Monday, April 21, 2008

Ayat-Ayat Cinta, Behind The Scene From O Channel




Assalamu'alaikum,

Walaupun sampai saat ini saya belum nonton film Ayat-Ayat Cinta, tapi saya mau berbagi rekaman behind the scenenya yang sempat saya rekam dari O Channel tanggal 21 April 2008. Filenya sendiri saya upload di rapidshare dalam bentuk .rar file yang didalamnya ada file .wmv sebesar 30 mb. Semoga berguna :)

Klik Me !




Tuesday, April 8, 2008

Mana Solusinya ?

Assalamu'alaikum,


Belakang ini ada dua hal menarik yang cukup sering dibicarakan orang di internet. Yang pertama adalah terbitnya film "Fitna" di internet karya seorang politikus dan juga Islamophobic dari Belanda yang bernama Geert Wilders. Dan yang kedua adalah dampak dari terbitnya film tersebut di Indonesia.

Tentang film Fitna sendiri saya ngga bisa berkomentar banyak, selain karena saya sendiri belum yakin apakah hal itu bisa disebut sebagai film atau bukan. Juga rasanya masih banyak film lain yang lebih layak untuk dikomentari dari segi sinematografi dan segi lainnya. Kalau saya lebih suka menyebut FITNA sebagai FIlm Tanpa makNA. Karena setelah melihat film tersebut saya justru tidak bergairah untuk membantahnya tapi justru malah kasihan dengan sang pembuat film.

Pertama, dia harus mati-matian "berjuang" dengan jalan pintas plus murahan untuk mendapatkan nama di partainya dan berharap mendapat dukungan dari partai lain. Kedua, ternyata hasilnya tidak seperti yang dia harapkan walaupun pengadilan Belanda memutuskan bahwa Wilders tidak melanggar hukum Belanda. Tidak terlalu mengejutkan karena memang begitulah hukum Barat. The freedom of expression, they say. Did they think a freedom really has no limit at all ?...Sick. Jadi akankah Geert Wilder berakhir seperti Theo Van Gogh ? Cuma Allah yang mengetahui. We'll see

Side effect

Ini dia topik yang paling sering saya temui akhir-akhir ini di internet. Semenjak pak menteri Moh. Nuh mengeluarkan dan mengirimkan surat saktinya ke para provider internet dan juga Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan juga Asosiasi Warnet Indonesia (AWARI), keluhan mulai banyak berdatangan. Beberapa teman mengeluh bahwa mereka sudah tidak bisa lagi buka situs youtube, metacafe, rapidshare dan bahkan multiply. Saya bisa mengerti dan memaklumi sikap tegas pak Nuh dengan kejadian ini dan bahkan perlu saya acungi jempol untuk niatnya. Tapi niatnya aja lho ya, karena cara yang beliau pakai belum tentu tepat.

Banyak yang mengatakan atau menganalogikan bahwa apa yang pak Nuh lakukan ini bagaikan membunuh nyamuk yang berukuran kecil dengan menggunakan granat. Tentu bukan nyamuknya saja yang terkena ledakan tapi juga mahluk-mahluk lain disekitarnya. Analogi ini cukup menarik karena perlu kita akui bahwa apa yang dilakukan Geert Wilders dengan FITNA nya itu hanyalah setitik noda di dalam kain putih yang berukuran tak terhingga. Kalau kita mau menengok ratusan tahun ke belakang dan melihat apa yang dilakukan para orientalis terhadap Islam, bisa jadi darah kita akan lebih mendidih. Tapi itu semua tidak membuat Islam berkurang nilai kemuliaannya. Istilah singkatnya “Al Islamu Ya’lu Wala Yu’la ‘Alaih”. Go translate :)

Nah solusi yag ditawarkan pak Nuh tadi ternyata menimbulkan masalah baru, yaitu mulai banyaknya suara-suara yang memprotes kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Seharusnya memang ada cara lain untuk memblock situs-situs. Misalnya pemerintah diusulkan melakukan pemblokiran secara terpusat, tidak di sentral ISP, tapi langsung menuju penyedia akses jaringan atau Network Access Provider (NAP). Selain itu, pemerintah juga diusulkan untuk membuat penyaring nama domain (DNS Filtering).

Dan inilah solusi yang ditawarkan oleh APJII dan AWARI bahkan mereka siap untuk membantu. Hanya saja pemerintah harus membangun server dengan kapasitas memori yang besar dan menyediakan sumber daya manusia yang memadai. Dan ini diperkirakan akan memakan biaya sebesar 100 juta. Harga yang cukup murah bagi pemerintah kan ? Kita tunggu saja hasilnya yang semoga tidak menimbulkan masalah baru di depannya.


Wassalamu'alaikum


Maraji' :

- detikinet.com
- romisatriawahono.net

Friday, April 4, 2008

Belajar Bahasa Arab

Rating:★★★★★
Category:Other
Ass.Wr .Wb.Ustadz, saya ingin sekali belajar bahasa Arab supaya lebih mudah dalam memahami al-Qur'an serta memudahkan dalam berda'wah. Sebaiknya tempatnya di mana ya? Mungkin ada referensi tempat. Saya sama sekali awam mengenai bahasa Arab dan ingin mulai dari awal. Wass. Wr. Wb.

Andri Sugara
andri

Jawaban

Assalamu 'alaikum Warahmatullahi wabarakatuh

Urgensi Menguasai Bahasa Arab

Belajar bahasa Arab memang sebuah keharusan yang layak dikuasai oleh umat Islam. Sebab sejak awal mula diturunkan ajaran Islam sampai hari ini, bahasa yang digunakan adalah bahasa arab.

Al-Quran sebagai kitab suci abadi yang menghapus semua kitab suci yang pernah ada, diturunkan dalam bahasa Arab. Rasulullah SAW sebagai nabi akhir zaman yang risalahnya berlaku untuk seluruh manusia di muka bumi sampai akhir zaman, juga berbahasa arab, tanpa pernah diriwayatkan mampu berbahasa selain arab.

Hadits-hadits nabawi diriwayatkan secara berantai hingga sampai kepada kita melewati masa berabad-abad, juga tertulis dalam bahasa Arab. Bahkan semua kitab yang menjelaskan materi Al-Quran, As-Sunnah serta syariah Islamiyah hasil karya para ulama muslim sedunia sepanjang masa, juga kita warisi dalam bahasa Arab.

Ketika dakwah Islam memasuki pusat-pusat peradaban dunia dan membangun kejayaannya nangemilang, bahasa yang digunakan juga bahasa Arab. Kala itu bahasa Arab selain resmi menjadi bahasa pemerintahan, juga menjadi bahasa dunia pendidikan, bahasa ilmu pengetahuan serta bahasa rakyat sehari-hari. Padahal negeri-negeri yang dimasuki Islam itu tadinya bukan negeri Arab.

