Tuesday, March 27, 2007

Buku : Muqaddimah

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: History
Author:Ibnu Khaldun
Judul : Muqaddimah
Penulis : Abd-ar-Rahman ibn Muhammad Ibn Khaldun (Ibnu Khaldun)
Penerbit: Pustaka Firdaus (021-7972536)
Penerjemah : Ahmadie Thoha
Halaman : 852


Refleksi 600 Tahun Wafatnya Ibnu Khaldun
Pangkal Kejatuhan dan Kejayaan Bangsa

Meski namanya telah diabadikan untuk sebuah universitas di Bogor, masih ada di antara kita mungkin belum mengenal sosok serta pemikiran sejarawan agung dan pemikir ulung yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai bapak sosiologi. Dialah Abd-ar-Rahman ibn Muhammad Ibn Khaldun yang hidup antara tahun 1332 hingga 1406 Masehi.

Di bulan November ini setidaknya tiga konferensi antarbangsa telah dan bakal digelar dalam rangka memperingati 600 tahun wafatnya ilmuwan besar ini. Yang pertama pada 3-5 November lalu di Madrid, Spanyol atas kerja sama Islamic Research and Training Institute IDB dengan Universidad Nacional de Educacion a Distance (UNED) dan Pusat Kebudayaan Islam setempat. Yang kedua baru saja terselenggara Sabtu 11 November 2006, di kampus Johann Wolfgang Goethe-Universitaet Frankfurt, Jerman, di mana penulis berkesempatan hadir. Sedang yang terakhir bakal diadakan pada 20-22 November mendatang di ISTAC Kuala Lumpur, Malaysia dengan tema: Ibn Khaldun's Legacy and Its Contemporary Significance.

Ibnu Khaldun hidup saat imperium Islam bagian barat (termasuk Afrika Utara) di ambang kehancuran. Andalusia terpecah-belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kaum Murabitun (Almoravid) dan Muwahhidun (Almohad) saling rebut wilayah dan pengaruh. Sementara kaum Kristen Spanyol waktu itu tengah mengkonsolidasi kekuatan mereka dan menyusun strategi untuk melancarkan serangan besar-besaran demi merebut kembali semua daerah yang diduduki kaum Muslim ---peristiwa kelam yang dinamakan reconquista.

Bermula dengan Toledo (1085), lalu Cordoba (1236) dan Seville (1248), dan terakhir Granada (1492), satu per satu wilayah Islam jatuh ke tangan orang-orang Kristen. Kondisi sosial-politik yang tak menentu itu tentu saja banyak memengaruhi perjalanan karier maupun pemikiran Ibnu Khaldun.

Barangkali karena kesibukannya sebagai pejabat negara dan keterlibatannya dalam politik, Ibnu Khaldun tidak banyak menghasilkan karya tulis. Hanya tercatat beberapa buku kecil seputar logika dan filsafat (Lubab Al Muhashshal), tentang tasawuf (Syifa' As Sa'il li Tahdzib Al Masa'il), dan sebuah otobiografi (At Ta'rif). Namun, ia meninggalkan sebuah karya raksasa berjudul: Tarjuman Al 'Ibar wa Diwan Al Mubtada' wal Khabar fi Ayyam Al'Arab wal Barbar wa man 'asharahum min dzawis-Sulthan AlAkbar.

Bagian pendahuluan dari kitab inilah yang melejitkan namanya ke seantero jagad. Tak aneh, sebab Muqaddimah-nya itu tak ubahnya bagaikan kapsul yang memuat ekstrak prinsip-prinsip yang bekerja di balik aneka manifestasi ilmu pengetahuan, pencapaian, dan pengalaman masyarakat manusia dari masa ke masa.

Pandangan yang relevan

Karya yang ditulis Ibnu Khaldun dalam penjara itu telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Prancis, Jerman, dan Inggris. Berikut ini beberapa pandangan Ibnu Khaldun yang masih sangat relevan kini untuk menjadi bahan renungan kita yang sedang berusaha bangkit meraih kejayaan.

Masyarakat dan negara yang kuat adalah masyarakat dan negara yang padanya terdapat tiga perkara. Pertama, solidaritas kebangsaan yang kokoh, di mana sikap dan perilaku mendzalimi, membenci dan menjatuhkan satu sama lain bertukar menjadi saling memberi, saling menghargai, dan saling melindungi. Ibnu Khaldun menyebutnya ashabiyyah atau group feeling --meminjam terjemahan Rosenthal. Kedua, kuantitas dan kualitas sumberdaya manusianya. Ketiga, kebangkitan suatu bangsa dan kejayaan negara berawal dari dan hanya akan langgeng apabila orang-orangnya selalu optimis dan mau terus-menerus bekerja keras. Kesuksesan tidak dicapai sekonyong-konyong, ujar Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, iii/49.

