Tuesday, May 23, 2006

Megaproyek Islamisasi Peradaban Syed M. Naquib Al-Attas

Rating:★★★★★
Category:Other
Syed Naquib Al-Attas
Megaproyek Islamisasi Peradaban

(republika.co.id)


Menjadikan peradaban Islam kembali hidup dan memiliki pengaruh yang mewarnai peradaban global umat manusia adalah salah satu gagasan dan proyek besar cendekiawan ini. Seluruh hidupnya, ia persembahkan bagi upaya-upaya revitalisasi peradaban Islam, agar nilai-nilai yang di masa lalu dapat membumi dan menjadi 'ikon' kebanggaan umat Islam, dapat menjelma dalam setiap lini kehidupan kaum Muslim sekarang ini.

Seluruh daya upaya itu telah dan terus dilakukan oleh Syed Naquib Al-Attas, intelektual yang di masa kini menjadi salah satu menara keilmuan Islam modern. Proyek besarnya itu dikemasnya dalam 'Islamisasi Ilmu Pengetahuan' melalui lembaga pendidikan yang ia dirikan, yakni International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, Malaysia.

Guru Besar dalam bidang studi Islam di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur ini lahir di Bogor, Indonesia, pada 5 September 1931. Moyang Naquib berasal dari Hadramaut (keturunan Arab Yaman). Dari garis ibu, Naquib keturunan Sunda, sekaligus memperoleh pendidikan Islam di kota Hujan itu. Sementara dari jalur ayah, ia mendapatkan pendidikan kesusastraan, bahasa, dan budaya Melayu. Ayahnya yang masih keturunan bangsawan Johor itu, membuat Naquib memiliki banyak perhatian tentang budaya Melayu sejak muda. Tampaknya kedua orang tuanya ingin Naquib kecil mendalami ilmu di negeri jiran, Malysia. Lantaran itu, sejak usia 5 tahun, Naquib dikirim menetap di Malaysia. Di sinilah ia mendapatkan pendidikan dasarnya di Ngee Heng Primary School.

Namun, sejak Jepang menduduki Malaya pada pertengahan 40-an, Naquib kembali ke Indonesia dan melanjutkan pendidikan menengahnya di Madrasah Urwatul Wutsqa, Sukabumi. Ia tamat sekolah atas, dan kembali ke Malaysia. Naquib sempat bergabung dengan dinas ketentaraan negeri itu, dan sempat pula dikirim untuk belajar di Royal Military Academy, Inggris.

Namun pada 1957, ia keluar dari militer dan melanjutkan studi di University Malaya. Selanjutnya, ia mengambil studi Islam di McGill University, Montreal, Kanada hingga meraih gelar master. Sementara strata doktoralnya ia raih dari School of Oriental and Africa Studies, University of London (1965). Ia lantas kembali ke Malaysia dan pernah memegang beberapa jabatan penting, antara lain Ketua Jurusan Kajian Melayu, University Malaya (UM).

Naquib sempat menjadi perhatian publik intelektual Malaysia dan mendapat tentangan keras beberapa kalangan ketika ia mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa resmi pengantar di sekolah. Saat itu, bahasa resmi pengantar adalah Bahasa Inggris.

Ia juga menentang keras penghapusan pengajaran bahasa Melayu-Jawi (yang ditulis dengan huruf Arab) di sekolah-sekolah dasar dan lanjutan. Kini, sistem tersebut masih diberlakukan di negeri jiran tersebut. Naquib memang memberi perhatian besar pada bahasa dan budaya Melayu. Ia ingin putra bumi (pribumi) benar-benar terdidik sehingga tidak menjadi obyek dari penjajahan kultural dunia Barat.

Selain itu, Naquib amat memberi perhatian besar pada bidang pendidikan Islam. Pada Konferensi Dunia Pertama Pendidikan Islam di Makkah, 1977, ia mengungkapkan konsep pendidikan Islam dalam bentuk universitas. Respons bagus muncul dan ditindaklanjuti oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang menjadi sponsor pendirian Universitas Islam Internasional (IIU) Malaysia pada 1984.

