Monday, July 23, 2007

Diskusi & Bedah Buku : "Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah"

Start:     Jul 27, '07
Location:     MP Book Point, Jl. Puri Mutiara Raya 72 Cipete, Jakarta Selatan
Sehubungan dengan penerbitan buku “Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah” karya Abdullahi Ahmed An-Na’im, dengan ini Penerbit Mizan dan CSRC bermaksud mengadakan acara diskusi dan bedah buku:

Tema : Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah
Hari/Tanggal : Jumat / 27 Juli 2007
Jam : Pukul 15.00 WIB—Selesai
Tempat : MP Book Point,
Jl. Puri Mutiara Raya 72 Cipete, Jakarta Selatan

Pembicara :
 
1. Abdullahi Ahmed An-Na’im (Penulis)
2. Ismail Yusanto (Hizbut Tahrir Indonesia)
3. Hamid Fahmy Zarkasy (INSIST)
4. M. Nurkholis Ridwan (Pimpinan Redaksi Majalah Sabili)
Moderator : Yudi Latif

Untuk itu kami mengundang Bapak dan Ibu hadir dalam acara diskusi dan bedah buku ini.

Demikianlah undangan ini kami sampaikan. Atas perhatian Bapak dan Ibu, kami ucapkan terima kasih.

Wassalam,

Mizan Publika
____________________


Sinopsis Buku:

Syariah pasti memiliki masa depan yang cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam karena dapat berperan dalam menyiapkan anak-anak untuk hidup bermasyarakat, membina lembaga, dan berhubungan sosial. Syariah akan terus memainkan peran penting dalam membentuk dan mengembangkan norma-norma dan nilai-nilai etika yang dapat direfleksikan dalam perundangan- perundangan dan kebijakan publik melalui proses politik yang demokratis.

Namun, An-Na'im berpendapat bahwa prinsip-prinsip atau aturan-aturan syariah tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh negara sebagai hukum dan kebijakan publik dengan alasan bahwa prinsip-prinsip dan aturan-aturan itu merupakan bagian dari syariah. Apabila pemberlakuan syariah seperti itu diusahakan, hal itu merupakan kehendak politik negara dan bukan hukum Islam.

Intinya, negara haruslah bersikap netral terhadap doktrin atau prinsip agama mana pun. Netralitas di sini tidak berarti negara secara sengaja memojokkan peran agama ke bilik-bilik sempit kehidupan privat, melainkan semata-mata demi menjamin kebebasan setiap individu untuk mendukung, berkeberatan, atau memodifikasi setiap penafsiran manusia atas doktrin atau prinsip-prinsip agama.

Karenanya, An-Na’im, dalam karya penting ini, mengadvokasikan prinsip pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara, namun dengan tetap mempertahankan hubungan antara Islam dan politik, melalui apa yang disebutnya sebagai public reason. Prinsip ini memungkinkan penerapan prinsip-prinsip syariah dalam kebijakan publik secara legitimate, namun tetap tunduk kepada prinsip-prinsip ketatanegaraan yang berlaku, serta menjamin kesetaraan hak setiap warga negara tanpa membedakan agama, ras, suku, gender, dan ideologi politik.

Dalam konteks ini, An-Na’im berada pada posisi jalan tengah dalam debat antara penerapan total dan penolakan membabi-buta terhadap aplikasi syariah dalam kehidupan publik.

Tentang Penulis:


Abdullahi Ahmed An-Na’im adalah pemikir Muslim terkemuka asal Sudan. Dia dikenal luas sebagai pakar Islam dan HAM, dalam perspektif lintas budaya. Penelitiannya mencakup isu-isu ketatanegaraan di negeri-negeri Islam dan Afrika, di samping isu-isu tentang Islam dan politik. An-Na’im juga menekuni riset-riset lain yang difokuskan pada advokasi strategi reformasi melalui tranformasi budaya internal.