Bahkan ketika Islam masuk ke Mesir dan para penguasa dan rakyatnya masuk Islam, mereka tidak hanya sekedar memeluk Islam sebagai agama, tetapi mereka belajar bahasa Arab, berbicara dengan bahasa Arab dan melupakan bahasa asli peninggalan nenek moyang mereka. Hanya dalam tempo beberapa tahun saja, tidak satu pun bangsa Mesir yang paham bahasa asli mereka. Semua berbicara dengan bahasa Arab, bahkan hingga hari ini. Padahal Mesir itu bukan negeri Arab dan tidak terletak di jazirah Arab. Mesir terletak di benua Afrika, namun rakyat Mesir keseluruhannya berbicara dalam satu bahasa, yaitu bahasa Arab.

Bila kita amati secara seksama, memang ada kecenderungan bahwa di mana ada masuknya dakwah Islam ke suatu negeri hingga mampu mambangun peradaban besar, pastilah negeri itu berubah bahasanya menjadi bahasa Arab. Bahkan bahasa resmi negara sekaligus bahasa rakyat jelata.

Sebaliknya, negeri-negeri yang kurang sempurna proses Islamisasinya, bisa dengan mudah dikenali dari tidak adanya rakyat yang menggunakan bahasa Arab. Paling jauh hanya sekedar serapan-serapan bahasa saja, seperti bangsa kita ini. Bahasa Indonesia (termasuk Melayu) menyerap sangat banyak bahasa Arab ke dalam perbendaharaannya. Begitu banyak kata yang sumbernya dari bahasa Arab, bahkan bisa dikatakan bahwa unsur serapan dari bahasa arab termasuk paling dominan dalam bahasa Indonesia. Namun sayangnya, bangsa ini tidak sempat mampu berbahasa Arab dalam kesehariannya. Apalagi ditambah dengan penjajahan selama ratusan tahun, dimana para penjajah itu memang paham betul bahwa salah satu kekuatan agama Islam adalah pada bahasa Arabnya.

Bila suatu umat muslimin di muka bumi ini tidak bisa bahasa Arab, artinya mereka pasti tidak paham tiap ayat Al-Quran, tidak paham hadits nabi, tidak mengerti apa yang mereka baca dalam zikir, shalat dan doa. Tidak mengerti syariah Islam dan ajaran-ajarannya secara mendetail. Kecuali bila diterjemahkan terlebih dahulu dan dijelaskan satu persatu oleh kiayinya. Dan metode penerjemahan begini tentu saja sangat terbatas keberhasilannya, terlalu lemah dan justru sangat menghambat.

Karena itu, keinginan anda untuk belajar bahasa Arab dan menguasainya adalah sebuah keinginan yang teramat mulia, sehingga perlu didukung penuh. Jangan sampai keinginan itu berhenti hanya karena alasan teknis semata.

Empat Dimensi Penguasaan Bahasa Arab

Menguasai bahasa Arab itu minimal harus menguasai empat sisi.

1. Fahmul Masmu'
Maksudnya kita harus mampu memahami apa yang kita dengar. Jadi kalau ada orang Arab membacakan berita di TV atau sedang berdialog, kita mampu mengerti.

2. Fahmul Maqru'
Maksudnya kita harus mampu memahami teks yang kita baca. Sehingga buku, kitab, majalah, koran atau teks apapun yang tertulis dalam bahasa Arab, mampu kita pahami.

3. Ta'bir Syafahi
Maksudnya kitamampu menyampaikan isi pikiran kita dalam bahasa Arab secara lisan, dimana orang Arab mampu memahami apa yang kita ucapkan.

4. Ta'bir Tahriri
Maksudnya kita mampu menyampaikan pikiran kita kepada orang Arab dengan bentuk tulisan, dimana orang Arab bisa dengan mudah memahami maksud kita.

Problematika Belajar Bahasa Arab

Sebelum anda menentukan pilihan pada lembaga mana anda akan percayakan program belajar bahasa arab anda, sebaiknya anda juga belajar dari beberapa pengalaman mereka yang pernah melakukannya sebelumnya. Juga tidak ada salahnya kalau anda juga mendengarkan pengalaman mereka, baik telah sukses maupun yang gagal.

Kenyataannya memang harus diakui bahwa tekad kuat untuk belajar bahasa Arab, terutama buat kalangan muda muslim yang tidak pernah mengecap pendidikan pesantren berbahasa Arab, seringkali kandas di tengah jalan.

Di Jakarta pernah berdiri puluhan ma'had dan lembaga kursus yang mengajarkan bahasa Arab. Sayangnya, kebanyakan keberhasilannya berjalan terseok-seok, kalau tidak mau dikatakan gagal total. Umumya kurang berhasil dalam mengantarkan para siswanya untuk menjadi orang yang mahir bahasa Arab.

Biasanya, alasan paling klasik adalah lamanya masa belajar dan rasa bosan yang dengan cepat menghantui para pelajar. Apalagi ditambah dengan padatnya aktiftitas peserta di luar jam kurus, sehingga biasanya lembaga kursus itu menyelenggarakan pengajaran bahasa dengan cara non-intensif. Kursus diselenggarakan seminggu sekali, atau seminggu dua kali. Sekali pertemuan hanya 2 atau 3 jam saja. Dilihat dari sisi keintensifannya saja, sudah terbayang kegagalannya.

Semua itu kemudian dipeRprah kualitas pengajar yang umumnya juga orang Indonesia, di mana secara teori mungkin menguasai dasar-dasar gramatika bahasa Arab, tetapi secara dzauq (taste), kemampuan mereka amat terbatas. Banyak sekali para pengajar yang mampu berbicara dalam bahasa Arab, namun dengan ta'bir (cara pengungkapan) yang bukan digunakan oleh orang Arab. Sehingga orang Arab sendiri pun kalau mendengarnya agak berkerut-kerut dahinya sampai 10 lipatan.

Masalah kurikulum pengajaran pun seringkali malah menjadi faktor penghalang besar. Yaitu ketika para peserta dijejali dengan berbagai macam aturan, rumus, kaidah dan tetek bengeknya, tapi kurang praktek langsung. Bisa jadi secara teori mereka sangat paham, tapi giliran harus menggunakan bahasa itu baik secara lisan, tulisan atau pendengaran, semua jadi berantakan alias gagal total. Kasusnya mirip dengan orang yang belajar berenang secara teoritis, menguasai aturan gaya bebas, gaya kupu-kupu, gaya katak dan lainnya. Tapi giliran masuk kolam, tenggelam dan tidak timbul-timbul lagi. Sungguh menyedihkan memang.

Bahasa adalah Aplikasi

Tempat belajar suatu bahasa yang paling baik bukan di dalam sebuah lembaga kursus, juga bukan di dalam sebuah kelas. Tempat belajar yang paling baik adalah di tempat dimana semua orang berbicara dan berkomunikasi dengan bahasa tersebut.