Tak hanya berhenti di situ, Naquib juga mendirikan ISTAC, lembaga pendidikan Islam yang dimaksudkan untuk merevitalisasi nilai-nilai peradaban Islam dan islamisasi ilmu pengetahuan. Lembaga ini sempat menjadi perhatian publik intelektual internasional dan dipandang sebagai salah satu pusat pendidikan Islam terpandang. Sayangnya, akibat tragedi 11 September 2001, pemerintah Malaysia bersikap berlebihan dan mencurigai beberapa pengajar sebagai pengembang gerakan Islam.

Akibatnya pemerintah negeri itu mengeluarkan keputusan menggabungkan ISTAC ke dalam UM, sebagai salah satu departemen tersendiri, dan tak lagi sebagai lembaga pendidikan Islam independen. Atas berbagai prestasinya itu, Naquib meraih banyak penghargaan internasional. Di antaranya, Al-Ghazali Chair of Islamic Thought.

Sebagai intelektual dan ilmuwan Muslim yang sangat dihormati dan berpengaruh, Selama ini Naquib dikenal sebagai pakar di bidang filsafat, teologi, dan metafisika. Gagasannya di sekitar revitalisasi nilai-nilai keislaman, khususnya dalam bidang pendidikan, tak jarang membuat banyak kalangan terperanjat lantaran konsep yang digagasnya dinilai baru dan karena itu mengundang kontroversi.

Salah satu konsep pendidikan yang dilontarkan Naquib, seperti ditulis dalam The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1998) yang telah di-Indonesiakan oleh Mizan (2003), yaitu mengenai ta'dib. Dalam pandangan Naquib, masalah mendasar dalam pendidikan Islam selama ini adalah hilangnya nilai-nilai adab (etika) dalam arti luas. Hal ini terjadi, kata Naquib, disebabkan kerancuan dalam memahami konsep tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib.

Naquib cenderung lebih memakai ta'dib daripada istilah tarbiyah maupun ta'lim. Baginya, alasan mendasar memakai istilah ta'dib adalah, karena adab berkaitan erat dengan ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan dan ditularkan kepada anak didik kecuali orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang.

Sementara, bila dicermati lebih mendalam, jika konsep pendidikan Islam hanya terbatas pada tarbiyah atau ta'lim ini, telah dirasuki oleh pandangan hidup Barat yang melandaskan nilai-nilai dualisme, sekularisme, humanisme, dan sofisme sehingga nilai-nilai adab semakin menjadi kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah ilahiyah. Kekaburan makna adab atau kehancuran adab itu, dalam pandangan Naquib, menjadi sebab utama dari kezaliman, kebodohan, dan kegilaan.

Dalam masa sekarang ini, lazim diketahui bahwa salah satu kemunduran umat Islam adalah di bidang pendidikan. Dari konsep ta'dib seperti dijelaskan di atas, akan ditemukan problem mendasar kemunduran pendidikan umat Islam. Probelm itu tidak terkait masalah buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalahartikan, bertumpang tindih, atau diporakporanndakan oleh pandangan hidup sekular (Barat).

Akibatnya, makna ilmu itu sendiri telah bergeser jauh dari makna hakiki dalam Islam. Fatalnya lagi, ini semua kemudian menjadi 'dalang' dari berbagai tindakan korup (merusak) dan kekerasan juga kebodohan. Lahir kemudian pada pemimpin yang tak lagi mengindahkan adab, pengetahuan, dan nilai-nilai positif lainnya. Untuk itulah, dalam amatan Naquib, semua kenyataan ini harus segera disudahi dengan kembali membenahi konsep dan sistem pendidikan Islam yang dijalankan selama ini.

