Friday, September 21, 2007

Identitas Kampus Islam

Rating:★★★★★
Category:Other

H Fuad Nashori 
Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Ketua Asosiasi Psikologi Islam (API) Indonesia

Konferensi Perguruan Tinggi Islam (PTIS) se-Indonesia akan berlangsung 8-9 September 2007. Dalam acara yang rencananya dibuka oleh Wakil Presiden M Jusuf Kalla ini para pimpinan perguruan tinggi Islam se-Indonesia bertemu dan membincangkan berbagai masalah yang dihadapi perguruan tinggi Islam.

Dalam kesempatan ini saya ingin membuka kembali wacana tentang universitas Islam. Persoalan ini penting untuk kita bahas karena seringkali identitas keislaman perguruan tinggi Islam hanya terletak pada visi, misi, tujuan perguruan tinggi, namun belum dapat diturunkan dalam kurikulum maupun dalam berbagai macam hal operasional lainnya. Kalau dalam perguruan tinggi Islam dapat masuk sejumlah mata kuliah keislaman yang jumlahnya mencapai belasan hingga puluhan SKS, namun ia belum memiliki paradigma ilmu yang sesuai dengan pandangan dunia Islam (Islamic world view). Tulisan ini juga akan melihat pentingnya universitas Islam melihat aspek moralitas saat menyeleksi mahasiswa baru.

Kriteria Universitas Islam 
Saya ingin mengutip salah satu pandangan tentang Universitas Islam. Dalam buku The Concept of Islamic University yang ditulis oleh Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Asyraf diungkapkan bahwa ciri Universitas Islam adalah memiliki konsep pendidikan yang bersandar pada tauhid. Selain itu, konsep ilmu yang diajarkan di universitas ini juga bersandar pada Alquran dan Alhadis, staf pengajarnya menjunjung tinggi nilai Islam, dan sebagainya. Adakah sains yang Islami? Dalam kurun lebih kurang 30 tahun ini, ilmuwan Islam mengembangkan wacana yang namanya islamisasi pengetahuan (Islamization of knowledge). Tokoh-tokoh utamanya di antaranya adalah Ismail Raji Al Faruqi, Syed Muhammad Naquib Al Attas, Osman Bakar, dan sebagainya.

Gagasan islamisasi ilmu ini dilatarbelakangi oleh konsep ilmu pengetahuan yang diterima dan dikembangkan umat Islam masih menggunakan paradigma sains Barat. Sains Barat, sebagaimana kita ketahui bersama, dikembangkan dengan menafikan kebenaran yang bersumber dari kitab suci. Kebenaran menurut mereka disandarkan pada akal dan realitas. Ciri-ciri sains Barat sebagaimana diungkapkan Kuntowijoyo adalah sekuler dengan menggunakan etika humanisme. Hal ini berbeda dengan paradigma ilmu Islam yang bersifat integralistik dengan menggunakan etika humanisme-teosentris.

Dalam buku The Islamization of Knowledge, Ismail Al Faruqi mengusulkan agar mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dan khazanah ilmu pengetahuan modern. Proyek ini dilestarikan oleh sejumlah perguruan tinggi Islam. Sebagai contoh, Universitas Islam Antar Bangsa (International Islamic University) Malaysia mewajibkan setiap mahasiswa strata satu (program sarjana), strata dua (program master), hingga strata tiga (program doktor) untuk mengambil mata kuliah yang namanya The Islamization of Knowledge.

Gagasan yang sarat nilai Islam ini mendapat tanggapan yang luas dari ilmuwan Islam. Hal ini terbukti dengan makin maraknya wacana ekonomi Islam, psikologi Islam, hukum Islam, Ilmu Politik Islam, dan sebagainya. Namun, sebagian ilmuwan Islam tidak menyetujui konsep Islamisasi pengetauan yang ditawarkan Al Faruqi dan kawan-kawannya itu. Kuntowijoyo dalam Islam Sebagai Sains mengungkapkan pendapat yang menunjukkan dirinya adalah salah seorang yang tidak menyetujui gerakan Islamisasi pengetahuan model Al Faruqi. Salah satu kritik Kuntowijoyo adalah masih menggunakan paradigma Barat. Gerakan Islamisasi ilmu masih terjebak dalam kerangka keilmuan Barat.

Apapun wacana yang dikembangkan, islamisasi pengetahuan atau ilmu sebagai sains, yang penting gagasan ini dapat diturunkan dalam wujud yang operasional. Ia seharusnya dapat masuk ke setiap kurikulum program studi yang ada di perguruan tinggi Islam. Ia seharusnya masuk dan memberi warna ke dalam setiap mata kuliah yang ada pada setiap program studi universitas/perguruan tinggi Islam. Karenanya, menurut penulis, tidaklah cukup bila suatu perguruan tinggi Islam hanya menawarkan mata kuliah keislaman seperti tauhid, ibadah, akhlak, Alquran, Alhadis, pemikiran dan peradaban Islam, serta kepemimpinan Islam. Sebagai contoh kongkret, program studi psikologi universitas Islam mestinya berisi: psikologi umum Islami, psikologi kepribadian Islami, psikologi pendidikan Islami, psikologi perkembangan Islami, psikologi sosial Islami, psikologi klinis Islami, psikologi industri dan organisasi Islami, statistik psikologi Islami, psikodiagnostika Islami, dan sebagainya.

