Saturday, January 12, 2008

Tingkatan dan Jenis Hadits

Rating:★★★★★
Category:Other

Assalamu'alaykum wrwb

Pak ust sarwat, saya adalah pembaca setia Eramuslim sejak lama, khususnya untuk rubrik Ustadz Menjawab. Saya sangat terkesan dengan jawaban-jawaban ustadz yang sangat berimbang dari sisi penyajiannya, terutama menyangkut dengan pertanyaan seputar khilafiyah.

Sementara banyak kita lihat ustadz-ustadz lain yang cendrung menjelaskan menurut pendapat ulama atau kelompoknya saja, tanpa mau melihat pendapat ulama lainnya.

Selamat buat ustadz, semoga dakwah Anda melalui situs initetap terus exist dan diberkahi Allah, amin.

Pertanyaan saya adalah mohon pak ustd jelaskan dan urutkan tingkatan dan jenis-jenis hadist yang ada.

Terimakasih atas perhatiannya

Wassalamu'alaikum wrwb

Abu Kahans

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Terima kasih atas dukungan moril dari anda sebagai pembaca setia Eramuslim dan penghargaan kepada kami. Tentu saja apa yang bisa kami sajikan bukan berarti selalu yang terbaik, sebab di sana sini tentu masih banyak kekurangan dan kelemahan.

Tentang permintaan Anda masalah pembagian hadits, sebenarnya para ulama hadits memang telah membagi-bagi hadits berdasarkan banyak kriteria. Ada yang berdasarkan jumlah perawi, ada juga yang berdasarkan kekuatan dan kelemahan periwayatan. Dan masih banyak kriteria pembagian lainnya.

Tapi yang paling terkait dengan pertanyaan anda barangkali adalah pembagian hadits berdasarkan kekuatan dan kelemahan periwayatanya. Maka izinkanlah kami sedikit terangkan masalah ini secara singkat dan sederhana.

Klasifikasi Hadits berdasarkan pada Kuat Lemahnya Berita

Berdasarkan pada kuat lemahnya hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu hadits maqbul (diterima) dan mardud (tertolak). Hadits yang diterima terbagi menjadi dua, yaitu hadits yang shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan dhaif.

1. Hadits Yang Diterima (Maqbul)

Hadits yang diterima dibagi menjadi 2 (dua):

1. 1. Hadits Shahih

1. 1. 1. Definisi:

Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang dimaksud dengan hadits shahih adalah adalah:

Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.

Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi hadits shahih itu adalah:

Hadits yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran.

1. 1. 2. Syarat-Syarat Hadits Shahih:

Untuk bisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteria berikut ini:

  • Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’
  • Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya
  • Sanadnya tiada putus (bersambung-sambung) artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari yang memberi hadits.
  • Hadits itu tidak ber’illat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits)
  • Tidak janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya.

1. 2. Hadits Hasan

1.2.1. Definisi

Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkansecara istilah, para ulama mempunyai pendapat tersendiri seperti yang disebutkan berikut ini:

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang definisi hadits Hasan:

Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil (bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan.

At-Tirmizy dalam Al-Ilal menyebutkan tentang pengertian hadits hasan:

Hadits yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang tertuduh dusta dan diriwayatkan seperti itu dalam banyak jalan.

Al-Khattabi menyebutkan tentang pengertian hadits hasan:

Hadits yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para perawinya.

Yang dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di mana dia meriwayatkan hadits itu. Seperti Qatadah buat penduduk Bashrah, Abu Ishaq as-Suba'i dalam kalangan ulama Kufah dan Atha' bagi penduduk kalangan Makkah.

Jumhur ulama: Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan matannya.

Maka bisa disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.

1.2.2. Klasifikasi Hadits Hasan

Hasan Lidzatih

Yaitu hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits yang bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz dan illat.

Di antara contoh hadits ini adalah:

لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة

Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi setiap waktu shalat

Hadits Hasan lighairih

Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif (lemah), namun karena ada ada mu'adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada 'Adhid, maka kedudukannya dhaif.

Di antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi SAW membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang sandal:

أرضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت: نعم، فأجاز "Apakah kamu rela menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya sepasang sandal ini?" Perempuan itu menjawab, "Ya." Maka nabi SAW pun membolehkannya.