Pada sisi lain, Naquib berpendapat bahwa untuk penanaman nilai-nilai spiritual, termasuk spiritual intelligent dalam pendidikan Islam, ia menekankan pentingnya pengajaran ilmu fardhu ain. Yakni, ilmu pengetahuan yang menekankan dimensi ketuhanan, intensifikasi hubungan manusia-Tuhan dan manusia-manusia, serta nilai-nilai moralitas lainnya yang membentuk cara pandang murid terhadap kehidupan dan alam semesta. Bagi Naquib, adanya dikotomi ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah tidak perlu diperdebatkan. Tetapi, pembagian tersebut harus dipandang dalam perspektif integral atau tauhid, yakni ilmu fardhu ain sebagai asas dan rujukan bagi ilmu fardhu kifayah.

Berkaitan dengan islamisasi ilmu pengetahuan, sosok Naquib amat mencemaskan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Sosok ini termasuk orang pertama yang menyerukan pentingnya islamisasi "ilmu". Dalam salah satu makalahnya, seperti ditulis Ensiklopedi of Islam, Naquib menjelaskan bahwa "masalah ilmu" terutama berhubungan dengan epistemologi. Masalah ini muncul ketika sains modern diterima di negara-negara muslim modern, di saat kesadaran epistemologis Muslim amat lemah.

Adanya anggapan bahwa sains modern adalah satu-satunya cabang ilmu yang otoritatif segera melemahkan pandangan Islam mengenai ilmu. Naquib menolak posisi sains modern sebagai sumber pencapaian kebenaran yang paling otoritatif dalam kaitannya dengan epistemologis, karena banyak kebenaran agama yang tak dapat dicapai oleh sains yang hanya berhubungan dengan realitas empirik. Pada tingkat dan pemaknaan seperti ini, sains bertentangan dengan agama. Baginya, dalam proses pembalikan kesadaran epistemologis ini, program islamisasi menjadi satu bagian kecil dari upaya besar pemecahan "masalah ilmu."

Naquib, seperti disinggung di atas, juga memberi perhatian besar pada nilai-nilai Melayu. Pemikir ini berpendapat, jati diri Melayu tak terpisahkan dengan Islam. Bahkan menurutnya, kemelayuan itu dibentuk oleh Islam. Bukti-bukti yang diajukannya bukan berdasarkan peninggalan-peninggalan fisik, tapi terutama berkaitan dengan pandangan dunia orang melayu.

Ia berpandangan, dakwah Islam datang ke wilayah Melayu sebagai "Islamisasi". Proses ini, ujarnya, berjalan dalam tiga periode dan tahap yang serupa dengan ketika Islam mempengaruhi Abad Pertengahn Eropa. Segenap apa yang dilakukan Naquib jelas menunjukkan komitmennya tentang upaya peradaban Islam tampil kembali ke permukaan dan mewarnai kancah pergaulan.

Hingga kini, Naquib masih terus menulis. Ia tergolong intelektual yang produktif. Puluhan buku telah ia tulis, antara lain: Rangkaian Ruba'iyat; Some Aspects of Shufism as Understood and Practised Among the Malays; Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh; The Origin of the Malay Sya'ir; Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago.

Selain itu, ia juga menulis Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu; Risalah untuk Kaum Muslimin; Islam, Paham Agama dan Asas Akhlak; Islam and Secularism; The Concept of Education in Islam; The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul; dan The Meaning and Experience of Happiness in Islam.

Sebagian dari karyanya tersebut telah diterjemahkan ke beberapa bahasa, seperti Inggris, Arab, Persia, dan Indonesia. Di usianya yang uzur kini, pemikir yang banyak pengaruhnya dalam kancah intelektualisme kontemporer ini terus aktif merealisasikan gagasan dan pemikirannya melalui lembaga ISTAC. (republika.co.id)


38 comments:

  1. Bagus nian artikel ini. Sapa penulisnya?

    Dulu saya sempat baca bahwa Syed Naquib Al-Attas lahir di Bogor, berarti 'orang Indonesia' juga yang menjadi pemikir-intelektual berkaliber internasional di Malaysia!

    ReplyDelete
  2. I am looking for prof Al-Attas's book with the title "Aims and Objectives of Islamic Education". The book is so expensive in here (up to US$129.71), but pak hendri_sa said, it is only rm 30 in Malaysia, hiks...

