Rating: | ★★★★★ |
Category: | Other |
Oleh: Adian Husaini *)
Pada Hari Kamis (16/3/2006), seorang Ustad dari Persatuan Islam (Persis) datang ke rumah saya membawa sejumlah makalah dan majalah yang sangat mengagetkan. Betapa tidak? Makalah-makalah itu merupakan tulisan sejumlah tokoh liberal di Indonesia yang diberikan dalam acara pelatihan “Penguatan Pemahaman Keagamaan dan Keberagamaan di Kalangan Tokoh Pesantren BKSPPI di Jawa Barat” yang diselenggarakan oleh International Center for Islam and Pluralism (ICIP) di Pesantren Darul Muttaqien, Parung, 1 Maret 2006. Sedangkan Majalah yang dibawa itu bernama Al-WASATHIYYAH.
Majalah ini cukup mewah. Baru terbit pertama kali. Judul sampulnya adalah ‘BELAJAR MULTIKULTURALISME DARI PESANTREN’.
Yang membuat mata terbelalak adalah bahwasanya majalah ini diterbitkan atas kerjasama international Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI). Tokoh-tokoh dari kedua lembaga itu selama ini dikenal oleh umat Islamsebagai pihak yang sangat berseberangan dalam pemikiran Islam.
ICIP yang dipimpin oleh Dr. M. Syafii Anwar adalah lembaga yang selama ini dikenal gigih menentang fatwa MUI tentang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama (sipilis). Sementara tokoh-tokoh BKSPPI (seperti KH Kholil Ridwan, KH Didin Hafidudin, dan sebagainya) adalah pendukung-pendukung gigih fatwa MUI tersebut. Sejak duduk di bangku kuliah di IPB, saya mengenal tokoh-tokoh BKSPPI, terutama KH Shaleh Iskandar (alm), KH Tubagus Hasan Basri dan sebagainya, sebagai sosok yang gigih mengawal aqidah umat dan memperjuangkan aspirasi Islam.
Tetapi, di majalah Al-Wasathiyyah ini Syafii Anwar duduk sebagai penanggung jawab. Jajaran pimpinan lainnya adalah: Syafiq Hasyim (Pemimpin Umum), A. Eby Hara (Pemimpin Redaksi), Farinia Fianto (Wakil Pemimpin Redaksi), Ahmad Fuad Fanani (Redaktur Pelaksana). Di jajaran Redaktur Ahli, duduk KH Husein Muhammad, KH Muhyidin Abdussomad, KH Didi Hilman dan Alpha Amirrachman.
Dalam jajaran tokoh liberal- pluralis di Indonesia, nama Syafii Anwar sudah sangat masyhur. Dia termasuk penentang utama fatwa MUI tentang ‘sipilis’ dan kesesatan Ahmadiyah. Sebagai contoh, pada 29 Juli 2005, Syafii ikut dalam kelompok ‘Aliansi Masyarakat Madani’, yang menyatakan keprihatinan atas larangan dan tudingan sesat terhadap Ahmadiyah. Selain Syafii Anwar, hadir dalam forum itu Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, Johan Effendi (Indonesian Conference Religion and Peace-ICRP), Pangeran Jatikusuma (Penghayat Sunda Wiwitan), Romo Edi (Konferensi Wali Gereja Indonesia-KWI), Pdt Weinata Sairin (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia-PGI). Hadir juga tokoh agama Kong Hu Cu, Anand Krishna, para aktivis Jaringan Islam Liberal. Acara itu juga dihadiri wakil dari anggota Ahmadiyah, YH Lamardi yang mengaku tidak bisa melakukan apa pun kecuali hanya diam.