Riset-riset advokasi yang telah dan baru saja dirampungkannya antara lain: Perempuan dan Tanah di Afrika, Hukum Keluarga Islam, Islam dan HAM, dan Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah. Karyanya yang terakhir ini diterbitkan ke dalam beberapa bahasa, di antaranya Indonesia, Persia, Urdu, Bengali, Turki, Rusia, dan Inggris. Edisi Bahasa Inggris karya riset ini akan diterbitkan oleh Harvard University Press awal tahun 2008. Saat ini An-Na’im bekerja sebagai Profesor Charles Howard Candler di bidang Hukum di Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat.
____________________


PS : Berhubung saya ngga bisa hadir di diskusi ini, tolong dong siapa saja yang hadir untuk merekamnya atau minta makalahnya :)

Thursday, July 12, 2007

Ikhtiar yang tertunda

Assalamu'alaikum,

Masih ingat dengan tulisan saya kira-kira 2 bulan yang lalu yang berjudul Sebuah Ikhtiar, The Sequel ? Kalau belum membaca silahkan dibuka linknya. Ikhtiar kedua saya setelah warung kebab untuk mencari maisyah ternyata harus berhenti. Kedai Sotosop 99 yang dibangun oleh Nina mau tidak mau harus berhenti dulu untuk sementara. Dari segi management kantin di gedung Graha Surya Internusa (GSI), Kuningan cukup memuaskan hanya saja sharing profit yang mereka ajukan cukup besar plus target penjualan dan pengeluaran lainnya. Alhamdulillah kontrak yang mereka ajukan di awal pun berjangka waktu pendek yaitu 2 bulan saja. Sehingga kita bisa melihat apakah 2 bulan itu untung atau rugi.

Ternyata setelah kami jalani 2 bulan, ada hal-hal yang tidak terduga oleh kami. Target saya saat itu adalah 2 bulan berjalan itu sudah cukup untuk melatih pegawai untuk bisa memasak persis seperti Nina. Karena memang sebulan pertama jualan itu Nina yang membuat semua menunya. Hampir setiap selesai sholat shubuh kita berdua ke pasar untuk belanja bahan baku masakan. Setelah itu barulah Nina bertempur di dapur dibantu oleh satu orang pegawai dan pembantu rumah. Nah target saya tadi ternyata meleset. Maksud saya adalah jatah Nina untuk memasak semua menu dan mengajarkannya adalah 1 bulan, setelah itu Nina harus banyak istirahat dan lebih konsen ke kehamilannya. Juga karena kehamilannya semakin membesar tentu beban yang diangkat selama Nina berdiri atau jalan pun semakin bertambah.

Setelah berjalan satu bulan kita mencoba untuk lebih melepaskan si pegawai untuk memasak sendiri di dapur rumah. Lalu perlahan-lahan si pegawai pun mulai memasak di dapur kantin untuk menghemat waktu perjalanan. Nah ketika dia mulia memasak di kantin gedung inilah yang tidak terawasi sehingga rasa masakan-masakan kami banyak mengalami perubahan drastis. Bahkan dari manager kantinnya saya mendengar cerita bahwa ada orang yang membeli soto betawi kami dan setelah dicoba sekali suap langsung ngga dimakan lagi lalu bilang ke managernya, "Mba saya ngga jadi deh makan soto betawinya, ngga ada rasanya !" hehehe. Managernya pun mengadu ke saya dan dia pun langsung mengerti pasti yang masak bukan istri saya lagi. Karena di awal kami buka, penjualan alhamdulillah cukup besar. Minggu-minggu pertama saja perharinya penjualan mencapai 350rb, dimana kantin counter lain butuh waktu lebih dari itu.

Entah kenapa ketika sang manager mengadukan hal itu ke kita, saya jadi semakin optimis bahwa sebenarnya masakan buatan Nina memang enak sehingga ketika bukan Nina lagi yang memasak, orang langsung mengetahuinya. Beda tangan beda rasa, inilah jargon yang biasa dilontarkan teman-teman sesama pengusaha makanan. Awalnya saya ngga terlalu menggubris jargon itu, tapi kalau sudah begini saya mau ngomong apalagi ? hehehe. Nina sendiri yang dulu kuliah di unpad jurusan administrasi bisnis, masih punya niat kuat setelah melahirkan untuk nantinya berbisnis di bidang makanan. Teorinya mungkin sudah Nina dapat di kuliah, jadi tinggal prakteknya :).

