Thursday, May 24, 2007

Membangun Jiwa Wirausaha

Rating:★★★★★
Category:Other
Perempuan itu datang menemui Abu Hanifah. la ingin menjual kainnya. Sebagaimana dicatat sejarah, Abu Hanifah merupakan seorang ulama generasi tabiin yang susah dibedakan apakah dia ulama yang saudagar atau saudagar yang ulama.

"Berapa kamu jual kain ini?" tanya Abu Hanifah.

"Seratus dirham!" jawab perempuan itu. Temyata kain yang dibawa perempuan itu sangaf bagus, bermutu, dan mahal. Namun perempuan tersebut tidak tahu harga kain itu sebenarnya. Entah dari mana dulunya ia memeroleh kain itu. la lupa. Adapun Abu Hanifah, seorang saudagar yang begitu menguasai dunia pasar, langsung mengetahui kualitas kain tersebut. Namun hal itu tak menjadikan sang Imam punya niat buruk untuk memanfaatkan kesempatan apalagi berlaku curang. Maka, dialog pun berlanjut.

"Harga kainmu ini jauh lebih mahal daripada seratus dirham. Coba kamu tawarkan dengan harga yang lebih tinggi," ujar Abu Hanifah.

"Bagaimana kalau dua ratus dirham?" tanya perempuan itu.
"Kainmu masih lebih bagus daripada dua ratus dirham!" sahut Abu Hanifah.

"Tiga ratus dirham!"

"Kainmu masih lebih mahal dari harga itu!" "Kalau begitu, belilah dengan harga empat ratus dirham."

"Kainmu sebenarnya masih lebih mahal dari empat ratus dirham, tapi aku akan membelinya dengan harga itu!" kata Abu Hanifah. Transaksi pun berlangsung. Keduanya pun sepakat dengan harga itu.

Kini dialog tersebut sepertinya tak mungkin terjadi dalam dunia nyata. Mungkin hanya akan kita dapatkan pada dunia cerita, drama atau hikayat. Kini, sepertinya mustahil ada seorang pedagang yang menawar harga barang melebihi harga yang diinginkan penjual. Kini, tak mungkin kita temukan pedagang minta agar harga belinya dinaikkan. Namun tidak demikian dengan kisah perempuan dan Abu Hanifah di atas. Kisah yang diriwayatkan oleh al-Maqdisi itu benar-benar ada, betul-betul terjadi.

Selain jiwa suci dan kejujuran, banyak petikan hikmah yang bisa kita tuai dari sosok Abu Hanifah. Tokoh tabiin yang hanya sempat bertemu dengan tujuh sahabat Nabi ini merupakan ulama peletakdasar mazhab Hanafi. Selain dikenal sebagai ulama, ia juga adalah seorang saudagar sukses.

Bagi kaum Muslimin, jiwa entrepreneur atau wirausaha ini menarik untuk dilirik. Apalagi ketika tingkat kebutuhan tenaga kerja semakin tidak bisa mengimbangi kecepatan jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) yang tersedia. Tenaga kerja yang ada jauh lebih ban yak daripada kebutuhan. Angka kebutuhan penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) tak mampu menampung jebolan Sekolah Menengah Atas atau Perguruan Tinggi. Instansi swasta pun demikian. Yang terjadi justru sebaliknya.

Di tengah lilitan kebutuhan ekonomi sekarang, ribuan pabrik dan perusahaan swasta justru banyak yang mem-PHK karyawannya. Akibatnya, angka pengangguran membengkak. Ratusan ribu lulusan perguruan tinggi menganggur. Bangsa ini kelebihan tenaga kerja. Ujungnya, kita dipaksa "menjual" para tenaga kerja itu ke luar negeri dengan segala penderitaannya.

Di sisi lain, seharusnya fenomena ini membuat anak negeri ini merenung. Selain terbatasnya lahan penerimaan PNS atau karyawan swasta, bangsa ini juga membutuhkan sosok-sosok entrepreneur. Kekayaan alam yang berlimpah, SDM yang membludak dan kebutuhan ekonomi yang kian membengkak, menghajatkan kita untuk belajar bekerja mandiri. Masyarakat bangsa ini mulai harus mengubah paradigma berpikirnya dari harus menjadi PNS menjadi-mengutip judul buku karangan Valentino Densi-Jangan Mau Seumur Hidup Jadi Orang Gajian.

Saatnya para karyawan merenung. Fakta menyebutkan, tingkat kenaikan gaji para karyawan, baik PNS maupun swasta, tak mampu mengejar tingkat pertambahan kebutuhan sehari-hari. Belum lagi. kalau ia harus mengubah nasib dengan memunyai kendaraan atau rumah besar, misalnya.