Bersama para cukong dari LSM-LSM asing seperti The Asia Foundation dan sejenisnya, Syafii juga rajin menggelar acara diskusi dan seminar tentang Pluralisme Agama. Dalam seminar di Jakarta Media Center, 29 November 2005, yang mengambil tema “Masa Depan Pluralisme di Indonesia”, Syafii Anwar, menggunakan istilah Gerakan Salafi Radikal untuk menyebut kelompok-kelompok Islam seperti MMI, Hizbut Tahrir, Laskar Hizbullah, Laskar Jundullah, Darul Islam, Laskar Jihad, Ikhwanul Muslimin, Hammas, dan sebagainya. Frase “dan sebagainya” menunjukkan, bahwa cap Islam radikal bisa dilebarkan kepada organisasi Islam apa saja yang tidak mau menerima paham Pluralisme Agama.
Dalam makalahnya yang berjudul “The State, Shari’a and The Challenge of Pluralism in Post Suharto Indonesia”, Syafii menulis empat kriteria gerakan Salafi Radikal, yaitu (1) cenderung memperjuangkan ‘peradaban Islam tekstual’, (2) memperjuangkan formalisasi syariat Islam pada semua aspek kehidupan, (3) cenderung memperjuangkan agenda anti-pluralisme, (4) memiliki persepsi yang keliru tentang jihad, (5) memiliki kepercayaan yang kuat tentang teori konspirasi dan muslim adalah korban konspirasi Yahudi, Kristen, dan Barat.
Syafii menulis, “Considering the fact that emergence of RSM (Radical Salafi Movement) groups and heir actions has created serious problem to the Indonesian Society, a group of young muslim intellectuals established the so-called JIL (Jaringan Islam Liberal).” Syafii mengistilahkan kelompok-kelompok yang memperjuangkan Islam Liberal di Indonesia sebagai Progressive-Liberal Islam (PLI), seperti Paramadina, LkiS, P3M, Lakpesdam NU, Jaringan intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dimana Syafii sebagai Direkturnya, dan sebagainya.
Ia dengan tegas menulis, bahwa setelah era Soeharto, maka yang terjadi adalah pertarungan antara RSM dan PLI. Pada akhir makalahnya, ia menulis: ‘’Although I am still optimist with the future of Islam in Indonesia, it is important to state here that the Indonesian government has to protect the Indonesian Muslims from the threat of religious conservatism and radicalism.”
Jadi, dalam hal ini, posisi Syafii dan ICIP sudah sangat begitu jelas di mana dia berada dalam percaturan pemikiran di Indonesia. Dia jelas-jelas agen, aktor, dan pelaku intelektual penyebaran paham pluralisme agama di Indonesia, dengan dukungan penuh LSM-LSM asing. Dengan menjual ‘isu radikalisme’ Islam, Syafii berhasil meraup dana milyaran dari cukong-cukong asing tersebut, eskipun hal itu harus disertai dengan meruntuhkan aqidah dan syariat Islam melalui penyebaran paham Pluralisme Agama, yang jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena menerima kebenaran semua agama. (Uraian serius tentang paham ini, bisa dilihat, misalnya, buku Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama (Jakarta:GIP, 2005).
Pluralisme Agama memang sebuah ‘agama baru’ yang berpotensi sebagai senjata pemusnah massal agama-agama, sehingga pada tahun 2000, Paus Yohanes Paulus II juga mengeluarkan dekrit ‘Dominus Jesus’ yang menentang paham ini. Sebuah buku yang sangat tebal dan serius dalam memberikan kritik terhadap paham ini juga sudah ditulis oleh seorang pendeta Dr. Stevri Indra Lumintang berjudul “Theologia Abu-Abu” (Malang: Gandum Mas, 2004). Menurut Stevri, "Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme sedang menawarkan agama baru...’’ (hal. 18-19).
Dicatat dalam buku ini, bahwa Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis. Karena teologi yang mereka bangun merupakan integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat dan budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itu pun dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abu-abu, yaitu teologi bukan hitam, bukan juga putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salah satu agama yang ada di dunia ini…
Namun teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.
Sedangkan MUI dalam fatwanya juga menjelaskan: “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.”
