Sunday, February 5, 2006

Mendidik Anak di Tengah Tantangan Zaman

Rating:★★★★★
Category:Other
Masalah anak dan remaja masa kini sungguh berat. Ayah dan ibu pun harus bahu-membahu.
(republika.co.id)


Ani, sebut saja begitu, tersentak saat menemukan kalimat 'aneh' di buku anaknya. Kalimat itu kurang lebih begini, ''Aku mencintaimu. Nanti kita mandi bareng, baru ciuman.''

Sang buah hati masih duduk di kelas 1 SD. Wanita itu tidak membayangkan anak seusia anaknya berpikiran seperti dalam kalimat yang ditulisnya. Tak percaya dengan ungkapan dalam kalimat itu, Ani lalu bertanya, `'Ini tulisanmu, ya?''

`'Ya, tapi disuruh (teman),'' jawab si anak.
Merasa tidak puas, Ani menyampaikannya kepada guru kelas. Sang guru mengatakan, teman anaknya itu memang suka menyuruh teman-temannya menuliskan hal-hal semacam itu. Ani pun bertanya, `'Bagaimana saya bicara ke anak saya?''

Keluhan itu diutarakan dalam dialog interaktif, Mendidik Remaja di Tengah Tantangan Zaman dan Teknologi dalam Perspektif Islam di Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok, Sabtu (28/1). Elly Risman SPsi dan Ustadz M Ihsan Tanjung tampil sebagai pembicara yang dihadiri sebagian besar oleh kaum ibu itu.

Kalau anak sudah menulis seperti itu, Elly Risman berpendapat, orang tua jangan lagi membuang waktu. Misalnya, menunggu waktu yang dianggap tepat untuk mengatasinya. Apalagi berharap penyelesaian dari guru di sekolah. `'Anak kita harus kita urus sendiri,'' ucapnya.

Masalahnya berat
Elly mengakui, masalah anak dan remaja saat ini memang berat. Orang tua sibuk dengan banyak persoalan, juga serbuan media seperti koran, majalah, televisi, video hingga internet. Mengharapkan sekolah untuk bisa mengatasinya, pun tidak mudah. Itu, ungkapnya, karena umumnya sekolah lebih mengedepankan perkembangan otak kiri.

Psikolog keluarga ini melihat tiga hal yang bisa terjadi dalam interaksi anak dengan media. Pertama, pengaruh media terhadap anak-anak makin besar. Teknologi makin canggih dan intensitasnya tinggi. Kedua, gaya hidup kita yang rutin dan padat. Alhasil, orang tua tidak punya waktu cukup untuk memerhatikan, mendampingi, dan mengawasi anak.

Ketiga, persaingan bisnis antarmedia makin ketat sehingga cenderung mengabaikan tanggung jawab sosial, moral, dan etika, serta melanggar hak-hak konsumen.

Perkembangan teknologi dan media pun bak air bah. Pada sisi lain, teknologi itu sendiri bisa membuat kecanduan karena di situ anak menemukan hal yang tidak didapatkan di dunia nyata. Teknologi juga dirasakan mengasyikkan dan kerap menjadi jalan keluar dari masalah.

Peran ayah
Di era sekarang ini, menurut Ihsan Tanjung, kebaikan bertaburan di mana-mana, sebagaimana juga kejahatan bertaburan di mana-mana. Karena itu, anak harus diarahkan. `'Kita harus mendidik anak-anak dengan kemandirian,'' tuturnya.

Pendidikan anak tidak hanya dilakukan oleh ibu, tapi lebih penting lagi oleh ayah. Pentingnya pendidikan anak oleh ayah juga dibenarkan oleh Elly. `'Tidak semua hal bisa dilakukan oleh ibu. Ada hal yang tidak bisa dijelaskan oleh ibu,'' katanya.

Ihsan lalu mengisahkan sebuah keluarga, di mana sang ayah supersibuk bekerja. Sekali tempo, tuturnya, sang ayah tiba di rumah. Di depan pintu dia dijemput oleh anaknya yang berusia 5 tahun. Tak dinyana, si anak bertanya, `'Ayah kerja dibayar berapa sehari?''

Merasa lelah, si ayah tidak meladeni pertanyaan itu. Dia bahkan menyuruh anaknya enyah dari sampingnya. Tapi setelah merenungkan perlakuannya kepada anak, dia akhirnya minta maaf. Pertanyaan si anak pun dijawabnya. `'Sepuluh dolar,'' ucapnya.

Mendengar jawaban itu, si anak melompat-lompat kegirangan. Bocah itu lalu mengangkat bantal di tempat tidurnya dan mengambil uang simpanannya di balik bantal. Jumlahnya cukup untuk membayar gaji ayahnya bekerja sehari. `'Hore, saya mau bayar waktu bapak sehari,'' katanya, masih dengan melompat-lompat kegirangan.

Menurut Ihsan, sedikitnya tiga tahap pendidikan anak dalam Islam. Pertama tahap bermain, dimulai dari usia 0 sampai kira-kira 7 tahun. Kedua tahap penanaman adab atau disiplin, dari 7 - 14 tahun. Ketiga tahap persahabatan, yakni saat anak berusia 14 tahun ke atas. Tahap yang terakhir ini dapat digolongkan sebagai remaja. Di usia seperti ini, mereka perlu didekati dengan pendekatan dan menjadikan anak sebagai sahabat.

Secara garis besar, jelas Ihsan, ada 5 macam metode pendidikan dalam Islam. Yakni, melalui keteladanan, pembiasaan, pemberian nasihat atau pengarahan, melalui mekanisme kontrol, dan melalui hukuman sebagai pengamanan terhadap hasil-hasil proses pendidikan tersebut. Dari kelima metode tersebut, yang paling penting adalah keteladanan meskipun tidak boleh meninggalkan satu pun dari lima metode tersebut.

Komunikasi
Bagaimana mengatasi keadaan anak yang sudah telanjur `melangkah' melebihi batas usianya, seperti yang dilakukan oleh anak kelas 1 SD tadi? Elly menyarankan satu langkah: lakukan komunikasi dengan anak. Orang tua, katanya, harus memperbaiki komunikasi, berbicara dengan baik-baik. Nada bicara usahakan rendah, berbicara dengan lemah lembut supaya anak menjadi lembut hatinya. Ceritakan masalah yang dihadapi orang lain untuk menangkap perasaannya. Saat bicara dengan anak, hadapi tidak dengan berhadap-hadapan laiknya seorang penyidik menghadapi seorang tertuduh.

Komunikasi dengan anak, menurut Elly, adalah cara yang baik untuk memproteksi anak supaya lebih aman di luar rumah. Dia lantas mengungkap banyak hasil penelitian yang menunjukkan pentingnya komunikasi dengan anak. `'Anak-anak yang bicara dengan orang tua lebih banyak, lebih punya ketahanan di luar,'' dia mengutip hasil sebuah penelitian itu.

Nah, untuk mendidik anak yang dinilai sudah `melangkah jauh', menurut Elly, hal yang perlu dilakukan adalah membuat daftar yang ingin diperbaiki untuk dibicarakan dengan anak. Buat prioritas mana yang lebih dulu dibicarakan dengan anak dan tentukan siapa yang bicara kepada anak, ibu atau ayah. `'Jangan sekaligus dibicarakan,'' tuturnya.


Memang Berat, Tapi Jangan Menyerah

Jangan pernah menyerah menghadapi masalah anak. Begitu pesan psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati, Elly Risman. Ibu tiga anak ini memberikan sejumlah kiat untuk mengatasi beratnya masalah anak dan remaja saat ini. Untuk anak, Elly menyarankan orang tua untuk memberikan kondisi sebagai berikut:

- Fondasi agama, baik pemahaman maupun praktik.
- Komunikasi terbuka dan hangat.
- Mempersiapkan anak sesuai dengan usia.
- Mengenalkan TV, game, telepon genggam, internet, dan teknologi secara seimbang. Anak diajak mengenali dampak positif dan negatifnya.
- Membicarakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Beri tahu pula bagaimana caranya secara konkret.
- Melakukan kontrol yang tidak menyakitkan harga diri si anak.
Untuk orang tua, Elly menyarankan melakukan beberapa hal yang bisa memperbaiki kualitas diri sebagai orang tua.
- Sering-sering melihat ke dalam diri (introspeksi). Tingkatkan kesadaran, tentukan prioritas.
- Ubah cara pandang dalam pengasuhan.
- Perbaiki konsep diri dan komunikasi.
- Lebih sigap dan antisipatif.
- Kejar ketinggalan.
- Bangun kerja sama dalam keluarga dengan 3 C (concern, committed, concictency/kepedulian, komitmen, dan konsisten).

(republika.co.id)

7 comments:

  1. thanks ndra...

    Hmmm our generation.. kalo udah jadi parents... tanggung jawabnya ber'gentong2' lebih banyak niiiiihhhh... =p Got to be prepared ASAP..

    ReplyDelete
  2. assallamualikum.
    thanks ya ndra...atas infonya...memang sih sptnya makin tahun mendidik anak makin berat dan kompleks...

    ReplyDelete
  3. Setuju sekali. Even sistem dlm keluarga berbeda tapi pondasi islam hrs ditegakkan,...artinya keluarga internal (ayah+ibu) harus bnyak belajar, dan memahami kekompleksan dlm keluarga..Kalau SEGERA disadari, nggak dipungkiri, peradaban ke depan akan lebih baik.. Amin..

    ReplyDelete
  4. tengkyu ndra ...yg ini aku save ya ? :)

    ReplyDelete
  5. Hm.....
    kalo gak salah aku pernah lihat temenku baca buku tentang pendidikan anak yang Islami..
    cuma lupa judulnya.. :P
    yang pasti peran orangtua sejak si anak baru lahir sangat menentukan...
    begitu pula dengan pengembangan kepribadian anak melalui keteladanan perilaku dan akhlak orang tuanya...
    btw, thx buat artikelnya...

    ReplyDelete
  6. Makasih Mas Indra... Saya sempat lalai, tidak mengajarkan anak agama sampai kami datang ke Kanada saat dia 4 th. Di Indonesia, setiap kami shalat, terutama maghrib, anak saya titip pembantu, maksudnya supaya kami bisa khusuk shalat dan wirid tanpa 'direcokin'. Ternyata dia nggak ngerti bagaimana shalat apalagi puasa, belum hapal satu surat pun dari Al-Qur'an, nggak tau apa-apa konsep ketuhanan. Saya pun ditegur teman. Dan memang muslim di sini, mengajarkan Islam ke anaknya sedari dini. Walau banyak anak-anak muslim yang bandel (kalau soal perilaku, anak Indonesia umumnya lebih sopan dan nurut), tapi banyak juga yang bikin kagum. Ada yang berumur 15 th sudah hapal 25 juz dan bisa jadi imam pada shalat tarawih di masjid, atau masih SD sudah hapal juz amma, pokoknya masyaAllah, bikin kita terharu. Dan seperti di Ina, banyak juga remaja cinta masjid, pemuda-pemudi aktif dengan bakti sosial, masuk lingkungan mesjid itu serasa ketemu oase-lah.
    Adapun anak saya, dengan perjuangan, dan 3C spt yang di atas tadi, sekarang sudah lumayan sih. Selain shalat, puasa, hapalan Qur'an dan mengaji, kami juga memerlukan mengajari tentang siapa dan bagaimana muslim, pandangan Islam di mata dunia (mis. soal kartun yang bikin heboh itu), dan pandangan Islam ttg beberapa hal, yang kami anggap perisai, karena di sekolah di ajari: 'It's okay to have 2 moms or 2 dads' (ortu gay/lesbi, ini di TK lho), 'menghormati' pilihan kaum homo, menggalang dana korban AIDS, safe sex (kalau ini yang agak gedean, SMP ke atas) dll. Juga kami perlukan sering-sering membawa ke perkumpulan muslim, baik Ina atau bukan, supaya pede, karena gencarnya kampanye gaya hidup yang beda dengan Islam, mis. hari Natal/Halloween/Valentine, budaya jor-joran dan konsumtif, juga longgarnya pergaulan laki dan perempuan.
    Kepanjangan yak...? Maap, maap...

    ReplyDelete
  7. Persiapan mendidik anak memang sepatutnya dilaksanakan sebelum kita menikah. Ayo!

    ReplyDelete