Ibnu Khaldun menganalogikan proses kelahiran dan kehancuran suatu negara dengan kehidupan manusia. Ada tahap-tahap yang mesti dilalui, masing-masing dengan pasang-surut dan pahit-manisnya. Menurut Ibnu Khaldun yang memandang proses sejarah dalam kerangka siklus (ketimbang proses linear ataupun dialektikal), runtuhnya suatu imperium biasanya diawali dengan kedzaliman pemerintah yang tidak lagi memedulikan hak dan kesejahteraan rakyatnya (iii/43) serta sikap sewenang-wenang terhadap rakyat (iii/22). Akibatnya timbul rasa ketidakpuasan, kebencian dan ketidakpedulian rakyat terhadap hukum dan aturan yang ada.

Situasi ini akan semakin parah bila kemudian terjadi perpecahan di kalangan elite penguasa yang kerap berbuntut disintegrasi dan munculnya petty leaders (iii/45). Yang paling menarik adalah observasi Ibnu Khaldun pada pasal 11: bahwa ketika negara sudah mencapai puncak kejayaan, kemakmuran dan kedamaian, maka pemerintah maupun rakyatnya cenderung menjadi tamak dan melampaui batas dalam menikmati apa yang mereka miliki dan kuasai. Itulah petanda kejatuhan mereka sudah dekat.

Namun, kejatuhan suatu bangsa hampir selalu didahului atau diikuti oleh kenaikan bangsa lain yang mewarisi dan meneruskan tradisi maupun peradaban sebelumnya. Sebagai pengganti yang belum semaju dan secanggih pendahulunya, bangsa yang baru muncul ini cenderung meniru bangsa yang pernah menjajahnya hampir dalam segala hal, dari cara berpikir dan bertutur hingga ke tingkah laku dan soal busana. Proses ini bisa berlangsung tiga sampai empat generasi.

Bangsa yang dikalahkan cenderung meniru bangsa yang menaklukannya karena mengira hanya dengan begitu mereka dapat menang kelak. Jika kejayaan suatu bangsa hanya bertahan empat atau lima generasi, hal itu dikarenakan generasi pertama adalah 'pelopor', generasi kedua 'pengikut', generasi ketiga 'penerus tradisi' (tradition keepers), sedangkan generasi keempat berpaling dari tradisi (tradition losers).

Berbeda dengan para penulis sejarah sebelumnya, Ibnu Khaldun dalam analisisnya berusaha objektif. Pendekatan yang dipakainya tidak normatif, akan tetapi empiris-positivistik. Uraiannya berpijak pada das Sein dan bukan das Sollen, pada apa yang sesungguhnya terjadi, bukan apa yang seharusnya terjadi.

Dr. Syamsuddin Arif Ph.D
Orientalisches Seminar Frankfurt, Jerman
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=271691&kat_id=16


11 comments:

  1. great book..
    sampe skrg aku masih sering bolak-balik baca buku ini..:)
    pemikirannya tentang ekonomi masih sangat relevan hingga saat ini

    ReplyDelete
  2. pengen banget punya buku ini...
    pertama tau buku ini dari cerita ust Asep Sobari pas lagi ngisi Dirosah Sirah Nabawiyah...
    Awalnya mengira muqaddimah itu hanya pengantar yang simpel...
    Ternyata, ilmuan Islam tempo dulu memang luar biasa...
    Muqaddimahnya aja 800-an halaman...

    Rindu akan hadirnya ilmuan Islam yang disegani dunia....

    ReplyDelete
  3. great book..

    harganya berapa ya kak, **?

    mo nabung dari sekarang :)

    ReplyDelete
  4. Yup ini Buku Masterpiece beliau.. disamping buku ini juga masih ada buku laennya yang tak kalah keren.. seluruh Ilmu disentuh beliau dalam Muqaddimah Ini.. begitu juga dalam Ilmu Sosiologi.. yang pernah saya pelajari banyak diambil dari buku tersebut.. yang mana kemudian dikembangkan oleh filosof barat August Comte dst,,

    ReplyDelete
  5. Yap itu baru muqaddimah ya....gimana isinya... :)

    ReplyDelete
  6. Harganya 55rb...saya beli waktu di book fair kemarin jadi lumayan murah

    ReplyDelete
  7. kalau gak di Book fair kira2 harganya berapa ya Bang?

    ReplyDelete
  8. Ngga ngerti juga ya, mungkin sekitar 60-70an...atau hub aja nomer telp penerbitnya diatas itu :)

    ReplyDelete
  9. buku itu agak jarang... sekitar 2 tahun yang lalu aq beli juga harganya 55 ribu

    ReplyDelete
  10. di kwitang murah, ak beli cuma 40-an. tapi syaratnya harus bisa nawar.