Karena itu, tegas fatwa MUI: “paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme agama adalah bertentangan dengan ajaran Islam dan haram bagi umat Islam untuk mengikutinya.”
Entah bagaimana, paham yang jelas-jelas sangat destruktif bagi semua agama ini malah disebarkanluaskan ke pesantren-pesantren. Ironisnya, BKSPPI yang menaungi ribuan pesantren di Indonesia dan harusnya menjadi pelindung aqidah umat, justru menjalin kerjasama dengan lembaga dan tokoh-tokoh yang jelas-jelas selama ini aktif dalam melakukan penghancuran terhadap aqidah dan syariah Islam.
Lembaga ICIP juga aktif menyebarkan pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd di Indonesia. Tahun 2004, ICIP menerjemahkan dan menerbitkan buku Nasr Hamid dengan judul “Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan”. Nasr Hamid dikenal dengan pendapatnya bahwa al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi).
Dalam pengantar buku terbitan ICIP itu, redaksi ICIP menulis pendapat Nasr Hamid tentang Al-Quran, bahwa menurut Nasr Hamid, Al-Quran diwahyukan kepada Muhammad dan memasuki ruang sejarah dan ia menjadi subyek untuk aturan-aturan (qawanin) dan hukum-hukum sosiologis dan historis. Di sinilah kemudian Al-Quran menjadi terhumanisasi (muta’annas), mengejewantahkan elemen-elemen, ideologis, politis, kultural yang partikular dari masyarakat Arab abad 7 M...
Abu Zayd percaya bahwa Al-Quran itu dibentuk oleh situasi sosial, sebuah ruang kontestasi ideologis dalam mana subyek-subyek bebas (individu, roup, dan klas), berebut satu sama lainnya untuk tujuan politik dan ekonomi. Brangkat dari sini, pemahaman yang benar terhadap Al-Quran menurutnya adalah dengan cara mensituasikannya di dalam sebuah konteks dominasi Quraisy.’’ (hal. viii-ix).
Nasr Hamid Abu Zayd menulis buku Al Imam al-Syafii: wa ta’sis al-Idulujiyah al-Wasithiyah, yang menyerang habis-habisan Imam al-Syafii. Buku ini banyak dikutip para penyerang al-Quran dan Imam Syafii di Indonesia.
Karena berbagai pendapatnya yang ‘membongkar’ hal-hal yang mendasar dalam Islam, pada 14 Juni 1995, Mahkamah al-Isti'naf Kairo menyatakan Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad. Sementara itu, Front Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2.000 orang, meminta pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat atau --kalau yang bersangkutan tidak mau-- ia harus dikenakan hukuman mati. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama: Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan.
Sebenarnya, secara ilmiah, berbagai kelemahan pendapat Nasr Hamid juga sangat mudah dibuktikan. Sayangnya, banyak kalangan liberal yang memuja Nasr Hamid tanpa kritis. Pendapat-pendapatnya dikutip hanya untuk melegitimasi hawa nafsu untuk mendekonstruksi
Al-Quran.
Menyimak kiprah ICIP yang aktif menyebarkan paham-paham destruktif terhadap aqidah Islam, sebenarnya terlalu jelas untuk melihat, dimana sebenarnya posisinya berada. Sangat aneh jika ICIP yang berideologi liberal, penyebar paham syirik modern (Pluralisme Agama) justru berambisi untuk memaksakan pendapatnya ke pondok-pondok pesantren. Namun, semua itu bisa dipahami dari sisi kepentingan bersama antara lembaga seperti ICIP dengan para cukong yang saat ini sangat aktif ingin mengubah Islam –bukan hanya umat Islam. Dalam istilah David E. Kaplan: “Washington is plowing tens of millions of dollars into a campaign to influence not only Muslim societies but Islam itself.” (David E. Kaplan, Hearts, Minds, and Dollars, www.usnews.com, 4-25-2005).
Jadi, saat ini, AS dan sekutunya memang sedang berusaha keras untuk –bukan hanya mengubah umat Islam– tetapi juga mengubah Islam itu sendiri. Jika kita melongok website www.asiafoundation.org (sampai 24 Maret 2006) masih terpampang judul pembuka website:
REFORMASI PENDIDIKAN DAN ISLAM DI INDONESIA.
Bagus sekali tulisan Mas Adian ini. Begitu jelas dan gamblang. Thank you Indra atas dimuatnya di sini.
ReplyDeleteistri gue kuliahnya di sebi , puyanya pak didin , disana bagus kok , kok bisa ya pak didin kerjasama ama orang JIL ? apa mungkin pak didin gak tahu ya ??
ReplyDeleteterima kasih atas informasinya.. tapi saya tertarik dengan kelemahan hermeneutika iut sendiri..dapantkan mas indra memberikan saya referensi.. buku apa yang perlu dibaca.. maaf sekarang saya lagi ga berada di Indonesia.... mungkin website lebih baik...
ReplyDeleteAlhamdulillah, semoga bermanfaat untuk semakin membuka mata kita. Thank you juga mas atas friend requestnya.
ReplyDeleteSebi itu apa ya ? pak Didin ini maksudnya Didin Hafidhudin ? kalau iya, sepertinya beliau memang ngga tahu kali ya. Yang pasti perlu di re-check lagi kebenaran beritanya
ReplyDeleteBagaimana kalau saya upload file dalam bentuk mp3 ? atau video clip tentang Hermenutika ini ? kira-kira apa anda disana bisa mendownloadnya ?
ReplyDeleteTulisan ini bersifat subyektif pengarang bisa jadi kalau dicek kepada Pak Didin, ya.. tidak mengaku.. karena ini bahasa tulisan, kemudahan untuk penggolongan saja.. tulisan ini hanya opini pengarang, itu bahasaku.
ReplyDeleteApakah tidak mungkin tokoh-tokoh BKSPPI (seperti KH Kholil Ridwan, KH Didin Hafidudin, dan sebagainya) bermaksud untuk merangkul kembali International Center for Islam and Pluralism (ICIP) agar kembali kepada Islam yang murni? mudah2an, kita berbaik sangka saja deh.
ReplyDeleteTanggapan dari KH A Cholil Ridwan di Republika.co.id
ReplyDeleteAssalaamualaikum Wr Wb
Alhamdulillah setelah saya menerima pertanyaan SMS dan telepon tentang "workshop" yang diadakan oleh BKsPPI di sebuah pesantren di Parung yang nara sumbernya kebanyakan dari group liberalis pluralis terutama dari ICIP dan menerima pertanyaan tentang majalah Al-Wasathiyyah yang diterbitkan oleh ICIP (International Center For Islam and Pluralism) bekerja sama dengan BKsPPI (Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia), dan setelah membaca makalah oleh Adian Husaini (Ketua Dewan Da'wah Indonesia) berjudul; "Paham Syirik Modern Serbu Pesantren di Jawa Barat, saya yang tidak tahu sama sekali tentang kegiatan tersebut langsung saya menduga bahwa ini sebuah kecelakaan. Ini bencana yang sedang menimpa organisasi BKsPPI dan sangat berbahaya bagi ketahanan aqidah umat.
Anehnya saya, ketua Presidium Majlis Pimpinan BKsPPI sampai sekarang tidak pernah diberikan nomor perdana majalah tersebut. Da ketika ditanyakan ke kantor BKsPPI, majalah yang sudah beredar itu selembarpun tidak ada disana.