Hadits ini asalnya dhaif (lemah), karena diriwayatkan oleh Turmuzy dari 'Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti mengatakan bahwa 'Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya. Namun karena ada jalur lain yang lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi hasan li ghairihi.

Kedudukan Hadits Hasan adalah berdasarkan tinggi rendahnya ketsiqahan dan keadilan para rawinya, yang paling tinggi kedudukannya ialah yang bersanad ahsanu’l-asanid.

Hadits Shahih dan Hadits Hasan ini diterima oleh para ulama untuk menetapkan hukum (Hadits Makbul).

Hadits Hasan Naik Derajat Menjadi Shahih

Bila sebuah hadits hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang lain yang kuat keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang terdapat pada sanad pertama, yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada sanad yang lain yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain.

* * *

2. Hadits Mardud (Tertolak)

Setelah kita bicara hadits maqbul yang di dalamnya adahadits shahih dan hasan, sekarang kita bicara tentang kelompok yang kedua, yaitu hadits yang tertolak.

Hadits yang tertolak adalah hadits yang dhaif dan juga hadits palsu. Sebenarnya hadits palsu bukan termasuk hadits, hanya sebagian orang yang bodoh dan awam yang memasukkannya ke dalam hadits. Sedangkan hadits dhaif memang benar sebuah hadits, hanya saja karena satu sebab tertentu, hadis dhaif menjadi tertolak untuk dijadikan landasan aqidah dan syariah.

2.1 Definisi:

Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan.

Hadits Dhaif merupakan hadits Mardud yaitu hadits yang tidak diterima oleh para ulama hadits untuk dijadikan dasar hukum.

2.2. Penyebab Tertolak

Ada beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya Hadits Dhaif, yaitu:

2.2.1 Adanya Kekurangan pada Perawinya

Baik tentang keadilan maupun hafalannya, misalnya karena:

  • Dusta (hadits maudlu)
  • Tertuduh dusta (hadits matruk)
  • Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal
  • Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal
  • Menyalahi riwayat orang kepercayaan
  • Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)
  • Penganut Bid’ah (hadits mardud)
  • Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)

2.2.2. Karena Sanadnya Tidak Bersambung

  • Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq
  • Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal
  • Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal
  • Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’

2. 2. 3. Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah

Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’

Oleh karenanya para ulama melarang menyampaikan hadits dhaif tanpa menjelaskan sanadnya. Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya

2.3. Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif

Segenap ulama sepakat bahwa hadits yang lemah sanadnya (dhaif) untuk masalah aqidah dan hukum halal dan haram adalah terlarang. Demikian juga dengan hukum jual beli, hukum akad nikah, hukum thalaq dan lain-lain.

Tetapi mereka berselisih faham tentang mempergunakan hadits dha'if untuk menerangkan keutamaan amal, yang sering diistilahkan dengan fadhailul a'mal, yaitu untuk targhib atau memberi semangat menggembirakan pelakunya atau tarhib (menakutkan pelanggarnya).

Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha'if tidak bisa digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya lemah.

Ketegasan sikap kalangan ini berangkat dari karakter dan peran mereka sebagai orang-orang yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim memang menjadi maskot masalah keshahihan suatu riwayat hadits. Kitab shahih karya mereka masing-masing adalah kitab tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka bumi setelah Al-Quran Al-Kariem.

Senjata utama mereka yang paling sering dinampakkan adalah hadits dari Rasulullah SAW:

Siapa yang menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa hadits itu bukan haditsku, maka orang itu salah seorang pendusta. (HR Bukhari Muslim)

Sedangkan Al-Imam An-Nawawi rahimahulah di dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa para ulama hadits dan para fuqaha membolehkan kita mempergunakan hadits yang dhaif untuk memberikan targhib atau tarhib dalam beramal, selama hadits itu belum sampai kepada derajat maudhu' (palsu).

Namun pernyataan beliau ini seringkali dipahami secara salah kaprah. Banyak yang menyangka bahwa maksud pernyataan Imam An-Nawawi itu membolehkan kita memakai hadits dhaif untuk menetapkan suatu amal yang hukumnya sunnah.

Padahal yang benar adalah masalah keutamaan suatu amal ibadah. Jadi kita tetap tidak boleh menetapkan sebuah ibadah yang bersifat sunnah hanya dengan menggunakan hadits yang dhaif, melainkan kita boleh menggunakan hadits dha'if untuk menggambarkan bahwa suatu amal itu berpahala besar.