Kalau anda ingin pandai bahasa Jawa, sebaiknya anda tinggal selama beberapa tahun di Jogjakarta atau di Solo. Terutama di pedesaan dimana masyarakat dengan setia menggunakan bahasa Jawa. Di sana anda bukan hanya belajar kosa kata jawa, tetapi juga mendengar, melihat, memperhatikan, menirukan, serta beradaptasi secara langsung dengan cara komunikasi orang jawa. Sebab bahasa itu bukan sekedar kosa kata, tetapi termasuk juga tutur bahasa, cara mengungkapkan, cara melafalkan, bahkan termasuk bahasa tubuh, mimik dan intonasi. Dan semua bermula dari mendengar setiap saat ucapan. Pagi, siang, sore dan malam hari yang anda dengar hanya percakapan orang-orang dalam bahasa Jawa.

Ini adalah cara belajar bahasa yang paling alami, paling mudah dan paling berhasil. Cara ini telah melahirkan jutaan anak-anak berusia 1 tahun hingga 5 tahun yang mahir berbahasa Jawa. Jangan kaget, kalau di Jogja dan Solo, rata-rata anak kecil mahir berbahasa Jawa (?)

Dan jangan kaget juga kalau di Mesir dan negeri Timur Tengah lainnya, anak-anak mahir berbahasa Arab. Kalau anak kecil saja mahir berbahasa Arab, mengapa anda yang sudah dewasa tidak bisa bahasa Arab?

Kesimpulannya adalah bahwa belajar bahasa itu membutuhkan sebuah komunitas orang-orang yang berkomunikasi dengan bahasa itu. Dimana kita ada di dalamnya dan ikut berinteraksi secara aktif.

Lembaga kursus bahasa Arab yang paling canggih sekalipun, kalau tidak mampu menghadirkan sebuah komunitas berbahasa arab, adalah lembaga yang tidak akan mampu melahirkan lulusan yang mahir berbahasa arab.

Beberapa Contoh

Beberapa pesantren di negeri kita boleh dibilang lumayan berhasil melahirkan santri yang lumayan bisa berbahasa Arab. Katakanlah pesantren Darussalam Gontor Ponorogo (http://gontor.ac.id), tempat dimana banyak tokoh nasional kita saat ini pernah belajar. Tapi keberhasilannya memang ditunjang dengan kebehasilan menciptakan komunitas berbahasa arab. Sebab semua santri tinggal di lingkungan pondok sehari 24 jam selama minimal 6 tahun. Yaitu sejak mereka lulus SD hingga mau masuk perguruan tinggi. Dengan resiko hukuman digunduli kalau ketahuan berbicara bahasa Indonesia.

Contoh lain yang boleh dibilang lumayan sukses adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), yang merupakan sebuah ma'had pengajaran bahasa Arab di bawah naungan Universitas Islam Muhammad ibnu Suud Riyadh. LIPIA berlokasi di Jakarta, namun hampir semua pengajarnyaorang arab atau yang pernah bertahun-tahun kuliah di sana. Sehingga dari segi dzauq bahasa, ada kekuatan tersendiri. Setiap hari para mahasiswa ditenggelamkan dengan komunitas orang Arab betulan, sejak jam 7 pagi hingga jam 12 siang selama 7 tahun. Semua pelajaran disampaikan dengan bahasa Arab, meski tidak ada lagi hukuman gundul buat pelanggarnya.

Salah satu faktor keberhasilannya adalah karena setiap calon mahasiswa yang masuk diseleksi terlebih dahulu dengan sangat ketat. Hanya mereka yang lulus tes tertulis dan lisan (wawancara) dengan bahasa dan orang arab saja yang boleh kuliah disitu. Kalau sudah berhasil diwawancarai oleh orang Arab, bukankah sebenarnya sudah boleh dikatakan bisa berbahasa Arab?

Tapi LIPIA pun sempat merasakan kegagalan ketika membuka kelas non intensif yang hari kuliahnya hanya sore hari, itupun hanya 2 kali seminggu. Akhirnya, program ini dinilai kurang efektif dan tidak memenuhi target, lalu dibubarkan hingga sekarang ini. Keterangan lebih lanjur tentang LIPIA bisa anda buka di situsnya http://lipia.org

Kesimpulan

Menyimpulkan dari kisah sukses dua contoh lembaga pendidikan di atas, kuncinya adalah:

1. Adanya komunitas berbahasa arab yang tulen dan pekat

2. Masa pendidikan yang intensif, rutin dan padat

3. Waktu belajar yang cukup lama

4. Kemauan keras yang tidak pernah padam

Kunci yang terakhir itu menjadi faktor penentu terakhir, sebab tidak sedikit mereka yang sudah pernah masuk ke lembaga di atas, tetapi akhirnya tidak kuat di tengah jalan, kemudian jalan di tempat, berhenti dan mogok. Kalau keinginan yang dimiliki hanya sekedar semangat di awalnya saja, biasanya memang tidak akan bertahan lama.

Sedangkan kisah tidak sukses pengajaran bahasa asing di negeri kita adalah pelajaran bahasaInggris di SMP dan SMU. Bahkan sejak SD ditambah lagi di perguruan tinggi. Kalau dihitung-hitung, paling tidak setiap mahasiswa di negeri ini pernah belajar bahasa Inggris paling tidak selama 10 tahun. Tapi hasilnya? Sulit menemukan mahasiswa Indonesia yang mampu berbicara fasih dalam bahasa Inggris, bahkan sekedar memahami atau atau membaca teks berbahasa Inggris pun masih sangat lemah. Apalagi kalau diminta berkomunikasi langsung dengan orang yang berbahasa Inggris.

Wassalamu 'alaikum Warahmatullahi wabarakatuh

http://www.eramuslim.com

Belajar di LIPIA Jakarta

Rating:★★★★★
Category:Other
Sebelumnya saya mohon maaf kalau banyak pertanyaan yg blm terjawab, disebabkan karena saya bukan kuliah di LIPIA, saya baru kuliah lagi di STID Al-Hikmah. Itu pun baru masuk, jadi mohon maaf kalau pertanyaannya blm bisa saya jawab skrg.

Untuk tanya2 lebih lanjut mungkin bisa lsg menghubungi

Ust. Ahmad Sarwat, Lc
www.ustsarwat.com
021- 92880436 / 0856-9446-1792
YM : ustsarwat

Atau ke :

http://www.lipia.org/


Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pak ustadz, saya ingin masuk ke LIPIA mohon diberi penjelasan tentang materi testnya. Juga sekilas tentang bagaimana pengalaman belajar di LIPIA.

Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih

Wassalamu 'alaikm wr wb.

Aray

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

LIPIA adalah kepanjangan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab. Awalnya ketika berdiri di tahun 1980, hanya merupakan sebuah ma'had, semacam lembaga kursus bahasa Arab.

