReplyDelete
  8. Rice memang bukan seseorang yang patut dikagumi dan tindak tanduknya memang sering menyebalkan.

    Tapi pemerintah Mesir dan Saudi memang punya masalah. Di Kairo univ. tertua di dunia berdiri, tapi entah mengapa mereka tak mau beradaptasi dengan mengajarkan sains modern. Jika saja mereka mengajarkan juga fisika, kimia, biologi, comp. science misalnya tentu perkembangan sains di dunia islam sekarang akan lain. Di Indonesia perkembangan iptek terhambat karena kekurangan dana. Tapi lihat Saudi atau negara teluk islam lainnya yang berlimpah kekayaannya tapi tetap sangat kecil produktivitasnya dalam menghasilkan iptek. Jangan mereka menolak demokrasi atas nama Islam padahal sebenarnya hanya utk kepentingan segelintir elit penguasanya.

    ReplyDelete