Sedangkan setiap amal sunnah, tetap harus didasari dengan hadits yang kuat.

Lagi pula, kalau pun sebuah hadits itu boleh digunakan untuk memberi semangat dalam beramal, maka ada beberapa syarat yang juga harus terpenuhi, antara lain:

  1. Derajat kelemahan hadits itu tidak terlalu parah. Perawi yang telah dicap sebagai pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta atau yang terlalu sering keliru, maka haditsnya tidak bisa dipakai. Sebab derajat haditsnya sudah sangat parah kelemahannya.
  2. Perbuatan amal itu masih termasuk di bawah suatu dasar yang umum. Sedangkan sebuah amal yang tidak punya dasar sama sekali tidak boleh dilakkan hanya berdasarkan hadits yang lemah.
  3. Ketika seseorang mengamalkan sebuah amalan yang disemangati dengan hadits lemah, tidak boleh diyakini bahwa semangat itu datangnya dari nabi SAW. Agar kita terhindar dari menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW sementara beliau tidak pernah menyatakan hal itu.

Demikian sekelumit informasi singkat tentang pembagian hadits, dilihat dari sudut apakah hadits itu bisa diterima ataukah hadits itu tertolak.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc


Tuesday, January 8, 2008

Dikangenin

Assalamu'alaikum,

Anda pasti pernah merasakan rindu kepada seseorang. Entah itu ibu, ayah, kakak dan orang-orang tersayang lainnya. Nah pernahkah ketika anda sedang berada di suatu tempat dan perasaan anda biasa-biasa saja saat itu tapi tiba-tiba bisa langsung rindu berat kepada orang yang anda cintai itu. Saya pernah. Ini bukan tulisan yang penting banget sih, saya cuma mau sharing aja :)

Saat itu sekitar jam 9 malam saya sedang berada di masjid At Taqwa, Kemanggisan untuk rapat rismata membahas tentang radio rismata fm. Yang namanya rapat tentu ngga bisa diselesaikan dalam waktu 10-15 menit. Minimal satu jam. Nah ketika itu rapat sedang seru-serunya. Tiba-tiba handphone saya berbunyi tanda ada sms masuk. Ternyata dari Nina, bunyi smsnya cukup singkat,

"Ayang, suamiku tercinta dimanapun engkau berada. Kami wanita-wanita yang engkau cintai merindukanmu"

Saya sedikit kaget juga saat itu karena wanita yang saya cintai ya Nina istri saya itu. Tapi beberapa detik kemudian saya baru sadar bahwa sekarang sudah ada Naura, wanita ketiga dalam kehidupan saya. Rapat pun menjadi ngga konsen dan tiba-tiba saya rindu berat kepada istri dan Naura. Akhirnya saya pun izin dengan alasan ngga enak sama istri dan Naura :p. Alhamdulillah mereka mengerti.

Kejadian kedua ketika saya sedang berada di Bogor untuk mengantar ibu saya ke rumah saudara disana. Waktu saya disana, istri saya mengirim sms begini,

"Abi lagi dimana..bunda dan Naura sangat merindukan kepulangan abi...apalagi roti unyilnya...perut bunda kangen katanya bi hehe. We love you abi...cun jauh dari Naula n bunda"

Duh saya senyum-senyum baca sms dari istri itu :). Padahal saya berpisah dari istri untuk ke Bogor baru beberapa jam saja. Alhamdulillah betapa besar nikmat yang sudah Allah berikan. Perasaan rindu yang timbul tidak lagi menimbulkan was-was dalam hati. Sekarang semuanya sudah lepas dan bebas.

Bagaimana dengan anda ? lagi rindu sama siapa nih saat ini ? :)

Wassalamu'alaikum

Thursday, January 3, 2008

Naura Idul Adha di Cileunyi, 18 Desember 2007




Tanggal 18 Desember kemarin saya, Nina dan Naura berangkat ke Cileunyi, tempat kakek neneknya Naura. Kita sempatkan untuk lebaran disana karena 2 kali lebaran Id kita ngga pernah bisa bareng orang tuanya Nina. Oleh karena itu yang Idul Adha kali ini kita planning banget.