Namun pada tahun 1987, LIPIA secara resmi membuka program kuliah S-1 dengan fakultas tunggal yaitu Fakultas Syariah Jurusan Perbandingan Mazhab. Induk dari lembaga ini sebenarnya adalah sebuah Universitas Negeri di Riyadh Saudi Arabia, yang bernama Universitas Islam Al-Imam Muhammad Ibnu Suud. (http://www.imamu.edu.sa/)

Seluruh kurikulum mengacu kepada kurikulum dari Universitas di Riyadh, termasuk juga kitab-kitab berbahasa Arab yang digunakan dan juga tenaga pengajarnya. Selain berkebangsaan Saudi Arabia, ada juga yang datang dari Mesir, Sudan, Palestina, Jordan, Somalia, Iraq dan lainnya.

Umumnya mereka adalah Profesor dan Doktor yang sudah berpengalaman mengajar di berbagai UniversiasIslam terkemuka di dunia, seperti Al-Azhar Mesir dan lainnya.

Dan otomatis semua perkuliahan disampaikan dalam bahasa Arab yang fushah. Karena dosennya tidak bisa bahasa Indonesia. Dan semua literatur yang digunakan memang mengacu kepada literatur asli peninggalan emas para ulama di masa kejayaan Islam.

Namun untuk bisa masuk ke jenjang kuliah S-1, seorang calon mahasiswa disyaratkan telah lulus beberapa program sebelumnya, yaitu program persiapan bahasa (i'dad lughawi) dan persiapan Universitas (takmili).

Meski cuma program persiapan bahasa, namun bentuknya kuliah juga, sama nantinya dengan kuliahS-1. Program persiapan bahasa berjumlah 4 semester atau dua tahun. Perkuliahannya dimulai sejak jam 07.00 s/d 12.00, seminggu 5 hari kerja, dari hari Senin sampai hari Jumat.

Yang menarik, untuk bisa diterima di bangku kuliah persiapan bahasa, seorang calon mahasiswa harus bersaing dengan calon lainnya. Di zaman kami dulu, dari dua kelas yang tersedia, sekitar 80 kursi, jumlah yang memperebutkannya sampai 1.500-an orang. Itu pun harus antri sejak shubuh untuk sekedar bisa mendapat nomor pendaftaran.

Test yang dilakukan ada dua, test tertulis dan test lisan. Banyak yang gugur ketika mengikuti test tertulis, karena soalnya ternyata tidak tertulis melainkan suara kaset berbahasa Arab. Jadi telinga kita harus peka mendengarkan soal dibacakan dalam bahasa Arab lewat kaset itu. Lalu jawabanya baru kita isikan di lembar jawaban.

Maka berguguranlah ratusan calon mahasiswa. Yang lulus, namanya akan terpampang di dinding gedung LIPIA dan harus segera ikut test lisan.

Test lisan lebih gawat lagi. Satu orang calon mahasiwa 'dikeroyok' oleh dua sampai tiga orang Arab yang berjenggot, ditest hafalan Quran 2 juz yang diacak ayat-ayatnya. Lalu diminta membaca sebuah buku berbahasa Arab yang gundul alias tidak berharakat, setelah itu ditanya ini itu tentang apa yang kita baca barusan. Tentu saja ditanya pakai bahasa Arab dan menjawabnya pun pakai bahasa Arab pula.

Selesai tema isi buku, dosen-dosen Arab itu melanjutkan dengan'interogasi' tentang wawasan kita terhadap ilmu-ilmu agama, lagi-lagi pakai bahasa Arab. Maka pada test ini, banyak calon mahasiswa yang bermandi keringat, "Wah, kayak menghadapi malaikat Munkar dan Nakir", kata salah seorang teman sambil bercanda di waktu itu saking takutnya.

Sebenarnya pada dosen berkebangsaan Arab itu tidak galak atau killer, mereka sangat ramah dan tahu bahwa pengetahuan bahasa Arab kami pas-pasan. Mereka sering membantu untuk menjawab pertanyaan yang mereka buat sendiri. Tapi namanya mental sudah anjlog, banyak yang menyerah.

Tapi teman-teman yang lain banyak yang sudah punya persiapan, semacam bimbingan tes. Jadi semua soal yang biasanya digunakan sudah dilatih duluan, termasuk latihan test lisan itu. Jadi tidak sedikit yang ketika ditanya ini dan itu, mereka menjawab dengan santai, bahkan ada yang sambil bercanda dan tertawa-tawa. Wah, yang begini kayaknya pasti lulus. Sebab secara praktis, mereka sudah bisa ngobrol dengan orang Arab, pakai bercanda segala pula.

Lalu tibalah hari pengumuman, semua calon mahasiswa datang ke LIPIA dengan berdebar-debar. Kebanyakan mereka datang dari daerah, yang anak Jakarta paling dua atau tiga orang saja. Jadi pemandangannya menarik sekali. Banyak di antara mereka yang sudah sekalian membawa koper atau tas, seandainya tidak diterima, ya langsung pulang kampung.

"Suasananya persis suasanayaumul hisab", komentar seorang teman. Setiap orang deg-degan menunggu-nunggu apakah lolos keterima atau tidak. Lalu dari Syu'unit Tullab keluar pak Zaini membawa lembar pengumuman dan di tempat lagi di dinding gedung. Lalu terlihat pemandangan yang beraneka rupa, ada yang meloncat-loncat kegirangan, ada yang duduk lesu, ada langsung angkat tas menuju terminal, ada juga bengong saja.

Kuliah di LIPIA

Kuliah di LIPIA memang kuliah yang intensif. Jam kuliah begitu padat, persis ketika kita sekolah di SMA dulu. Masuk jam 07.00 pagi dan pulang jam 12.00. Sehari 5 sessi, tiap sessi 50 menit. Jadi antara sesi satu dengan sessi lain, diberi jeda hanya 5 menit saja, sekedar memberi kesempatan para dosen berganti kelas.

Di kelas persiapan bahasa, materi kuliahnya memang terkonsentrasi pada penguasaan 4 sisi kemahiran berbahasa, yaitu membaca, menulis, berbicara dan mendengar. Salah satu kelebihan program ini, yang mengajar memang orang Arab semua, sehingga taste (dzauq) bahasa Arab benar-benar terasa.

Banyak teman yang tadinya sudah merasa bisa bahasa Arab, ternyata salah dalam ta'bir dan harus diperbaiki. Karena sewaktu di pesantren dulu, guru mereka yang bukan orang Arab itu mengajarkannya keliru. Yah, namanya saja bukan orang Arab, tetap saja taste nya beda.

Satu yang menarik ketika kuliah di LIPIA, setiap mahasiswa diberi uang saku setiap bulan. Kalau mahasiswa program persiapan bahasa, uang sakunya hanya 100 real (kurs 1 real = Rp 2.500- Rp3.000). Tapi kalau program Persiapan Universitas dan Program S-1, uang sakunya lumayan, karena jumlahnya 2 kali lipat, yaitu 200 real.