Kita renungkan, berapa lama waktu yang diperlukan seorang karyawan yang menerima gaji dua juta rupiah per bulan, misalnya, agar bisa memiliki rumah seharga 200 juta rupiah? la harus menabung selama 100 bulan atau delapan tahun lebih. Itu pun kalau ia menyimpan seluruh penghasilannya sebanyak dua juta per bulan tanpa dipotong untuk kebutuhan makan, tempat tinggal, sekolah anak dan lainnya.

Dengan kondisi demikian, mungkinkah ia berharap bisa memiliki kendaraan roda empat. Kalau saja ia berharap mendapatkan kendaraan atau rumah seharga dua miliar, misalnya, maka orang yang berpenghasilan dua juta per bulan tadi harus menabung-tanpa makan dan minum-selama 1000 bulan.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin mereka yang selama ini duduk sebagai PNS tapi bisa memiliki semua kemewahan itu?

Dalam analisanya yang ia tulis di bukunya Jangan Mau Seumur Hidup Jadi Orang Gajian, Valentino Dinsi menyebutkan, PNS atau mereka yang bekerja sebagai karyawan swasta level menengah ke bawah, hanya bisa kaya dengan lima cara. Yaitu, menikah dengan orang kaya, mendapatkan warisan, menang undian, bekerja sampingan, dan korupsi. Tanpa pertu menuduh, kita bisa buktikan mana di antara lima hal itu yang paling banyak dilakukan.

Merenungkan hal tersebut, selayaknya penghuni negeri ini mengubah paradigma berpikirnya. Paradigma sebagian masyarakat kita masih banyakyang ngotot memaksakan anaknya harus diterima di PNS dengan berbagai cara termasuk suapmenyuap dan nepotisme. Paradigma ini harus diubah dengan paradigma baru. Yaitu, mendidik generasi muda dengan jiwa wirausaha.
Dengan demikian, begitu lulus dari SMA atau perguruan tinggi, generasi kita tak lagi belajar bagaimana menulis lamaran pekerjaan, tapi belajar cara membuat proposal bisnis. Mereka tak lagi berbondong-bondong menenteng map me lamar jadi pegawai, tapi beramai-ramai membuka usaha baru.

Jika jiwa wirausaha ini bisa kita tumbuhkan sejak dini, kita berharap negeri ini akan bangkit dari keterpurukan. Kekayaan alam yang melimpah ruah ini bisa kita kelolah sendiri tanpa harus mengundang orang asing. Syaratnya satu, kita mau berubah. "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri," (QS ar-Ra'd: 11).
 

Hepi Andi Bastoni
Sabili, No. 23 Th. XIV 31 Mei 2007/14 Jumadil Awal 1428

5 comments:

  1. Yup, sulit bgt bang Indra mencari jiwa2 yang enterpreneur sekarang ini, termasuk saya sendiri.
    Sampai saat ini pun saya masih berkutat jadi manusia dengan gaji bulanan, tanpa ada jiwa wirausaha,
    dan memang seharusnya bangsa ini memiliki SDM yang mandiri. Sykron buat renungannya bang Indra :)

    ReplyDelete
  2. pernah baca cerita abu hanifah dan wanita yang menjual kainnya itu, tapi dimana ya??

    ReplyDelete
  3. Tidak usah mencari mba, kan bisa dimulai dari diri sendiri hehe.... Memang awalnya mesti bersusah payah dulu tapi kalau sudah bisa teratasi, insya Allah kedepannya akan lebih mudah. Apalagi mba diawali dari manusia dengan gaji bulanan, wah bisa buat modal usaha tuh :D

    ReplyDelete
  4. sebenarnya keberanian datang dari diri sendiri semua orang tentu mempunya jiwa wra uasaha namun kendalanya adalah ketakutan yang berlebihan, sebenarnya buakn modal yang yang jadi kendala untuk memulai wira usaha tapi keberanian teguhlah yang bisa memulainya, saya seorang mahasiswa disalah satu universitas swasta, mencoba bangkit dsari keterpurukan ekonomi yaitu dengan memulai berwira usaha, tampa berpikir panjang saya gadaikan BPKB motor saya untuk mendapatkan modal, dengan tekad yang kuat saya buka rental ps hanya dengan 2 ps yg saya beli, setelah berjalan 1,2,3 bulan ternyata moadal untuk beli ps sdh bisa kembali, syarat utama dalam berwira usaha adalah jangan sampe pendapatn yang kita terima dibuat boaros, dipikirlah dengan mateng pakailah uang 10 % dari total pendapatan, awas jangan sampe uang modal dipake hal-hal yang lain walaupun itu sangat penting, cobalah untuk mengkontrol diri jngn berlebihan,

    ReplyDelete