Bagi penulis, salah satu tugas yang perlu dilakukan secara bersama-sama oleh perguruan tinggi Islam di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya adalah menghidupkan gagasan untuk pengembangan ilmu yang beraparadigma Islam. Agenda-agenda Konferensi Perguruan Tinggi Islam se-Indonesia juga semestinya menyentuh masalah ini.

Seleksi mahasiswa 
Tidak mudah mendapatkan mahasiswa. Universitas Islam khususnya dan perguruan tinggi Islam umumnya mendapatkan mahasiswa yang tidak berhasil menembus perguruan tinggi negeri. Sekalipun demikian, identitas Islam kadang membuat seorang calon mahasiswa rela untuk meninggalkan peluang kuliah di perguruan tinggi negeri. Saya menemukan sejumlah mahasiswa di Universitas Islam Indonesia yang memilih UII dan rela meninggalkan panggilan dari Rektor PTN terbesar di Indonesia. Alasannya adalah kuliah di universitas Islam menjadikan mahasiswa memahami ilmu dan Islam sekaligus.

Sedikit dan banyaknya pendaftar ternyata mempengaruhi seleksi. Seleksi akan memilah mahasiswa yang diinginkan dan mahasiswa yang tidak memenuhi syarat. Yang jadi persoalan adalah kriteria yang digunakan untuk seleksi tersebut. Sebagian besar perguruan tinggi Islam menggunakan pengetahuan agama Islam sebagai dasar untuk melakukan seleksi terhadap mahasiswa yang akan mereka terima, di samping kriteria yang lain. Menarik untuk mengangkat pandangan dari Bilgrami dan Ashraf sebagaimana mereka tulis dalam buku The Concept of Islamic University. Dua orang tersebut menawarkan aspek moralitas sebagai komponen penting dalam seleksi mahasiswa baru.

Moralitas adalah masalah kebaikan dan keburukan. Seleksi berdasarkan moralitas adalah seleksi dengan meletakkan kebaikan dan keburukan sebagai dasar untuk penerimaan mahasiswa baru. Mahasiswa yang tersleksi secara akademik tentu harus memiliki syarat minimal. Namun, kekuatannya di aspek moralitas diharapkan dapat menjadi kekuatan bagi yang bersangkutan untuk bertindak secara benar.

Dengan seleksi moralitas ini akan dapat disaring mana mahasiswa yang baik (berpotensi baik) dan mahasiswa yang buruk (berpotensi buruk). Dengan cara seleksi yang baik ditambah dengan ketersediaan orang untuk diseleksi akan dimungkinkan mahasiswa yang dimiliki universitas/perguruan tinggi Islam akan berbeda dengan generasi sebelumnya.

Sekalipun demikian, universitas/perguruan tinggi Islam yang memposisikan dirinya sebagai bengkel (tempat memperbaiki sumber daya manusia) bagi mahasiswa baru dapat saja tetap menerima mahasiswa yang moralitasnya tidak memadai. Kalau ini dilakukan, maka proses pendidikan selama menempuh pendidikan tinggi harus dibuat sedemikian rupa sehingga yang bersangkutan dapat mengalami transformasi moral.

Pendampingan atau pembinaan kepada mahasiswa harus dilakukan dengan menekankan pengembangan moral. Staf pengajar dan pegawai administratif juga harus meletakkan moralitas sebagai dasar seluruh pemikiran, sikap, dan perilaku, karena mereka akan menjadi lingkungan yang menumbuhkembangkan moralitas mahasiswa. Begitu juga dengan proses belajar mengajarnya harus dijalankan dengan berparadigma moral. Ia memiliki kekuatan untuk memproses sedikit demi sedikit mahasiswa untuk menjadi pribadi yang bertransformasi.

Bila lulusan universitas Islam sudah menyelesaikan studinya dan mereka mencari atau menciptakan sendiri pekerjaan, maka mereka akan menjadi kekuatan baru bagi bangsa bahkan umat manusia. Orang muda yang profesional ini akan mengubah peta moral dunia.Bagaimana menurut Anda?

Ikhtisar
- Banyak perguruan tinggi Islam yang menjalankan kegiatan pendidikannya dengan paradigma Barat.
- Kini sedang berkembang program islamisasi ilmu pengetahuan untuk menjadikan kampus-kampus Islam bisa memiliki paradigma keilmuan yang berbeda dari Barat.
- Selain soal paradigma, semestinya perguruan tinggi Islam juga menjadikan moral sebagai komponen penting dalam menyeleksi mahasiswa barunya.
- Pegawai, pimpinan, dan staf pengajar di kampus Islam juga harus menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan moral mahasiswanya.

( H Fuad Nashori )

2 comments:

  1. ak ini menarik ,..sekrang bukankah sudah sangat banyak kampus2 islam..yang memenuhi "permintaan pasar"
    apakah dengan dicanangkan kampus islam ini maka kampus2 islam yang lain akan disingkirkan??

    ReplyDelete
  2. bi,,, good banged. boleh nih rujukan. :D

    ReplyDelete