Enak banget ya, sudah kuliah gratis, tanpa uang pendaftaran, uang gedung, sumbangan ini itu, lalu dibayar pula. Dan lebih dari semua itu, semua buku dan kitab juga dibagikan gratis. Cuma makan saja yang tidak gratis. Pantas saja peminatnya membludak. Dan seingat kami, seumur-umur kuliah di LIPIA, belum pernah membayar uang kuliah walau cuma seratus perak.

Ruang kelas ber-AC, perpustakaan luas, tiap hari masuk 'bioskop' alias laboratorium bahasa. Bahkan yang asalnya dari daerah, disediakan kos-kosan gratis.

Tapi disiplin yang ditegakkan juga ketat. Tiap ganti jam pelajaran, dosen akan mengabsen ulang. Wah, kayak anak SD. Tapi kalau dipikir-pikir, memang harus begitu menghadapi kebiasan bangsa kita yang terkenal tidak disiplin. Jumlah absen nanti akan mempengaruhi nilai mukafaah (uang saku) dan juga kalau melebihi 25% toleransi, bisa dihukum tidak bisa ikut ujian akhir. Akhirnya bisa tinggal kelas, atau malah DO sekalian.

Masuk Takmili

Lulus kuliah di persiapan bahasa (i'dad lughawi) adalah syarat untuk mendaftar ke program persiapan Universtias (takmili). Dan lulus dari program takmili adalah syarat untuk bisa mendaftar di program S-1 Fakultas Syariah.

Untuk masuk ke takmili, 'ritual' serupa harus dilakukan kembali. Tidak ada jaminan bagi lulusan i'dad lughawi untuk langsung diterima di takmili. Justru mereka akan diseleksi ulang. Test lagi secara tertulis dan secara lisan.

Kali ini titik tekannya adalah pada kekuatan sastra bahasa Arab dan sebagain dasar dari ilmu-ilmu keIslaman. Syaratnya hafal dua juz Al-Quran, mahir berbahasa Arab, menguasai dasar-dasar ilmu-ilmu syariah.

Di program takmili kita akan berkenalan dengan sekian banyak sastra arab, termasuk syi'ir jahili seperti Imru'ul Qais, hingga sastra Arab modern seperti Al-Manfaluthi dan jajarannya.

Payahnya, semua harus dihafal luar kepala dan diurai satu persatu. Dosen meminta kita maju ke depan untuk membacakan syair-syair itu yang terkadang jumlahnya bisa sampai 50 bait. Masih disuruh menjelaskan kata perkata, bait per bait dan kekuatan bahasa dari masing-masing ungkapan yang digunakan oleh penyair. Wah, tampang kami sudah mirip penyair semua.

Awalnya kami bingung, mau belajar agama kok malah disuruh menghafal syair, mending menghafal nasyid atau sekalian Al-Quran. Ternyata kita dilatih untuk menguasai bahasa Arab bukan hanya percakapan tapi juga kekuatan bahasa dan sastra. Konsiderannya, dua sumber agama Islam itu merupakan sastra yang indah dan level tinggi. Percuma bicara Islam atau sok jadi tokoh Islam tapi tidak mengerti kekuatan bahasa keduanya. Percuma kalau hanya sekedar baca terjemahan.

Maka makin semangatlah kami belajar menghafal syair jahili dan Islami sekaligus. Hingga lulus dan selesai selama 1 tahun penuh.

Masuk Fakultas Syariah

Setelah tiga tahun berturut-turut menyelam di persiapan bahasa dan persiapan universitas, akhirnya sampai juga di bagian yang paling susah. Bagian program S-1 yang mensyaratkan hafal 3 juz Quran dan kemampuan pemahanan ilmu syariah yang jauh lebih dalam.

Testnya tetap sama, yaitu test tulisan dulu baru kemudian test lisan. Hasilnya, yang berguguran cukup banyak yang masuk hanya beberapa orang saja satu kelas.

Di Fakultas Syariah, nyaris semua cabang ilmu keIslaman diajarkan. Ada mata kuliah Fiqih yang berjumlah40 SKS, sehingga setiap hari ada mata kuliah itu, sejak dari semester 1 sampai semester 8. Kitab yang dipakai adalah kitab fenomenal Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid karya Ibnu Rusyd Al-Hafid.

Ada mata kuliah Ushul Fiqih yang berjumlah32 SKS sehingga dalam seminggu ada 4 hari mata kuliah itu diajarkan. Kitabnya cukup bikin mumet, yaitu Raudhatun Nadhir

Ada juga mata kuliah Tafsir yang berjumlah20 SKS dan tiga hari seminggu diajarkan. Kitabnya adalah Fathul Qadir karya Asy-Syaukani.

Ada Hadits Ahkam jumlah SKS-nya sama Tafsir (20 SKS). Kitabnya adalah Subulus Salam karya Ash-Shan'ani. Kitab ini adalah syarah (penjelasan) dari kitab Bulughul Maram.

Masih juga ada mata kuliah Nahwu yang berjumlah 24 SKS. Kitabnya Audhahul Masalik yang merupakan syarah dari matan Alfiyah Ibnu Malik. Juga ada mata kuliah Al-Quran yang intinya tahsinut tilawah dan tahfidz. SKS-nya 12, targetnya sampai lulus S-1, kita menghafal 8 juz Al-Quran.

Selain itu juga ada mata kuliahQawaid Fiqhiyyah4 SKS, Faraidh8 SKS, Teks Sastra 4 SKS, Balaghah 2 SKS, Ushul Tarbiyah 2 SKS, Tarbiyah Islamiyah 2 SKS, Metodologi Mengajar 4, Ilmu Jiwa-Jiwa SKS, Riset 4 dan Kultur Islam 4 SKS.

Jadi totalnya 200 SKS. Lebih banyak dari umumya kuliah S-1 di negeri kita yang umumnya hanya sekitar 150-an SKS.

Lembaga pendidikan sebesar ini dan sebagus ini, ternyata bukan milik pemerintah Indonesia, tetapi milik Saudi Arabia. Hasil dari kesepakatan antara dua pemerintah. Lulusan dari LIPIA ini sekarang banyak yang terjun di dunia dakwah, mulai dari majelis taklim, pesantren, ma'had, penerbitan pers, pegawai negeri, dosen sampai ke kursi DPR.

Detail lebih jauh tentang lembaga ini sebenarnya bisa dibuka di situs mereka, yaitu www.lipia.org, walaupun belum selengkap yang kita harapkan. Banyak link yang mati, nampaknya situs ini tidak diurus dengan benar. Dan berita terkininya hari Rabu, 17-Mei-2006. Berarti sejak dua tahun yang lalu situs ini tidak diurus? Ittaqillah ya Syeikh

Kenapa Hanya Ada Satu LIPIA

Mengingat pentingnya lembaga pendidikan seperti LIPIA, muncul banyak permintaan, kenapa cuma ada satu LIPIA dengan jumlah kursi yang terbatas.