    ReplyDelete
  11. (Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Senin, 16 Juni 2008)

    Strategi Ilmu Sosial Milenium III
    (Kadaluarsa Ilmu: Re-Imagining Sociology)
    Oleh: Qinimain Zain

    FEELING IS BELIEVING. MULANYA teori baru diserang dikatakan tidak masuk akal. Kemudian teori tersebut itu diakui benar, tetapi dianggap remeh. Akhirnya, ketika teori itu sangat penting, para penentang akan segera mengklaim merekalah yang menemukannya (William James).

    KETIKA Dr Heidi Prozesky – sekretaris South African Sociological Association (SASA) meminta TOTAL QINIMAIN ZAIN (TQZ): The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000) sebagai materi sesi Higher Education and Science Studies pada Konferensi SASA medio 2008 ini, saya tidak terkejut. Paradigma baru The (R)Evolution of Social Science – The New Paradigm Scientific System of Science ini, memang sudah tersebar pada ribuan ilmuwan pada banyak universitas besar di benua Amerika, Afrika, Asia, Eropa dan Australia. Pembicaraan dan pengakuan pentingnya penemuan juga hangat dan mengalir dari mana-mana.

    Contoh, dari sekian banyak masalah telah dipecahkan paradigma ini adalah menjawab debat sengit hingga kini keraguan ilmuwan sosial akan cabang sosiologi sebagai ilmu pengetahuan di berbagai belahan dunia. Tanggal 2-5 Desember 2008 nanti, akan digelar The Annual Conference of The Australian Sociological Association (TASA) 2008 di Australia, dengan tema Re-imagining Sociology. (Judul tema Re-Imagining Sociology, diambil dari judul yang sama buku Steve Fuller (2004), seorang profesor sosiologi dari Universitas Warwick, Inggris).

    Lalu, apa bukti (dan pemecahan re-imagining sociology dalam paradigma TQZ) masalah sosiologi sampai ilmuwan sosial sendiri meragukannya?

    PARADIGMA (ilmu) sosial masih dalam tahap pre-paradigmatik, sebab pengetahuan mengenai manusia tidaklah semudah dalam ilmu alam (Thomas S. Kuhn).

    Ada cara sederhana untuk menjadi ilmuwan menemukan (masalah) penemuan (dan memecahkannya) di bidang apa pun, yaitu meneliti seluruh informasi yang ada di bidang itu sebelumnya dari lama hingga terbaru. (Sebuah cara yang mudah tetapi sangat susah bagi mereka yang tidak berminat atau malas). Mengenai informasi dari buku, menurut Isadore Gilbert Mudge, dari penggunaan buku dibagi dua, yaitu buku dimaksudkan untuk dibaca seluruhnya guna keterangan, dan buku yang dimaksudkan untuk ditengok atau dirujuk guna suatu butir keterangan pasti. Keduanya punya kelebihan masing-masing. Yang pertama luas menyeluruh, yang kedua dalam terbatas hal tertentu.

    Berkaitan menonjolkan kelebihan pertama, Dadang Supardan (2008: 3-4), menyusun buku Pengantar Ilmu Sosial (Sebuah Kajian Pendekatan Struktural), cetakan pertama, Januari 2008, yang mendapat inspirasi pemikiran ilmuwan sosial Jerome S. Bruner, bahwa mata pelajaran apa pun lebih mudah diajarkan (dan dipahami) secara efektif bila struktur (fakta, konsep, generalisasi, dan teori) disiplin ilmu seluruhnya dipelajari lebih dahulu, yaitu lebih komprehensif, mudah mengingat, mengajarkan, dan mengembangkannya.

    KLAIM sah paling umum dan efektif mengajukan paradigma baru adalah memecahkan masalah yang menyebabkan paradigma lama mengalami krisis (Thomas S. Kuhn).

    Lalu, apa hubungannya buku pengangan universitas yang baik ini dengan debat keraguan sosiologi?

    Dadang Supardan (2008:98), mengutip David Popenoe, menjelaskan jika ilmu sosiologi ingin tetap merupakan sebuah ilmu pengetahuan maka harus merupakan suatu ilmu pengetahuan yang jelas nyata (obvious). Dadang mengungkap, ahli sosiologi sering menyatakan bahwa mereka banyak menghabiskan uang untuk menemukan apa yang sebenarnya hampir semua orang telah mengetahuinya. Sosiologi dihadapkan dengan dunia masyarakat yang sebenarnya tidak begitu aneh, di mana orang-orang yang secara umum sudah akrab ataupun mengenal konsep-konsep yang diperkenalkan dalam bidang sosiologi. Sebaliknya, sebagai pembanding, dalam pokok kajian pada kelompok ilmu kealaman adalah ser

    ReplyDelete