Misteri Dari Al Zaytun
www.swaramuslim.net
Oleh John Helmy Mempi dan Umar Abduh 
Pondok Pesantren biasanya menyiratkan kesederhanaan. Tidak demikian halnya dengan Ma’had Al-Zaytun, yang berdiri megah di tengah kemiskinan penduduk sekitarnya. Selain banyak dikunjungi artis Ibukota, Al Zaytun juga sering dikunjungi mantan pejabat dan petinggi militer Orde Baru, tokoh ormas Islam seperti ICMI dan sebagainya. Peresmian Al Zaytun pada 27 Agustus 1999 dilakukan oleh BJ Habibie yang ketika itu menjabat sebagai Presiden RI. Dari balik kemegahannya, ternyata Al-Zaytun menyimpan sejumlah misteri.
Misteri pertama berhubungan dengan status kepemilikan tanah seluas 1.200 hektar tempat berdirinya Ma’had Al Zaytun. Di Indonesia, lahan seluas itu biasanya dikuasai oleh perusahaan pengembang (developer) yang berinduk kepada perusahaan besar (konglomerat), dengan peruntukan yang jelas seperti real estate dan sejenisnya. Atau, mereka yang dekat dengan pusat kekuasaan.
Berdasarkan investigasi, penguasaan tanah produktif dan non produktif itu mengandung masalah. Sebagaimana bisa dilihat dari adanya surat pernyataan sikap bersama BPD (Badan Perwakilan Desa) setempat, yang antara lain menyatakan: “…bahwa pola pemilikan tanah yang dilakukan pihak Ma’had Al Zaytun bekerja sama dengan aparat desa kepada masyarakat pemilik tanah menggunakan cara-cara intimidasi dan penyerobotan tanah dengan sistem plot yang dibebankan kepada setiap Kepala Desa atas pesanan/permintaan YPI Ma’had Al Zaytun dengan menggunakan tangan-tangan Mafia Tanah, tukang pukul/preman-preman yang keberadaannya justru dikoordinir langsung oleh Kepala Desa…”
Artinya, bangunan megah Ma’had Al Zaytun berdiri di atas tanah rakyat miskin yang diperoleh dengan cara mendzalimi pemiliknya.
Misteri kedua berhubungan dengan sumber dana. Selain diperoleh dari berbagai sumbangan spontan pada saat dikunjungi oleh artis dan mantan pejabat (sipil/militer), sumber dana Ma’had Al Zaytun diperoleh dengan cara melakukan pemerasan terhadap ummat (Islam) melalui diterbitkannya berbagai pungutan yang tidak ada anjurannya di dalam Islam, seperti tazkiyah baitiyah, shadaqah tathawwu', infaq sabilillah, khijanah tajwidiyah, qiradl, shadaqah (jauka dan isti’dzan, nikah, tahkim, musyahadah, dan tartib) maupun Kaffarat dan lain sebagainya. Menurut perhitungan sederhana, pemerasan terhadap ummat Islam itu mencapai jumlah triliunan rupiah.
Selain pemerasan, sumber dana lainnya diperoleh dari penyimpangan syari’ah. Misalnya untuk zakat fithrah, selain nilainya digelembungkan –hingga mencapai jutaan rupiah dari seharusnya belasan ribu rupiah atau sama dengan 3,5 liter beras– juga tidak disalurkan ke fakir miskin tetapi dijadikan sebagai salah satu pemasukan bagi lembaga. Begitu juga dengan berqurban, tidak selalu ada pemotongan hewan pada saat Idul Adha berlangsung, adakalanya dikonversi dalam bentuk rupiah, kemudian seluruh dananya disalurkan ke lembaga. Tidak hanya penyimpangan syari’ah juga terjadi penyimpangan I’tiqad/Aqidah maupun penyimpangan Ma’nawi dan Target Ta’lim.