Jawabnya tentu kita kembalikan kepada pemerintah Saudi Arabia. Karena yang punya LIPIA bukan negara kita. Jadi terserah kepada mereka. Mungkin buat negara itu, cukuplah LIPIA satu saja di Indonesia. Sebab negara lain seperti Malaysia pun juga tidak ada LIPIA.

Konon hanya beberapa negara yang beruntung bisa ada kerjasama dengan pemerintah Saudi Arabia. Kalau tidak salah di Jepang (http://www.aii-t.org/e/main/index.htm), Washington, dan ada beberapa negara lagi.

Departemen Agama Membangun LIPIA?

Semoga ke depan model lembaga pendidikan seperti ini bukan hanya LIPIA milik pemerintah Kerajaan Saudi Arabia saja, tapi juga bisa diklonning oleh Departemen Agama RI dari segi kualitas dan integritas dan keseriusannya.

Mungkin ada yang bertanya, memangnya Departemen Agama RI punya duit?

Lho, Departemen Agama RI sangat punya uang berlebih untuk mendirikan lembaga seperti LIPIA. Bahkan sepuluh buah pun bisa dibangunnya. Asalkan duitnya tidak lari ke tempat-tempat yang tidak jelas, seperti yang selama ini terjadi. Pukul kasar saja, bagaimana mungkin seorang mantan Menteri Agama bisa mendekam di dalam hotel prodeo hingga hari ini, kalau bukan karena duit-duit tidak jelas dalam jumlah yang fantastis.

Lalu wajar dong kalau kita berpikir, Itu yang ketahuan, lalu yang tidak ketahuan? Logikanya lebih banyak lagi kan. Kalau semua itu dijalankan oleh orang jujur, kita bisa saja mendirikan universtias yang jauh lebih hebat dan lebih berkualitas dari LIPIA, bukan cuma gedungnya, tapi kualitas kurukulum, kulitas dosen dan kualias lulusannya.

Tapi kalau mau yang lebih fantastis, ada juga universitas yang swasta penuh, namun jauh lebih besar dan lebih punya nama ketimbang LIPIA, yaitu Al-Azhar di Mesir, kampus tempat si Fahri belajar. Suatu ketika nanti coba kita bahas di forum ini tentang the Amazing Al-Azhar. Insya Allah.

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

http://www.eramuslim.com

Friday, February 15, 2008

Trying to keeping the faith...

Assalamu'alaikum,


Beberapa bulan terakhir ini saya seringkali dihadapkan oleh pandangan-pandangan temen-temen lama yang dengan pandangan yang cukup aneh. Bahkan beberapa mungkin ada yang memandang sinis. Tapi saya udah mulai terbiasa dengan kondisi seperti itu. Dan saya memang udah memprediksikan bahwa nantinya pasti akan seperti itu.

Semenjak saya menjalani kehidupan yang baru sekitar 3-4 taun yang lalu, saya udah mengkondisikan diri bahwa nantinya kehidupan sosial saya bakal ngalamin sedikit "benturan" atau mungkin "gesekan" yang saya amat sangat sadar bahwa itulah konsekuensi dari jalan hidup yang akhirnya saya pilih sekarang ini.

Kira-kira 3-4 taun yang lalu saya memutuskan buat off dari "rutinitas" saya. Apalagi sih rutinitasnya kalo bukan buat nyari kesenangan dan kebahagian diri. Yap makna dari dua kata itulah yang selalu saya cari. Saya yakin setiap manusia normal pastilah mau hidup senang dan bahagia. Dan manusia bisa mengeluarkan beribu-ribu bahkan berjuta-juta definisi tentang hidup bahagia. Kalo saya pribadi saat itu pergi ke tempat-tempat keramaian udah bisa bikin saya bahagia, apalagi kalo perginya rame-rame. That would be so much fun.

Tapi ngga tau kenapa, dari sekitar taun 95an sampai taun 2003 saya yang terbiasa dengan itu, tiba-tiba di awal taun 2004 saya ngerasain kebosanan yang amat sangat!. Ya, ngga tau kenapa semua terasa jadi hambar, no salt, no sweet just plain. Misalnya satu saat saya pergi ke suatu acara party, ngga tau kenapa semua kerasa datar. Walaupun saya kenal sama DJnya dan dia dengan senang hati muterin setiap lagu yang saya request, still...datar. Saat itu saya ngerasa, "Ini party di Jakarta kok gak ada perubahan ya? orang-orangnya itu-itu mulu, konsepnya apalagi".

Tiap taun konsep party yang pasti ada itu ngga jauh-jauh dari tema valentine, halloween party, ladies nite, bubble party, single party dan arrrgghh..... Semua itu kerasa jadi monoton buat saya. Pernah ada satu event yang di iklan keliatan sebagai event yang paling spektakuler, ternyata pas saya coba hadir disana tetep aja datar buat saya. Begitu juga dengan kegiatan nongkrong saya sama temen-temen.

Saya ngerasa kelamaan berada di kehidupan seperti itu sehingga saya sampai bisa ngerasa jenuh yang amat sangat. Setelah ngerasa seperti itu, saya coba untuk ngelakuin sesuatu yang belum pernah saya lakuin, Backpacking. Walaupun mungkin kedengerannya simpel, tapi ternyata ngga juga. Saat itu saya cuma berangkat berdua sama mantan supir alm ayah dulu. Si mantan supir itu tinggal di Jepara dan akhirnya jadilah saya ikut dia kesana pindah-pindah bis. Singkat cerita, 10 sudah hari saya berada diluar Jakarta dengan segala keterbatasan dan ritme kehidupan yang sangat berbeda. Banyak pelajaran yang saya dapet dari sana.

Saya pun mulai tertarik baca, sesuatu yang dulu sangat anti baca (kecuali komik Gober). Buku awal yang saya baca adalah bukunya Gola Gong, Balada si Roy. Terus meningkat ke buku-buku tentang agama yang ringan-ringan seperti La Tahzan. Masih dalam rangka mencari definisi kesenangan dan kebahagian, saya terus nyoba menggali dan merangkul pengetahuan apapun yang berserakan untuk nyari jawaban dan definisi itu. Dan saya sadar betul bahwa itu ngga mudah.

Sangat-sangat ngga mudah. Saya harus melalui masa-masa dicurigain kakak saya ikut aliran sesat. Begitu juga dengan temen-temen saya. Waktu itu saya mau bikin pengajian dirumah dan ngundang seorang temen lewat sms, dengan enteng dia jawab, "Pengajian apa nih ? aliran sesat ?". Pernah juga satu ketika saya pergi ke luar kota sama ibu dan kakak saya. Sambil iseng nunggu naik ke pesawat, saya ngeluarin mp3 al Qur'an saya dan mulai ngaji pake earphone. Ngga berapa lama kemudian, kakak saya nyeletuk,

"Ndra, lo kenapa sih ?"

"Kenapa gimana ?"

"Akhir-akhir ini lo aneh kelakuannya"

"He ? aneh gimana ?"

"Iya aneh, setiap hari lo dikamar mulu, keluar paling pas waktu makan aja. Abis shubuh biasanya gak pernah ngaji sekarang jadi ngaji dan banyak lagi deh. Lo ngga ikut aliran sesat kan ?!"

.........Dan saya pun bengong dan hampir menangis dibuatnya sambil berkata dalam hati, "Hey ! I'm just trying to find my way home aight !"

Cobaan-cobaan kaya gitulah yang seringkali saya alami. Nah yang terbaru adalah beberapa hari yang lalu. Saat itu saya ketemu temen lama seorang perempuan di sebuah resepsi dan berusaha nyapa. Dengan gaya bajunya yang bisa dibilang kekurangan bahan, dia pun nyodorin tangannya, tapi saya coba dengan sehalus mungkin untuk ngga nyentuh tangannya dengan gaya bersalaman ala sunda. Dan saya rasa ini bukan hal yang aneh bahkan dalam agama yang saya yakini, seorang laki-laki itu haram menyentuh wanita yang bukan muhrim atau pasangan hidupnya.

The next thing, pandangan dia jadi terlihat sadis huhuhu. Bahkan ketika saya pamit pulang dan saya menyodorkan tangan ala sunda lagi, dia ngga nyambut dan tangannya tetep di posisi biasa...hehehe....does she think i'm weirdo ? Kalau saya mesti dibilang aneh hanya karena saya ingin berusaha menjalankan agama saya dengan baik, go ahead ! keep telling me that i'm a weirdo, and i happy for that.

Saya rasa inilah hasilnya karena saya pengen nyoba sekuat saya untuk mempertahankan prinsip-prinsip dari agama yang saya yakini. Dibilang aneh, dibilang ikut aliran sesat dan sebagainya. Emosi ? oh dulu waktu di awal jelas saya sering emosi setiap kali dibilang seperti itu. Tapi sekarang alhamdulillah suara-suara seperti itu makin menghilang :). Ngga mudah memang dan saya ngga menyesali itu. Bahkan saya merasa tertantang untuk itu. Biarin orang lain mau nganggep saya apa aja, yang penting sekarang saya udah punya prinsip yang insya Allah bakal saya pertahankan sampai ajal menjemput. Mohon doanya selalu.


Wassalamu'alaikum


“Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing
dan akan kembali pula daam keadaan asing,
maka berbahagialah orang-orang dikatakan asing.”

[HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma]



Sunday, February 3, 2008

Bisnis Itu Permainan, Bukan Ilmu Pengetahuan

Rating:★★★★★
Category:Other
Oleh : Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan

Selama kita merasa belum familiar dan takut memulai bisnis, biasanya yang timbul di pikiran kita adalah: “belajar!”. Pilihannya mungkin dengan jalan mengambil program S2 dan jadi seorang MBA, atau ikut sebanyak-banyaknya seminar dan pelatihan, atau bisa juga dengan berguru dan mengabdi pada seorang begawan bisnis.

Kira-kira, sudah selaraskah alur pemikiran yang sedemikian dengan apa yang terjadi pada kenyataannya? Mari kita telaah.

Kebanyakan dari kita berbisnis karena ingin sukses, lalu menjadi kaya raya. Kita membayangkan, betapa enak dan hebatnya bila kita dapat sesukses dan sekaya Bill Gates atau Donald Trump. Menurut pandangan masyarakat pada umumnya, mereka itulah orang-orang sukses yang sebenar-benarnya. Merekalah sosok-sosok pebisnis yang prestasinya membuat banyak orang terobsesi.

Maka tidak heran jika para pakar pun berusaha menyadap dan mempelajari segala hal yang ada pada orang-orang sukses itu, dengan harapan dapat mentransfer nilai-nilai kesuksesannya kepada orang-orang lain yang juga ingin menjadi figur sukses. Mereka berpendapat bahwa: “Leaders are made, not born”.

Selanjutnya, segala sepak terjang yang dilakukan oleh para pebisnis tersebut, dikumpulkan, dipilah-pilah, lalu dianalisis. Dari analisis itu dibuat teori-teori. Hasilnya, muncullah berbagai teori kesuksesan yang terkemas dalam materi-materi “ilmu bisnis”, wacana profesionalisme, ilmu kepemimpinan (leadership), dan lain sebagainya.

Orang-orang awam memang ingin sekali menemukan cara-cara yang bisa membantu mereka untuk secara cepat mencapai kesuksesan. Semacam rel kereta yang tinggal diikuti saja akan mengantar orang tiba di gerbang kejayaan.

Namun demikian, apa benar kalau kita ingin menjadi figur sukses -- lebih spesifiknya pebisnis sukses -- harus menempuh perjalanan yang sarat dengan teori-teori kesuksesan seperti itu?

Dari berbagai catatan yang ada, tampaknya tidak demikian. Banyak sepak-terjang yang dilakukan oleh para pemimpin bisnis dunia tidak mencerminkan bahwa kesuksesan mereka disebabkan pembelajaran yang sungguh-sungguh dalam ilmu bisnis, profesionalisme dan teori kepemimpinan. Tidak juga pengetahuan ekonomi, teori-teori tentang kebebasan finansial, ilmu marketing dan lain sebagainya. Pun, tidak karena mereka rajin mengikuti seminar kesuksesan atau lokakarya tentang strategi bisnis.

Di lain pihak, banyak pemimpin bisnis ternyata merupakan orang-orang yang justru tidak suka belajar, malas sekolah, dan hanya ingin bermain-main saja. Boro-boro ikut seminar atau lokakarya. Lho kok bisa?

Ada beberapa contoh kasus. Yang pertama, Thomas Alva Edison. Nama ini sudah kita tahu sejak di bangku SD bukan? Namun, tentunya kita kenal Edison lebih sebagai tokoh ilmu pengetahuan, karena sekolah memfokuskan ajaran hanya pada penemuan atas lampu pijar dan berbagai temuan teknis lain yang dilakukannya.

Maka jarang kita memperhatikan bahwa sesungguhnya Thomas Alva Edison adalah juga seorang pengusaha besar yang sukses. Ia adalah pemilik dan pendiri berbagai perusahaan dengan nama-nama seperti Lansden Co. (mobil/otomotif), Battery Supplies Co. (baterai), Edison Manufacturing Co. (baterai dsb), Edison Portland Cement Co. (semen dan beton), North Jersey Paint Co. (cat), Edison General Electric Co. (alat listrik dll), dan banyak lainnya. Salah satu yang masih berjaya sampai sekarang adalah General Electric.

Apakah untuk mencapai itu semua Edison harus bersusah-payah mengikuti berbagai sekolah dan pendidikan tinggi? Atau mengikuti seminar kelas dunia yang diselenggarakan oleh para pakar kesuksesan, pakar bisnis atau pakar financial freedom? Ternyata tidak. Figur Edison adalah figur pemalas yang hanya tahan 3 minggu bersekolah. Ia lebih suka bermain-main dengan perkakas, dengan kawat dan dengan listrik. Itu kesenangannya dan dengan itu ia sukses.

Contoh lain adalah Kenji Eno. Ia juga tidak suka sekolah. Ia cuma suka bermain-main dengan permainan, istimewanya dengan video games. Kelas 2 SMA berhenti sekolah terus nganggur. Lalu dapat kerja di perusahaan perangkat lunak, sampai akhirnya ia berhasil mendirikan perusahaan perangkat lunaknya sendiri yang dinamakan WARP. Dalam tempo beberapa tahun saja Kenji Eno mampu membawa perusahaannya menjadi perusahaan video games terhebat di dunia yang diakui oleh tokoh-tokoh industri.

Fenomena-fenomena yang dibuat oleh orang-orang semacam Edison dan Kenji Eno ini memberi kesan kepada kita semua bahwa bisnis itu sebenarnya lebih dekat kepada sebuah permainan, dan terlalu jauh untuk diperlakukan sebagai sebuah ilmu pengetahuan.

Gede Prama yang dikenal sebagai pakar manajemen (bahkan dijuluki Stephen Covey Indonesia), mengomentari fenomena Kenji Eno sebagai kesuksesan dari kebebasan berfikir yang mampu melompat, karena belum terkena polusi-polusi yang dibuat sekolah.

Menurut saya, adalah keliru mempelajari fenomena pemimpin, untuk menciptakan pemimpin. Demikian juga, keliru mempelajari fenomena pebisnis sukses, untuk mencetak pebisnis sukses. Sebab, fenomena pemimpin (atau pebisnis) adalah fenomena manusia, yang tidak sama dengan fenomena alam. Kalau Isaac Newton mempelajari peristiwa jatuhnya buah apel ke tanah (fenomena alam) dan kemudian menemukan hukum gavitasi, maka itu oke-oke saja. Karena fenomena alam tidak berubah, hukum gravitasi pun akan tetap abadi.

Akan tetapi, mempelajari fenomena manusia pasti akan menimbulkan frustrasi. Sebab, manusia merupakan mesin perubahan, sehingga tidak akan ada fenomena manusia yang tinggal tetap abadi sepanjang masa, berlawanan dengan yang kita lihat pada peristiwa jatuhnya buah apel.
Pemimpin, dalam bidang apa pun termasuk bisnis, adalah sosok manusia yang bebas, yang bertindak semaunya tanpa memperhatikan teori mau pun kaidah, sehingga nyaris percuma kalau kita ingin mempelajari dan mengikuti jejak sepak terjangnya.

Coba lihat, pada saat terjadinya resesi ekonomi dunia tahun 1929, semua orang berdasarkan teori-teori yang ada, berusaha untuk berlaku sehemat mungkin. Tapi sebaliknya, Matsushita si raja elektrik dari Jepang malah royal mengeluarkan uang. Seakan uang itu tidak lebih dari mainan saja layaknya. Meski pun bukan tanpa alasan dia berlaku demikian.

Lihat juga Kim Woo Chong, pendiri imperium Daewoo. Ketika semua pengusaha (juga dengan teori-teori yang ada) berkonsentrasi memasuki pasar negara-negara kaya semacam Amerika dan Eropa, ia malah dengan santainya masuk ke pasar-pasar “keras” seperti Iran, Sudan dan Rusia serta negara-negara blok timur.

“Kesia-siaan” mempelajari dan berusaha mengikuti sepak terjang para pemimpin bisnis bisa dirasakan secara langsung di lapangan. Saat pertama kali Harvard Business Review mempublikasikan konsep pemasaran yang beken dengan “Marketing Mix” 4P (product, price, place dan promotion), nyaris semua pengusaha serta pakar bisnis menganut konsep ini secara fanatik. Begitu juga dengan perguruan-perguruan tinggi dan sekolah manajemen.

Tapi, tidak terlalu lama, sebagai akibat “ulah” para pemimpin bisnis yang gemar bermain-main, perubahan tren perekonomian dan industri memaksa para pakar dan pembelajar merubah lagi konsepnya dengan 6P, 8P bahkan yang terakhir disebutkan sebagai 12P.

Terus bagaimana? Kalau kita harus bersiaga setiap saat untuk belajar dan tidak ketinggalan zaman dengan ilmu marketing, kapan kita berbisnis?

Saya rasa kita semua banyak yang terjebak dan hanyut dalam “arus ilmu pengetahuan” yang dibuat oleh mereka yang “pakar ilmu pengetahuan”, sehingga kita tidak sempat lagi berinovasi yang justru merupakan kunci sukses bisnis. Kita malah terus menerus “dipaksa” mengejar ketinggalan ilmu pengetahuan tanpa tahu di mana ujung pangkalnya.

Pertanyaannya: ”Sebenarnya kita mau jadi pebisnis atau mau jadi ilmuwan sih?”

Saya sendiri yakin bahwa bisnis dan kesuksesan itu adalah semacam permainan saja. Seperti apa yang dikatakan oleh William Cohen dalam tulisannya “The Art Of The Leader” : “Success is acquired by playing hard, not by working hard..”.

Mengacu pada obsesi banyak orang tentang Bill Gates dan Donald Trump sebagaimana disebut di atas, perlu diketahui bahwa kedua orang tokoh ini pun mencapai sukses dari kesenangannya bermain-main.

Bill Gates sejak masih berusia 13 tahun sudah bermain-main dengan perangkat lunak komputer, dan dengan itu ia menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Donald Trump juga sejak kecil selalu bermain-main ke kantor ayahnya, Fred Trump. Dia suka sekali melihat-lihat maket gedung dan pencakar langit, sebelum tertarik dengan bidang bisnis sang ayah, yaitu properti. Dan jadilah Donald Trump seorang Raja Properti.

Terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, orang yang mempelajari ilmu kepemimpinan tidak akan menjadi pemimpin. Tapi, orang yang mencoba menjadi pemimpin, akan menjadi pemimpin. Demikian juga, orang yang mempelajari ilmu bisnis, tidak akan menjadi pebisnis. Tapi, orang yang mencoba menjadi pebisnis, akan menjadi pebisnis.


Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: +62 21 816.144.2792
http://rusmanhakim.blogspot.com/2006/12/bisnis-itu-permainan-bukan-ilmu.html