Alhamdulillah KH Didin Hafiduddin sebagai ketua Presidium MP BKsPPI telah mengadakan rapat yang dihadiri oleh pengurus BKsPPI termasuk Ketua Bapel KH Moh Amin Nur dan KH Wahyuddin dari Solo dan KH Dadun Abdul Qohar dari Cibadak Sukabumi sebagai majelis pimpinan, pada hari Rabu 22 Shafar 1427 yang lalu di Jl Kasintu No 4 Bogor. Rapat menghasilkan keputusan penting yang maksudnya sebagai berikut; Menutuskan semua kerja sama antar BKSPPI dengan ICIP yang executive directornya M Syafi'i Anwar dan membatalkan kerja sama menerbitkan Majalah Al-Wasathiyah. Dan juga menghentikan kegiatan lomba pidato Bahasa Inggris antarpesantren yang dibiayai Asia Foundation. Untuk selanjutnya BKsPPI tidak bertanggung jawab apabila majalah tersebut masih terbit.
Kepada Umat Islam saya meminta dengan serius agar merapatkan barisan dan jangan mudah terbius oleh dzukhrufalqoul dari kalangan munafiqin yang mengasong-asongkan dagangan berupa syirik modern dalam bentuk faham atau aliran yang sudah diharamkan oleh MUI pada Munas 2005. Dan khususnya kalangan pondok Pesantren dan organisasi pondok pesantren agar mewaspadai jangan-jangan ada infiltran yang sengaja disusupkan di lingkungan masing-masing.
Adapun alasan yang berpijak pada pendapat Bapak Amidan Ketua MUI, saya sudah konfirmasi. Dan beliau menegaskan bahwa beliau tidak pernah mengatakan 'pluralisme Syafi'i Anwar bukan pluralisme yang diharamkan oleh MUI'. Kalau tidak, Pondok Pesantren akan terus dijadikan objek garapan untuk dimasukan dalam proyek proposal oleh LSM-LSM kaki tangan Barat yang anti-Islam atau yang sejenis agar dana dari bossnya di Amerika, Eropa atau Australia bisa turun dan cair. Allahumma ihdinashshirotol mustaqim wainnaa nasaluka salaamatan fiddin. Terima kasih tidak terhingga untuk redaksi yang telah memuat surat saya ini.
Wassalaam,
KH A Cholil Ridwan
Ketua MUI Pusat
saya kenal secara pribadi dan dekat dgn Pak Didin Hafiduddin... saya rasa gak mungkin beliau berafiliasi dgn yg kayak gini...
ReplyDeleteSebagai orang yang jarang mempelajari agama-agama, ternyata persaingan di antara aliran2 dalam Islam sendiri seperti itu, serem banget. Kalau hemat saya sih, lebih baik kita saling menghormati saja pendapat orang lain. Biarkan saja JIL berkembang, biarkan pula tarbiyah berdakwah. Sebuah cita-cita tidak bisa mati, sekalipun yang punya cita-cita sudah mati.
ReplyDeleteSaya suka membaca tulisan-tulisannya. Terus terang saya awam tentang dinamika di negara kita. Tapi... saya pribadi ingin merapatkan barisan untuk memerangi kaum munafiqun yang notabene lebih berbahaya dari musuh yang nyata.
ReplyDeleteterimakasih atas infonya, saya mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Da'wah (STID) Moh. Natsir, sedang menyelesaikan Tugas Akhir dengan Topik "RESPON BKSPPI TERHADAP ISSUE SEKULARISME, PLURALISME, LIBERALISME (SPILIS) DI PONDOK PESANTREN" Mohon saran dan masukannya ya........
ReplyDeleteSalam kepada ikhwah fillah semua alumni attaqwa, semoga kita semua dikuatkan oleh Allah sehingga kita dalam ketetapan sebagai kader umat yang berjuang demi izzah Islam wal Muslimin. Fajri Tanjung alumni 2003, 08999974907
laaaula walaa quwwata illabillah, memang sekarang ummat islam sudah seperti memegang bara api dalam genggaman, hati-hatilah kawan muslim sekalian, ternyata orang munafik itu lebih berbahaya dari orang kafir, terima kasih atas dimuatnya artikel ini bang!
ReplyDelete