Perjalanan dari Jakarta ke Cileunyi cukup jauh juga, sekitar 3-4 jam. Tapi pas sampai Bandung kita ngga langsung kesana, tapi ke kampusnya Nina dulu di Unpad untuk mengurus persyaratan sidangnya Nina. Sekitar jam 4 sore kita baru sampai di Cileunyi. Rumahnya asri banget deh, suasananya juga masih sejuk, mesjid pun di komplek itu hanya satu jadi pas sholat Id rame banget.

Selesai sholat Id, kita semua berangkat ke Majalengka, tempat enin, neneknya Nina. Berkali-kali enin bilang ke bapaknya Nina bahwa enin kangen buyut (Naura) dan pengen ketemu. Karena memang semenjak Naura lahir, enin belum pernah ketemu langsung dan hanya lewat foto saja. Untuk lebih lengkapnya lihat foto-fotonya saja ya :)

Gunung Geulis, 8 Desember 2007




Assalamu'alaikum,

Tanggal 8 Desember kemarin saya sekeluarga berkesempatan liburan ke Gunung Geulis di villa nya Bank Niaga. Kebetulan kakak saya dipinjamkan tempat oleh temannya yang bkerja di Bank Niaga. Villa ini khusus karyawan Niaga dan bukan untuk umum oleh karena itu bookingnya harus by appointment dari karyawan Niaga

Berhubung kakak saya ada teman yang bekerja di Niaga maka jadilah kita menginap sekeluarga plus 3 khadimat disana dari tanggal 8 sampai 9 Desember. Silahkan lihat-lihat :)

Wassalamu'alaikum

Wednesday, January 2, 2008

Quran Tidak Mewajibkan Kerudung Hanya Menganjurkan?

Rating:★★★★★
Category:Other
http://www.eramuslim.com

Assalamu 'alaikum ustadz

Teman saya membaca Al-Quran dan meski dia tidak menguasai bahasa Arab, dia bilang bahwa dirinya mendapatkan beberapa ayat yang kelihatannya tidak sejalan dengan apa yang dikatakan oleh para ulama.

Misalnya, Al-Quran tidak pernah mewajibkan para wanita memakai kerudung, tetapi mengapa para ulama mewajibkan? Itu bisa kita baca dalam surat An-Nur ayat 31:

Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya (QS. An-Nuur: 31)

Yang dia tekankan bahwa pada teksnya Al-Quran tidak sampai mewajibkan pemakaian kerudung, tetapi hanya menganjurkan saja.

Karena perintah itu dimulai dengan kata hendaklah. Di mana menurut dia bahwa ungkapan dengan menggunakan kata hendaklah bukan merupakan perintah, melainkan hanya himbauan, saran atau anjuran saja.

Bagaimana pandangan ustadz dalam masalah ini?

Dion
ccc123xxx@yahoo.co.id

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang selalu akan muncul kekurangan kalau kita memahami Al-Quran lewat terjemahan. Sebab penerjemahan dari suatu bahasa ke bahasa lain memang akan selalu mengalami penurunan kualitas pesan. Dan akan menjadi fatal bila terkait dengan kandungan hukum.

Para ahli fiqih sebenarnya sudah menjelaskan sejak dahulu bahwa syarat paling esensial untuk memahami Al-Quran dan menarik kesimpulan hukum adalah dengan menguasai bahasa arab. Bukan hanya grammarnya saja, tetapi sekalian juga rasa bahasanya.

Dan sebuah penerjemahan akan menghilangkan rasa bahasa yang original bahkan seringkali menghasilkan bias maknanya. Salah satu kasusnya adalah apa yang anda tanyakan di atas.

Memang benar bahwa kata 'hendaklah' dalam rasa bahasa kita tidak menjadi kewajiban, hanya terbatas pada himbauan, anjuran atau saran. Artinya, bila tidak dikerjakan karena suatu hal tertentu, maka tidak mengapa hukumnya.

Sebenarnya yang terjadi adalah kesalahan atau keterpelesetan ketika menterjemahkan. Terjemahan yang benar dari ayat yang anda tanyakan itu sebenarnya buka 'hendaklah', tetapi: 'wajiblah'.

Lho kok begitu?