Akhirnya saya putuskan kontrak dua bulan di GSI harus berakhir karena saya ngga mau memaksakan Nina untuk memasak ditambah sharing profit yang terlalu tinggi. Tapi biar bagaimanapun ini bisa menjadi pengalaman berharga dalam berwirausaha dan menjadi seorang enterpreneur. Mohon doanya ya agar usaha kami kedepan lebih maju dan lancar :).

Wassalamu'alaikum

Tuesday, July 10, 2007

Diskusi INSISTS: "Kritik Terhadap Tafsir Feminis"

Start:     Jul 14, '07
Location:     Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta Selatan
Umat Islam tidak pernah meragukan bahwa kemukjizatan al-Qur'an menembus batas ruang dan waktu. Keunikan al-Qur'an sebagai wahyu, -baik dari sisi redaksi maupun maknanya-, mengharuskan umatnya untuk menempuh metodologi khusus yang sejalan dengan konsep wahyu dalam Islam, terlebih saat berinteraksi dengan kandungan ayat-ayatnya. Konsep wahyu dalam Islam secara selektif menolak segala metode penafsiran liar yang bertentangan dengan sifat dasar wahyu.

Dewasa ini, banyak usaha "membumikan" al-Qur'an melalui pendekatan tafsir jalanlain yang tidak pernah dikenal dalam khazanah keilmuan Islam. Al-Qur'an tidak lagi dipahami secara utuh dan menyeluruh, tetapi ditafsirkan secara parsial, lokal, kondisional dan temporal, demi menyesuaikan selera zaman dan penafsir. Bahkan seringkali bermunculan ide nyleneh yang memberi justifikasi keabsahan nilai-nilai modern dari Barat-Kristen dengan penafsiran ayat-ayat al-Qur'an. Di antara ide ini adalah memahami al-Qur'an dari sudut pandang jender (feminisme) yang dilakukan oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, yang saat ini menjabat Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. NaÎr ×Émid AbË Zayd (liberal Mesir), Dr. Muhammad ShaÍrËr (liberal Syiria), dan lain-lain.

Bagi kalangan liberal, usaha menundukkan al-Qur'an dalam paham kesetaraan jender ala Barat, biasanya tidak dilakukan dengan cara menolak ayat-ayat al-Qur'an secara langsung. Tetapi dilakukan dengan memberikan penafsiran ayat-ayat melalui metode kritik sejarah. Metode kritik sejarah (historical criticism) adalah kritik sastera yang mengacu pada bukti sejarah atau berdasarkan konteks di mana sebuah karya ditulis, termasuk fakta-fakta tentang kehidupan pengarang/penulis serta kondisi-kondisi sejarah dan sosial saat itu.

Kemudian metode ini dicocok-cocokkan dengan teori asbÉb al-nuzËl dan khuÎËÎ al-sabab yang terdapat dalam kajian tafsir klasik. Dalam diskusi kali ini, pembahasan akan difokuskan pada metode liberal dalam mendudukkan al-Qur'an pada kerangka jender, beberapa contoh hasil penafsiran hermeneutis terhadap ayat-ayat al-Qur'an, dan penjelasan ketidaksesuaiannya metode ini dengan sifat dasar wahyu yang disertai kritik ringkas tentang hal ini.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, jikalau memang kritik sejarah dalam hermeneutika layak digunakan sebagai corak baru dalam metode tafsir al-Qur'an, maka sejauhmanakah keabsahan metode ini digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an? Apakah terbatas pada ayat-ayat yang dipandang merugikan perempuan, dan tidak pada laki-laki?

Ataukah metode kritik sejarah ini juga bisa digunakan untuk menafsirkan semua ayat-ayat al-Qur'an, baik yang terkait dengan tauhid, ibadah, hukum-hukum yang terkait dengan individu dan sosial, baik yang bersifat hukum kriminal maupun kekeluargaan, akhlak, kisah-kisah umat terdahulu, makanan, minuman, pakaian, serta bisakah juga diterapkan untuk mengkaji ayat-ayat yang bersifat muÍkamÉt dan mutashÉbihÉt, baik itu ayat-ayat yang lafadznya berindikasi qaÏ'i-Ðanni, muÏlaq-muqayyad, khÉs-'Ém dsb?!