Adanya penyimpangan syari’ah lainnya, yaitu shalat wajib, bisa ditemukan pada saat investigasi. Ketika telah tiba waktu Ashar, para santri yang bermain tidak menunjukkan adanya gelagat melakukan persiapan untuk melaksanakan shalat ke Masjid secara berjama’ah, sebagaimana kebiasaan yang lazim berlaku di lingkungan pesantren manapun, padahal suara adzan telah terdengar dikumandangkan. Ditunggu sampai lebih dari satu jam, masih juga belum shalat, dan ketika hal tersebut ditanyakan kepada mereka, jawaban mereka enteng dan diplomatis: “kan sudah ditanggung Imam…”
Misteri ketiga berhubungan dengan sosok tokoh utama Ma’had Al Zaytun yang bernama Syaikh Al Ma’had Al Zaytun AS Panji Gumilang. Menurut KH Kholil Ridwan (Ketua BKSPPI, Badan Kerja Sama Pondok Pesantren Seluruh Indonesia), AS Panji Gumilang itu adalah adik kelasnya ketika sama-sama menuntut ilmu di pondok pesantren Gontor, yang nama aslinya adalah Abdul Salam bin Rasyidi. KH Miftah Faridl, Ketua MUI Jawa Barat pernah melakukan konfirmasi langsung ke AS Panji Gumilang, dan mendapat jawaban bahwa AS Panji Gumilang dan Toto Salam alias Abu Toto adalah orang yang sama, yang pernah menjadi komandan I kelompok pecahan DI/TII atau bagian dari gerakan NII.
Menurut Al Chaidar, salah seorang mantan pejabat struktural NII KW-IX pimpinan Abu Toto, sebagaimana dikutip majalah GAMMA edisi 1-7 Maret 2000 (hal. 72), Abu Toto alias AS Panji Gumilang, pengasuh dan pendiri pondok pesantren Al-Zaytun adalah seorang intel yang disusupkan pemerintah ke dalam tubuh NII sejak 1990-an. Berkat kelihaiannya, Abu Toto berhasil menarik massa NII, melahap hartanya untuk kepentingan pribadi.
Nampaknya aroma misteri yang merebak dari gedung mewah Ma’had Al Zaytun bermula dari sosok tokoh utamanya yang misterius. Mengenai tempat kelahirannya saja, ada berbagai data yang saling berbeda. Harian Pelita edisi 27 Juli 1999, memuat wawancara dengan AS Panji Gumilang, tepat satu bulan sebelum diresmikan oleh BJ Habibie, bahwa AS Panji Gumilang menyatakan dirinya kelahiran Indramayu. Sedangkan kepada ustadz Rani Yunsih sahabatnya di Rabithah Alam Islami, ia menyatakan lahir di Banten. Lain lagi menurut isterinya, AS Panji Gumilang alias Abu Toto lahir di Desa Dukun, Sembung Anyar, Gresik pada tanggal 27 Juli 1946.
Meski penuh misteri, kehadiran Ma’had Al Zaytun yang dipromosikan dengan cara gethok tular oleh elite politik nasional antara lain Jimly Ash-Shidiqie (mantan tokoh ICMI yang kini mengetuai Mahkamah Konstitusi), tidak hanya mengundang decak kekaguman, juga menerbitkan sebuah harapan munculnya kejayaan Islam. Marwah Daud Ibrahim (tokoh ICMI dan tokoh Golkar dari Iramasuka) bahkan dengan penuh antusiasme mengatakan,
“kejayaan Islam akan dimulai dari Indramayu, dari Al Zaytun…” Namun jangan lupa, tidak semua yang kemilau dan megah adalah permata. Sebagaimana terjadi di Spanyol, kecenderungan bermegah-megah akhirnya justru membuat Islam terpuruk. Dan kemegahan Cordova telah menjadi semacam tugu peringatan, bahwa kemegahan lebih sering menyebabkan keruntuhan bukan kejayaan.
John Helmy Mempi Direktur Eksekutif CeDSoS (Center for Democracy and Social Justice Studies)
Wisma HAROEN, Jl. Raya Pasar Minggu, Jakarta 12780
Tel. 7988223, Fax 798 3265
Umar bduh Sekjen CeDSoS (Center for Democracy and Social Justice Studies)
Penulis buku “Al-Zaytun Sesat” dan “Al-Zaytun Gate”
Penyunting buku KIGIR (Konspirasi Intelijen dan Gerakan Islam Radikal)
Anggota Tim Penyusun buku Di Balik Berita Bom Kedutaan Besar Australia & Skandal Terorisme. HP: 0815 8614 8611, e-mail:
umarabduh@gmail.comBeberapa website tentang NII & Al-Zaytun :
-
http://swaramuslim.net/ebook-
http://azaytun.multiply.com/-
http://nii-alzaytun.blogspot.com-
Liputan SCTV Tentang Al-Zaytun (*rm file)