Begini duduk masalahnya. Di dalam ilmu ushul fiqih, hukum wajib itu tidak selalu didapat dari kata perintah saja (fi'il amr), tetapi juga dari beberapa kata lain yang maknanya mengandung perintah. Salah satunya dari kata kerja atau fi'il Mudhari' Majzum.

Contoh

Fi'il mudhari' sebenarnya tidak berfungsi sebagai kata perintah, melainkan kata kerja yang menunjukkan waktu sekarang atau masa yang akan datang. Namun karena ketambahan hufur lam di depannya, maka fungsinya berubah menjadi kata perintah.

Sebagai contoh sederhana adalah lafadz ayat Al-Quran berikut ini:

وليطوفوا بالبيت العتيق

Kata walyaththawwafu berasal dari kata yaththawwafuna yang ketambahan huruf lam di depan dan oleh karenanya huruf nun di bagian akhir menjadi hilang. Sehingga kalau disambung menjadi walyaththawwafu. Sebenarnya kata yaththawwafuna bukan kata perintah, atau bukan fi'il amr melainkan fi'il mudhari'. Tetapi ketika dibentuk menjadi fi'il mudhari' majzum seperti di atas, maka makna dan fungsinya telah berubah menjadi perintah. Sehingga hukumnya menjadi wajib.

Pokok Masalah

Pokok masalahnya adalah penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh Departemen Agama memang agak kurang tepat. Sebab terjemahannya menggunakan kata "hendaklah&quot. Padahal secara rasa bahasa, banyak orang yang memahami kalau penggunaan kata "hendaklah" tidak bermankna perintah, melainkan himbauan. Dan himbauan tidak sama dengan perintah.

Itulah mengapa banyak orang yang hanya membaca terjemahan Depag, lantas keliru dalam memahami nilai hukum yang ada dalam Al-Quran. Salah satunya karena begitu banyak kata perintah hanya diterjemahkan sebagai &quothendaklah&quot.

Beberapa Contoh Lain

Padahal kalau kita teliti lebih jauh, dalam Al-Quran ternyata cukup banyak fi'il mudhari' yang maknanya telah berubah menjadi kata perintah. Sayangnya, terjemahannya semua menggunakan kata 'hendaklah'.

Silahkan buka surat Al-Baqarah. Di sana ada beberapa ayat seperti kata walitukmilul 'iddata pada ayat 185, kata falyastajibu li wal yu'minu bipada ayat 186, kata walyaktub di ayat 282, kata falyu'addi pada ayat 283. Semua adalah fi'il mudhari' yang maknanya telah berubah menjadi perintah, namun tetap diterjemahkan menjadi 'hendaklah'. Seolah-olah hanya anjuran padahal kewajiban.

Kalau masih penasaran, silahkan bukan surat Ali Imran. Di sana ada kata waltakun minkum pada ayat 104, kata falyatawakkal pada ayat 122 dan 160, kata latubayyinunnahu pada ayat 187, kata falyasta'fif pada ayat 6. Sama juga kasusnya, semua itu adalah fi'il mudhari' majzum yang maknanya perintah, bukan hendaklah. Sayangnya, di terjemahan Depag masih ditulis dengan arti 'hendaklah'.

Masih banyak lagi contoh lainnya, silahkan perhatikan di dalam surat An-Nisa' ada kata walyakhsya pada ayat 9 dan kata falyuqatil pada ayat 74. Di dalam surat Al-Maidah da kata walyahkum pada ayat 47. Di dalam surat At-Taubah ada kata falyadhaku dan walyabku pada ayat 82. Di dalam surat Yunus ada kata falyafrahu pada ayat 58.

Di dalam surat Al-Kahfi ada kata falyandzur, falya'tikum, walyatalaththaf dalam ayat 19. Juga ada kata falyu'min dan falyakfur dalam ayat 29. Ada kata falya'mal pada ayat 110.

Sebenarnya masih banyak contoh lainnya di dalam Al-Quran tentang kasus yang sama, namun halaman ini akan jadi panjang sekali. Cukup rasanya sebagai contoh.

Kesimpulan

Kesimpulannya adalah bahwa memakai jilbab itu bukan sekedar himbauan, melainkan kewajiban. Karena kata walyadhribna bikhumurihinna dalam surat An-Nuur: 31 tidak bermakna hendaklah mengulurkan kain kerudung, melainkan: wajiblah atas mereka mengulurkan mengulurkan kain kerudung.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc