Sunday, September 11, 2005

Hadits dan Virus Orientalis




Assalamu'alaikum wr wb



Alkisah
ada dua sahabat sejati yang ditakdirkan untuk terus berjalan
berdampingan di muka bumi ini. Dua sahabat itu selalu berjalan
beriringan kemanapun mereka pergi. Sikap saling tolong menolong pun
tidak pernah mereka lewatkan. Disaat sahabat yang pertama mengalami
kesulitan, maka sahabat yang kedua pun segera datang untuk menolong.
Begitu pun juga sebaliknya. Sejak berabad-abad mereka diciptakan,
mereka selalu terlihat bersama dan hubungan mereka berdua semakin lama
semakin dekat dan tak terpisahkan. Yang lebih menakjubkan, atas eratnya
hubungan mereka berdua itulah efeknya bisa dirasakan oleh semua manusia.


Suatu hari sahabat kedua jatuh sakit. Sakit yang dideritanya ternyata
sudah cukup lama menjangkiti sang sahabat kedua. Sahabat pertama pun
sebenarnya pernah dijangkiti penyakit yang sama, tapi untungnya
penyakitnya cepat dapat disembuhkan berkat banyaknya bantuan dari
teman-temannya yang lain. Sahabat pertama bisa merasakan kepedihan dan
kenyerian yang dialami oleh sahabat kedua. Kesedihannya bertambah
ketika menyadari bahwa ternyata penyakit ini yang bisa menghilangkannya
hanya sedikit dimuka bumi. Bahayanya lagi, penyakit yang disebabkan
oleh virus itu sangat-sangat menular bagi yang tidak mempunyai
perlindungan khusus terhadapnya. Penyakit itu disebabkan oleh virus
yang bernama "orientalist".

Sahabat pertama bernama al Quran dan yang kedua bernama as Sunnah....

********


Begitulah kira-kira analogi kisah dari al Qur'an dan as Sunnah atau
yang biasa disebut hadits, dua sahabat yang tak terpisahkan. Ketika
seseorang akan membuat tafsir al Qur'an maka salah satu cara yang
diperlukan adalah melakukan tafsir menggunakan hadits yang shahih.
Didalam buku Ushul fi al-Tafsir
yang ditulis oleh Muhammad bin Shaleh al Utsaimin, beliau menempatkan
cara membuat tafsir al Qur'an dengan hadits di peringkat kedua setelah
membuat tafsir al Qur'an dengan menggunakan al Qur'an. Begitu pun
ketika akan mentafsirkan suatu hadits, maka yang pertama dilihat adalah
bahwa hadits tersebut tidak bertentangan dengan yang ada di al Qur'an.
Inilah yang disebut, dua sahabat yang tak pernah melewatkan untuk
saling tolong menolong.

Ketika al Quran diragukan
kebenarannya, maka para hafiz Qur'an (penghafal al Qur'an) pun unjuk
gigi bahwa al Qur'an tidak ada perbedaan satu titik pun didalamnya.
Ketika semua al Qur'an dimuka bumi ini dikumpulkan maka yang nampak
tidak lain hanyalah kesamaan huruf antara mushaf yang satu dengan yang
lainnya didalam setiap ayatnya. Maka al Qur'an pun selamat dari
keragu-raguan. Surat Al Baqarah ayat kedua semakin mengokohkan
pernyataan ini. "Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa".

Kedekatan
dua hal tersebut tentunya akan berdampak positif bagi umat Islam dan
umat manusia pada umumnya. Ini adalah janji Rasulullah saw dengan
sabdanya, "Aku tinggalkan kepada
kamu dua perkara, yang jika kamu berpegang teguh pada kedua-duanya maka
kamu tidak akan sesat, yaitu al-Quran dan as-Sunnah"
[HR. Ahmad, lbnu Majah]

Penyakit
yang dimaksud adalah orientalis atau para pemikir barat yang tak
henti-hentinya berusaha menyerang kedua pegangan umat Islam itu. Telah
sejak lama penyakit yang bernama orientalism ini menghampiri al Quran
dan as Sunnah. Orientalis ini adalah sekelompok orang-orang yang
melakukan penelitian sedemikian rupa terhadap al Quran dan Hadits untuk
menimbulkan keragu-raguan terhadap kedua hal tersebut dan menyebarkan
pemikirannya ke umat Islam. Tokoh dibalik para orientalis ini cukup
banyak yang diantaranya adalah Ignaz Goldziher
dan Aloys Sprenger yang sangat bersemangat untuk membuktikan bahwa
hadits itu bukanlah perkataan Nabi Muhammad saw, tapi merupakan bikinan
para ulama di awal abad kedua hijriah.

Goldziher dan Usahanya

Goldziher menurunkan satu pasal khusus tentang penulisan hadits-hadits dalam pembahasannya Muhammedanische Studien dan jilid keduanya diterjemahkan kedalam bahasa Perancis oleh Leon Bercher tahun 1952 dengan judul Etudes sur la Tradition Islamique, Maisonneuve,
Paris. Didalam pasal ini ia mengemukakan banyak dalil yang menyatakan
bahwa pencatatan hadits dilakukan pada awal abad kedua hijriah. Begitu
pun dengan Aloys Sprenger dalam bukunya, Das Traditionswesen beiden Arabern (Hadits Menurut Orang Arab).

Goldziher
berpendapat bahwa hadits tidaklah berasal dari Rasulullah, melainkan
sesuatu yang berasal dari abad pertama dan kedua Hijriyah. Artinya
Goldziher berpendapat bahwa hadits adalah buatan ulama abad l dan abad
ll H. Ia berkata, ”Bagian terbesar
dari suatu hadits tidak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad
l dan ll, baik dalam bidang keagamaan, politik, maupun sosial.Tidaklah
benar bahwa hadits merupakan dokumen Islam yang ada pada masa dini,
melainkan pengaruh dari perkembangan Islam pada masa kematangan."


Tujuan kaum orientalis ini bukan semata-mata demi ilmu dan penelitian
belaka, bahkan sebagian mereka cenderung tidak mengakui sebagian
sunnah. Seperti layaknya penyakit menular, maka gambaran pemikir
orientalism ini sama saja. Buah pemikiran ini pun ada di Indonesia dan
bisa dilihat dari pemikiran-pemikiran kaum liberal yang dengan serta
merta berani melakukan kritik dan meragukan matan (isi redaksi)
hadits yang telah jelas-jelas di teliti oleh yang jauh lebih ahli
dibandingkan mereka seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim.


Hadits = Perkataan Setan ?


Ingkar Sunnah pun kurang lebih sama. Sama-sama tidak mengakui as Sunnah (hadits) sebagai bagian dari fondasi Islam. Sebagian mereka bahkan berpendapat bahwa hadits adalah perkataan setan.
Lalu bagaimana mungkin mereka yang tidak mempercayai hadits itu
tetap melakukan sholat lima waktu. Inilah yang terjadi ketika ustadz
Fauzi (ustadz saya) berdialog dengan seseorang yang menolak hadits dan
hanya percaya al Quran. Ketika waktu maghrib tiba, maka semua yang
hadir disitu melakukan sholat berjamaah tak terkecuali dia yang menolak
hadits itu. Ini kan aneh, bagaimana dia bisa mengetahui tentang tatacara sholat lima waktu kalau tidak dari hadits.
Bahkan apabila seumur hidupnya dihabiskan untuk mencari tatacara itu di
al Quran pun tidak akan ketemu.

Perjalanan Mencari Hadits


Kalau kita membaca sejarah tentang perjalanan para perawi atau
penyampai hadits dalam mengumpulkan hadits Rasulullah saw, maka
terlihatlah sebesar apa kesetian mereka untuk melestarikan hadits nabi
saw. Perjalanan mencari hadits itu berbeda-beda sesuai dengan pelaku,
tempat tujuan dan waktunya. Ada yang menempuh jarak beratus kilometer
hanya dengan jalan kaki seperti Abdullah bin Abdul Ghani (269 H).



Ada
yang melakukan pencarian hadits semenjak berusia 15 dan 20 tahun
seperti Abu Ya'la al-Mushili yang wafat pada tahun 307 H, dan juga
dilakukan oleh Muhammad bin Ali yang digelari Abu at-Tursi yang wafat
tahun 510 H. Bahkan ada yang melakukan perjalanan berpuluh-puluh tahun
terus menerus hanya untuk mencari hadits. Orang yang melakukan
perjalanan seperti ini misalnya Muhammad al-Ashbahani, penghafal hadits
dan guru besar Islam yang sangat alim. Mereka inilah yang kadang
disebut pengembara pencari hadits.

Jelas bahwa pencarian
hadits ini tidak dilakukan secara serampangan. Bahkan orientalis
Goldziher, betapapun ingkarnya ia terhadap pemberitaan kaum muslimin,
masih terpaksa membenarkan bahwa pengakuan para pengembara pencari
hadits itu tidak mengada-ada dan berlebih-lebihan. [Etudes sur la Tradition Islamique, hal.220]

Cabang Ilmu Hadits


Dalam men-tahrij atau meneliti dan mengkritik suatu hadits maka
cabang-cabang dalam ilmu hadits pun harus dikuasai, seperti ilmu Al jahr wa ta'dil, ilmu Mukhtalaf al-Hadits, ilmu Ilalul-Hadits, ilmu Gharibul-Hadits, ilmu Nasikh Mansukh Hadits dan banyak lagi.

Tidak aneh jika Hazim al-Hamdzani, seorang pakar dalam bidang hadits yang wafat di Baghdad tahun 594, mengatakan, "Ilmu
Hadits mencakup banyak jenis yang jumlahnya ratusan, masing-masing
jenis merupakan ilmu tersendiri. Sekalipun seseorang menghabiskan
umurnya untuk menuntut ilmu-ilmu tersebut, dia tidak akan mencapai
batas akhirnya"
. [Al-Tadrib 9]

Maka
bagaimana mungkin seseorang melakukan tahrij hadits hanya berdasarkan
akal tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut. Bagaimana mungkin pula seorang
muslim mengedepankan akal dalam menjalankan agamanya. Lihatlah apa yang
dikatakan Umar bin Khaththab RA tatkala mencium Hajar Aswad : "Sesungguhnya
aku tahu engkau hanya sekedar batu yang tidak bisa memberi madharat dan
manfaat. Kalau tidak karena kulihat Rasulullah menciummu, tentu aku
tidak akan menciummu."
[HR. Bukhari dan Muslim, Mukhtashar Shahih Bukhari no. 795]. Apa
yang dilakukan Umar RA itu hanyalah karena ingin mengikuti apa yang
Rasulullah saw lakukan dan bukan karena batu itu akan memberi manfaat
baginya. Ini menunjukan bahwa wahyu dan sunnah lah yang membimbing akal
dan bukan sebaliknya.

Pembela as Sunnah

Goldziher
dan orientalis lainnya, memang belajar hadits bukan untuk mencari
kebenaran. Mereka mencari bukti bahwa apa yang dinamakan hadits tak ada
kaitannya dengan Rasulullah. Ketika bukti itu -memang- tak ditemukan
maka mereka membuat-buat alasan palsu untuk mendukungnya.

Para ulama tidak tinggal diam, salah satunya adalah Prof.Dr. Muhammad Musthafa al Azami (Guru Besar Ilmu Hadits Universitas King Sa’ud Riyadh KSA) dengan bukunya Studies In Early Hadith Literature dan sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Beliau juga menulis buku The History of The Qur'anic Text (Sejarah Teks Alquran dari Wahyu sampai Kompilasi), 2003. Dan beliau juga menulis buku Studies in Hadith Methodology and Literature, 1977.

Dr. Subhi as-Shalih, menulis satu kitab yang diberi judul Ulum al-Hadits wa Musthalahu yang diselesaikan pada tahun 1977 dan dicetak kedalam bahasa Indonesia dengan judul Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, cetakan Pustaka Firdaus Oktober 2002. Pembahasan
dalam kitab ini cukup lengkap dan membahas dari segi keilmuan beserta
pandangan-pandangan tentang kaum orientalis dan juga dijelaskan letak
kejanggalannya. Insya Allah, dari orang-orang seperti merekalah virus orientalis bisa dilawan.


Ketika "mereka" tidak lagi menggunakan senjata bom, rudal, nuklir dan
berbagai macam kekerasan untuk meredupkan cahaya Islam, maka
ketahuilah, sekarang mereka telah mengganti senjatanya dengan Ghazwul Fikr atau
Perang Pemikiran, suatu senjata yang sangat ampuh bahkan lebih ampuh
dibandingkan rudal, bom dan senjata lainnya untuk meruntuhkan iman dan aqidah bagi yang tidak mempunyai
persiapan dalam bidang ilmu keislaman seperti ilmu hadits dan sebagainya. Sudah siapkah kita melawan atau minimal bertahan ?....



Wassalamu'alaikum wr wb

11-09-05





















8 comments:

  1. Makasih share ilmu 'hadits'nya ini Kang ^_^
    Alhamdulillah, Kang Indra benar2 hebat ya penelusuran literaturenya, Subhanallah!

    Dulu saya pun sempat menerima materi dari buku ini di kuliah 'Ulumul Hadits', namun sayang kapasitas memori saya jelek, jadi terlupa lagi. Alhamdulillah tulisan Kang Indra ini menyegarkan memori saya kembali ^_^ Syukran ya akhii!

    ReplyDelete
  2. waalaikumsalam wr. wb. Menarik mas Indra jurnalnya. Jadi teringat dengan cerita pak Hafit. Ia punya teman seorang dosen beasiswa DAAD yang meneruskan program doktoran dalam ilmu Islam di uni Jerman.
    Dalam thesis Doktornya, ia menguji apakah benar hadist itu akan merunut kepada Rasulullah saw. Ini sungguhlah bukan pekerjaan mudah dan beresiko tinggi. Oleh karena itu, selama melaksanakan penelitian tersebut, ia tak pernah mengatakan kepada siapa-siapa ttg tema thesis yang sedang ia garap. Karena jika ia tidak berhasil membuktikan bahwa hadist tersebut merunut ke Rasulullah saw. bisa- bisa ia di cap kafir oleh teman-teman lainnya.
    Alhamdulillah, ia berhasil membuktikan bahwa hadist itu benar merunut kepada Rasulullah saw sehingga ia memperoleh gelar doktor di bidang filsafat islam . Ia menggunakan cara barat dalam penelitiannya karena di tugaskan oleh professor pembimbingnya menggunakan cara itu.
    Setelah ia berhasil memperoleh gelar tersebut, barulah ia katakan kepada teman-temannya ttg tema thesis ia waktu itu. Makanya pak Hafit heran, kok temannya satu ini selalu diam selama beberapa bulan lalu. Terlalu misterius...setelah diceritakan, barulah pak hafit mengerti kenapa temannya diam...

    wassalamualaikum wr. wb.

    ReplyDelete
  3. Wouowwwwww, Subhanallah, it's cool!
    Mas Budi, kalo boleh tau, siapa nama beliau yah? Bisa minta hasil penelitiannya ke beliau gak? Atau jangan2 sudah dipublish di journal ilmiah kah???

    *maaf, banyak tanya! Penasaran dan senang sekali soalnya ^_^ *
    Kasihan ya, sempet mengalami kekhawatiran takut dianggap 'kafir' segala!

    ReplyDelete
  4. Wah mba lebih beruntung lagi bisa kuliah Ulumul Hadits, kalau saya otodidak aja mba baca-baca literature hadits. Kuliah saya juga jurusan public relation :), pengennya sih kuliah Ulumul Hadits tapi maklum berhubung bahasa Arab belum lancar dan ada kesibukan lain juga jadi ya gini deh baca-baca sendiri hehe . Syukron juga ya ukh ! :)

    ReplyDelete
  5. Ini cerita menarik juga nih mas karena dia menggunakan cara barat dalam penelitiannya, lalu sang doktor itu sekarang ada dimana ya ?. Semoga menjadi pembela juga.

    ReplyDelete
  6. menarik juga untuk menghubungkan paragraf terakhir dengan tanggal penulisan jurnal ;).....Jangan2 tulisan ini juga untuk menyambut runtuhnya WTC ^_^

    Thank's for knowledge sharingnya...insha Allah harus aku baca berulang kali

    ReplyDelete