    (Katanya... ) topik 5, Konsep Ilmu: Konsep Ilmu dalam Islam dan Barat, Islamisasi Ilmu (kuliah Pandangan Hidup Islam) dengan pak Adnin Armas nanti juga akan bersandar pada pemikiran-pemikiran Prof Al-Attas.
    Rie-

    ReplyDelete
  3. Lho Mas Indra, apa ini diposting ulang? Atau ada revisi?

    ReplyDelete
  4. Truly a great philosopher and a scholar from a traditional islamic roots..

    ReplyDelete
  5. Sekedar info, ada satu buku karya Al-Attas yang belum tersebutkan di atas, dan merupakan suatu kumpulan karya2 sebelumnya yang cukup komprehensif membahas metafisika Islam, yaitu "Prolegomena to the Metaphysics of Islam". Buku ini adalah karya terbaru dan masih dalam bahasa Inggris, belum banyak diterjemahkan ke bahasa lain (ada terjemahan Rusia, klo tdk salah). Kalau mau tahu lebih jauh dan mendalam tentang pandangan dunia Islam, kayaknya wajib nih baca buku yang ini...(gak harus beli, bisa juga kopi he..he... tapi sepertinya Prof. Al-Attas akan tdk berkenan kalo bukunya di gandakan tanpa izin hihihi...)

    ReplyDelete
  6. count me in...looking for this too....in indonesian :D

    ReplyDelete
  7. Ya. Saya juga lagi nyari ini, yang terjemahan tentunya dan beberapa minggu yang lalu saya sempat sms pak Adian dan menanyakan tentang kapan buku-buku Syed Naquib diterjemahkan ke bhs Indo. Kata pak Adian insya Allah dalam waktu dekat...yuk doakan supaya buku-buku Syed Naquib bisa cepat diterjemahkan dan lebih bagus kalau bisa menjadi rujukan di seluruh IAIN sekalian menggantikan bukunya Harun Nasution :D

    ReplyDelete
  8. iya mba ini posting ulang...abis saya pikir artikel ini bagus dan belum banyak yang baca di MP ini :)

    ReplyDelete
  9. ini artikel dari republika mas....btw saya juga lahir di Bogor lho :D

    ReplyDelete
  10. bang Indra, udah berapa persen proyeknya tentang Syed Naquib? semoga barakah. jangan lupa bagi2 ilmunya ya...

    ReplyDelete
  11. Oh... iya bagus... bagus...! Bener, pasti ada aja yang belum baca dulu. Entah saat itu lagi sibuk atau kelewatan. Saya sih seneng aja diingetin lagi... Thanks!

    ReplyDelete
  12. berapa persennya sih belum tau ya, Tapi kalau pendapat saya pribadi, pergerakan ke arah sana memang sudah terlihat. Doakan saja murid-murid Syed Naquib yang di Indonesia bisa tahan banting dan maju terus.

    ReplyDelete
  13. Ya Rabb... Rabbuna ma'ana...Rabbuna yusahhil kulla hâgah

    ReplyDelete
  14. Saya punya buku ini, tapi ya yang edisi inggrisnya...saya dapat dari temen (murid non formal Al-Attas) saya yang dikasih langsung dari Prof Al-Attas (ada ttd-nya tuh..)

    ReplyDelete
  15. Boleh tanya siapa aja murid-murid Al-Attas yang di Indonesia? dan bagaimana usaha mereka di Malaysia sendiri selain Indonesia????

    ReplyDelete
  16. Bisa dilihat disini. Juga ada yang aktif membuat tulisan di hidayatullah.com seperti pak Adian Husaini, tulisan-tulisannya bisa dilihat disini atau disini. Juga pak Syamsuddin Arif, yang tulisannya bisa kita jumpai di website istrinya disini. Mereka semua tergabung dalam satu wadah yang bernama INSISTS (Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization).

    ReplyDelete
  17. Ooo kalau nama2 itu sudah banyak yang saya kenal dari media, saya punya copy&pernah baca beberapa tulisannya di majalah dan internet. saya kira ada "murid2x" lain yang belum dikenal banyak orang.... trims

    ReplyDelete
  18. Biasanya anak insist yang terkenal yang udah PHD, yang master2nya masih dalam tahap pendidikan lagi mbak.. tunggu aja kiprahnya :)

    duh..jadi ikutan nimbrung disini :)

    ReplyDelete
  19. Mbak Dini lanjut yg kemarin di message disini ya... (smoga terbaca..)
    Bagaimana muncul perbedaan pemikiran ketika ilmunya berasal dari satu guru..apalagi Prof Al-Attas menanamkan begitu dalam aspek fundamental dari Islam (metafisika&epistemologi)... Bagaimana hub Al-Attas dg mantan "murid2nya" itu skrg???
    Mbak kuliah di IIUM???

    ReplyDelete
  20. Heheh... dah banyak contoh INPUT-nya satu..outputnya banyak...:)

    Contoh Zuhairi Misrawi dan Lutfi A syaukani.

    Coba tanya aja yang bersangkutan mbak..:) faktor apa yang bikin mereka "beda" kalau mereka emang mau jujur...:) mbak bakal tau jawabannya :)

    ReplyDelete
  21. Tapi kebanyakan sih pada ngga mau jujur :D

    ReplyDelete
  22. subhanalllah.. ayo kita dukung dan terlibat juga doonk :)
    aku belum tau banyak, tp blm telat kaan bwt belajar

    ReplyDelete
  23. telat ? wah ngga ada kata telat deh buat belajar :)

    ReplyDelete
  24. Bos ikut ngedonload tulisan ttg Al-Attas..syukran ;)

    ReplyDelete
  25. assalamualaikum,
    tampaknya buku Prof Syekh Hussen Alattas, mungkin adiknya, lebih terkenal di Indonesia, buku tentang korupsi (diterbitkan LP3ES, kalau nggak salah) dan Mitos Pribumi Malas.
    Wassalam

    ReplyDelete
  26. Beliau (Al-Attas) termasuk tokoh yang saya kagumi

    ReplyDelete
  27. prmisi y dah ikutan download megaproyknya, tugas review kul, jzk y

    ReplyDelete
  28. Saya udah lama pingin ketemu Indrayogi. Halaman ini pun sudah lama saya lihat, tetapi baru sekarang kepingin berkomentar. Maaf bahasa Inggris:


    Assalamu 'alaikum wa rahmatuLlahi wa barakatuh,


    I think I have found someone 'better' than al-Attas, in the sense of getting the big picture to invite people to the clearly manifested truth in al-Attas' works, especially in places like Singapore, and more importantly, the South East Asian region. While al-Attas' 'master idea' is in successfully exposing and countering misleading philosophies such as secularism or perennialism resulting in the rigorous formulation and application of Islamic education, Dr Robert Crane's (Faruq Abd al Haqq) 'master idea' is in the clear delineation of the Islamic idea of human rights, or rather human responsibilities, and it's application to every aspects of life, including education. A combination of al-Attas' theoretical mastery of key Islamic sciences especially in linguistic analysis (philology - Arabic) and Dr Crane's practical experience at the highest level of government and think tanks would make a formidable figure in our current lack of 'middle way' intellectuals (Imam Asha'ari in theology, Imam Shafi'i in jurisprudence and Imam Ghazali in spirituality are names that comes to mind). Off the top of my mind I can only identify Shaykh Abdal Hakim Murad, Shaykh Hamza Yusuf, Imam Zaid Shakir, Dr Adi Setia, and Hoja Fethullah Gulen as equally 'holistic' intellectuals.


    With best wishes
    Surya


    Dr Crane's writing:

    http://www.theamericanmuslim.org/tam.php/features/articles/civilizations_in_crisis_confrontation_or_peaceful_engagement_part_i/

    http://www.theamericanmuslim.org/tam.php/features/articles/civilizations_in_crisis_confrontation_or_peaceful_engagement_part_ii/

    ReplyDelete
  29. salam...
    Ga banyak komentar... hanya nitip do'a, mg negeri ini bisa melahirkan manusia2 sekaliber Habib Naquib....
    Salam

    ReplyDelete