Ataukah metode kritik sejarah baru digunakan untuk menafsirkan sebagian ayat dalam rangka menolak sebagian ajaran-ajaran Islam tertentu yang tidak sejalan dengan paham humanisme dan pandangan-pandangan hidup Barat-Kristen kontemporer?

Hadiri Diskusi Sabtuan INSISTS :

Kritik Terhadap Tafsir Feminis

Pembicara:
Henri Shalahuddin, MA

Waktu:
Sabtu, 14 Juli 2007 - Jam: 10:00 s/d 12:00 WIB

Tempat:
INSISTS
Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta Selatan
Tlp. 021-7940381
Terbatas untuk 40 peserta


Henri Shalahuddin, MA lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, 5 September 1975, putra keenam dari pasangan M. Subhi Ali (aIm) dan Mardhiyyah (almh). Pendidikan formalnya dimulai di SDN I Sumberrejo Bojonegoro (1982-1988), MTs al-Tanwir Talun Sumberrejo Bojonegoro (1989) dan KMI Pondok Modern Darussalam Gontor (1989-1995). Melanjutkan jenjang Strata 1 (S1) di Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Gontor (1995-1999) di fakultas Ushuluddin. Sedangkan pendidikan S2, ditempuhnya di International Islamic University Malaysia (HUM), Fakultas Islamic Revealed Knowledge and Human Science (IRKH), Department ofUsul aI-Din and Islamic Thought.

Di antara riset yang pernah ditulisnya dalam Bahasa Arab adalah: "Mawqif Ahli l-Sunnah wa l-Jama'ah min al-Usul al-Khamsah li l-Mu'tazilah" (Ahlussunah's Attitude toward Five Principles of Mu'tazilah, 120 halaman) di bawah bimbingan Drs. Amal Fathullah Zarkasyi, M.A. Sebuah penelitian untuk memenuhi persyaratan S1 di ISID Gontor Indonesia. "Dawr al-Ghazali fi Tatwir Manhaj 'Ilmi l-Kalam min khilali Kitabihi al-Iqtisad fi l-l'tiqad" (al-Ghazali' s Role in Developing of Islamic Theology based on his Book al-Iqtisad fi l-l'tiqad). Tesis Master di IIUM Gombak Kuala Lumpur, 110 halaman, November 2003, di bawah bimbingan Prof. Dr. Abu Yaarib al-Marzouqi (Tunis) dan Prof. Dr. Ibrahim Zein (Sudan). Abstraknya telah dipublikasikan di Jurnal IIUM, "TAJDID", 8th year, February 2004, issue no. 15, sebagai salah satu tesis master terbaik.

Di samping itu, terdapat sebuah artikel penulis tentang aI-Imam al-Ghazali: Mu,tawwir Manhaj 'Ilmi l-Kalam yang dimuat dalam jurnal Pascasarjana, "al- Risalah", an Annual Academic Refereed Journal, Fourth Year - December 2004 - Dhul al-Qi'dah l424H-Issue No.4, Centre for Postgraduate Studies (CPS) IIUM dan beberapa artikel lainnya berbahasa Indonesia di Majalah Media Dakwah, Harian Republika, dan Majalah Hidayatullah.

Menikah dengan Elisabeth Diana Dewi (November 2004) dan dikarunia satu putra, Taif Ahmad Nabil (8 Januari 2006).

Penulis pernah aktif mengajar di beberapa lembaga pendidikan, di antaranya di Pondok Modern Darussalam Gontor (April 1995 - November 2000), dosen di Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor dalam materi Ilmu Kalam (Islamic Theology) sejak November 1999 hingga November 2000, Pesantren al-Rasyid Bojonegoro (Desember 2000-Juni 2001), dan Sekolah Rendah al-Amin Gombak Selangor, Malaysia (Januari-April 2002).

Beberapa pengalaman yang mengembangkan intelektual penulis di antaranya adalah menjadi asisten riset Assoc. Prof. Dr. Abd. El Salam Beshr Mohamed (dosen IIUM asal Mesir mulai September-Desember 2003), asisten riset Prof. Dr. 'Abdul Qahhar Dawud al-'Ani (dosen IIUM asal Irak) editor karya-karya ilmiah di percetakan Kachi Trading. Sdn. Bhd. IIUM Kuala Lumpur (Maret-Juli 2003), dan petugas haji (Mission of Indonesian Hajj), Desember 2004-Februari 2005. Saat ini ia aktif sebagai peneliti dan sekretaris di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), dosen STID M. Natsir serta sebagai Freelance translator di beberapa penerbit dan majalah.


Pengalaman pertama bersama istri

Assalamu'alaikum,

Kalau membaca judul diatas konotasinya bisa macam-macam. Tapi yang saya maksud disini benar-benar yang pertama kali saya lakukan didepan publik dan bersama istri pula.

Ketika saya menikah bulan September 2006 lalu, banyak rekan-rekan saya yang menawarkan bantuan tenaganya apabila dibutuhkan. Tapi saat itu bantuan tenaga sudah mencukupi dan saya juga ngga mau merepotkan teman-teman saya. Bahkan kalau memungkinkan, saya maunya mereka semua menjadi tamu bukan panitia. Tapi ada satu teman saya atau mungkin lebih tepatnya dibilang seorang sahabat. Karena saya memang kenal dia semenjak sd kelas 5, namanya Dodo. Sepuluh tahun lebih bersahabat dengan dia banyak menimbulkan kenangan yang seru, lucu sekaligus menyebalkan. Dodo dan saya punya cukup banyak kesamaan dalam bidang hobi. Mulai dari koleksi mainan GI.JOE jaman sd dulu, main skateboard bareng di Senayan tahun 95an sampai yang terakhir airsoft gun.

Bukan bermaksud sombong nih ya, tapi biasanya trendsetter dari hobi-hobi itu adalah saya hehehe. Sayalah yang memulai demam GI.JOE, skateboard dan airsoft gun. Kalau hobi yang terakhir ini kita mulainya barengan dan tanpa sengaja ketemu lagi sudah dalam keadaan demam airsoft gun. Uniknya, biasanya saya pulalah yang mengakhiri hobi-hobi itu. Ketika teman-teman saya yang lain koleksi GI.JOE nya sudah semakin banyak, saya justru memilih berhenti mengoleksinya. Otomatis saya jadi sering diprotes karena dikatakan ngga konsisten dengan hobi saya itu hehehe. Tapi ya itulah karena saat itu kita masih kecil-kecil, sehingga sekarang moment-moment seperti itu menjadi hal yang lucu untuk diingat-ingat setelah dewasa.

Kembali ke topik, ketika saya sedang mempersiapkan pernikahan Dodo menawarkan bantuannya untuk menjadi bagian dokumentasinya alias fotografer pernikahan saya dan Nina. Reputasi Dodo dalam fotografi bagi saya ngga perlu saya ragukan lagi selain karena dia memang keponakan dari Darwis Triadi dan banyak menuntut ilmu fotografi dari beliau, Dodo pun punya style sendiri dan sekian lama bersahabat dengannya membuat saya yakin bahwa nantinya dia akan menjadi fotografer yang handal. Terlebih lagi dengan kebaikan hatinya untuk ikut berpartisipasi dalam acara pernikahan saya.

Akhirnya jadilah Dodo dan teman saya satu lagi menjadi fotografer pernikahan saya. Saat itu saya bilang sama Dodo supaya kalau bisa budgetnya jangan gede-gede ya karena memang terbatas dananya. Tapi Dodo punya jawaban yang membuat saya terharu. Dia hanya menjawab, "Ndra dulu gue pernah ber-azzam sama Allah kalau gue dijadiin orang yang handal dalam bidang fotografi, gue bakal bantu temen-temen gue yang perlu dibantu. Soal bayaran ngga usah lo pikirin, sekarang lo tinggal konsen ke hari H aja. Everything is under control bro".

Singkat cerita Dodo pun melakukan tugasnya dan malam sebelum hari pernikahan saya, Dodo ada acara dulu bersama calonnya dan baru bisa malam berangkat ke Bandung, akhirnya yang membuat saya semakin takjub adalah profesionalitas yang dia tunjukkan tanpa memandang bayarannya. Saat itu Dodo dan partnernya berangkat ke Bandung jam 2 pagi dan melakukan pemotretan pernikahan saya jam 8 paginya !. Subhanallah, jazakallah khair ya bro. Sebagian hasil foto-fotonya bisa dilihat disini.

Nah tanggal 7 Juli kemarin, akhirnya Dodo pun menyusul saya. Dia memutuskan untuk berhenti melajang dan memilih untuk menikah. Ketika dia mengabarkan hal ini, yang terbayang di benak saya adalah apa ya yang bisa saya bantu untuk Dodo. Saya juga memberitahu Dodo kalau ada yang perlu dibantu silahkan telpon saya. Benar saja, ngga lama setelah dia mengabarkan rencana menikahnya Dodo kembali menelpon saya dan meminta saya menjadi Qori dan istri saya Nina menjadi saritilawahnya. Waduh ini tugas yang berat pikir saya, karena dari segi bacaan dan lagu masih banyak yang jauh lebih baik dari saya. Tapi saat itu Dodo ngga memberikan pilihan tugas yang lain dan juga ngga memberikan saya cukup waktu untuk berpikir.

Saya cuma tanya ke Dodo kenapa kok bisa kepikiran saya untuk Qorinya. Dodo menjawab, bahwa dulu ketika saya menikah dan memberikan mahar ke Nina berupa hafalan surat Ar-Ruum 20-23, katanya saat saya membacakan mahar itu dia sempat merinding dan hampir nangis. Ketika dia mengatakan alasan itu saya sempat diam dan terpikir, Ya Allah...ketika dulu dia membantu saya, dia melakukannya tanpa pamrih...bahkan hutang ongkos transportasi yang dulu pernah saya janjikan pun belum saya lunasi dan dianya sendiri tak pernah sekalipun menagih hutang itu, masya Allah baik bener ini orang. Kalau saya tolak, maka dengan apa lagi saya bisa membalas kebaikan dia. Tapi kalau tawaran ini saya terima pun bebannya ngga main-main. Setelah berpikir cukup lama akhirnya saya putuskan untuk menerima tawaran Dodo itu.

Akhirnya tanggal 7 Juli 2007 itu jadilah pengalaman pertama saya dan Nina duduk berdampingan di dekat mimbar masjid Bank Indonesia dan dihadapan khalayak ramai. Saya yang mengaji dan Nina yang menterjemahkannya. Benar-benar pengalaman pertama yang mendebarkan. Semoga sang janin yang ada di perut Nina bisa ikut mendengar ayah dan ibunya ngaji :). Semoga juga dengan ini pernikahan Dodo akan lebih membawa keberkahan dan dijadikan oleh Allah menjadi keluarga yang selalu dalam keridhaan-Nya. Barakallahulaka wabaaraka ‘alaika wa jama’aka bainakuma fii khoir. Amin

Wassalamu'alaikum





Monday, July 9, 2007

Dr. Abdul Karim Germanus, Orientalis yang mendapat Hidayah

Rating:★★★★★
Category:Other
Dr. Abdul Karim Germanus adalah seorang terkenal dari Honggaria, dan orientalis saintis terkenal di dunia. Beliau datang di India antara perang dunia pertama dan kedua dan beberapa waktu lamanya memberi kuliah di Tagor's University Shanty Naketan. Akhirnya beliau memberi kuliah pada Jamia Millie Delhi dan disanalah beliau masuk Islam. Dr. Abdul Karim Germanus juga seorang ahli bahasa dan mengusai bahasa tueki dan kesusteraanya. Melalui penyelidikan-penyelidikan ketimurannya itulah beliau akhirnya masuk Islam. Dr. Abdul Karim Germanus juga bekerja sebagai professor dan kepala bagian ketimuran dan ilmu-ilmu keislaman pada Budapest University, Honggaria.

Sore itu turun hujan. Usia saya menjelang akil balig, ketika saya membolak balik lembaran-lembaran majalah bergambar terbitan lama. Isinya bermacam-macam, antara kejadian baru, cerita fiktif dan berbagai keterangan tentang negeri jauh. Saya terus membolak-balik halaman, tiba-tiba mata saya tertuju pada sebuah gambar ukiran kayu berbentuk rumah beratap datar, dan di sana sini terdapat kubah-kubah bundar yang menjulang ke langit yang gelap gulita, di mana secercah cahaya nampak dengan indahnya. Di atas salah satu atap itu terlihat beberapa orang duduk dalam barisan yang teratur, megenakan pakaian yang indah coraknya.

Gambar itu telah menangkap daya khayal saya, karena keadaanya berbeda dengan yang biasa kita lihat di Eropa, sebuah pemandangan di tanah timur, di sebuah tempat di negeri Arab yang menggambarkan seseorang yang sedang menceritakan beberapa hikayat yang menarik bagi sekumpulan pendengar yang mengenakan jubah berkurudung. Gambar itu seakan-akan berbicara, hingga saya seakan-akan mendengar suara seorang laki-laki yang menghibur diri saya dengan ceritanya, dan saya seakan-akan termasuk salah seorang dari orang Arab yang mendengarkan di atas bangunan itu. Padahal saya pelajar yang belum melebihi umur 16 tahun dan sedang duduk diatas kursi Honggaria. Saya sangat berhasrat untuk mengetahui arti cahaya yang memecah kegelapan di atas papan ukiran itu.

Mulailah saya belajar belajar bahasa Turki. Namun, ternyata bahasa Turki tertulis itu hanya mencakup sedikit kata-kata Turki. Syair Turki penuh dengan bunga-bunga bahasa Parsi, sedangkan prosesnya terdiri dari unsur bahasa Arab. Oleh karena itu, saya berusaha memahami ketiga bahasa itu sehingga saya mampu menyelami dunia kerohanian yang telah memancarkan cahaya yang gemerlapan di atas persada alam kemanusiaan.

Pada waktu liburan musim panas, saya pergi ke Bosnia, suatu negeri Timur yag terdekat dari negeri saya. Saya tinggal di sebuah hotel. Dari sana saya dapat pergi untuk menyaksikan kenyataan hidup kaum muslimin di negeri itu. Bahasa Turki mereka menyulitkan saya, karena saya mulai mengetahuinya dari celah-celah tulisan Arab dalam kitab-kitab ilmu nahwu (Grammar).

Pada suatu malam, saya turun ke jalan-jalan yang diterangi lampu remang- remang. Saya lalu sampai di sebuah warung kopi sederhana, di mana dua orang pribumi sedang duduk-duduk di atas kursi yang agak tinggi sambil memegang kayf. Kedua orang itu mengenakan celana adat yang agak lebar dan di tengahnya diikat dengan sebuah sabuk lebar yang diselipi sebuah golok, sehingga dengan pakaian yang aneh seperti itu mereka tampak galak dan kasar. Dengan hati yang berdebar-debar saya masuk di dalam "Kahwekhame" itu dan duduk bersandar dalam si sudut ruangan.

Kedua orang itu melihat kepada saya dengan pandangan yang aneh. Ketika itu terlihatlah kepada saya cerita-cerita pertumpahan darah yanga saya baca dalam buku yang berisi kefanatikan kaum muslimin. Mereka berbisik-bisik, dan apa yang mereka bisikkan itu, jelas tentang kehadiran saya yang mungkin tidak mereka inginkan. Bayangan kekanak-kanakan saya menunjukkan akan terjadinya tindakan kekerasan, kedua orang itu pasti akan menancapkan goloknya ke dada saya yang kafir ini. Kalau bisa saya ingin keluar dari tempat ini dan bebas dari ketakutan, akan tetapi badan saya menjadi lemas dan tidak bisa bergerak.

Beberapa saat kemudian, seorang pelayang datang dan menghidangkan secangkir kopi yang harum sambil menoleh kepada kedua orang yang menakutkan itu. Saya pun menoleh kepada mereka dengan muka ketakutan, akan tetapi ternyata mereka mengucapakan salam kepada saya dengan suara yang ramah sambil tersenyum tipis. Dengan sikap yang ragu-ragu saya mencoba berpura-pura tersenyum, dan kedua orang "musuh"itu pun berdiri mendekati saya, sehingga jantung saya berdebar lebih keras, membayangkan kemungkinan orang-orang itu akan mengusir saya, akan tetapi ternyata kedua orang itu mengucapkan salam kepada saya kedua kalinya, dan mereka duduk didekat saya. Seorang diantaranya menyodorkan rokok kepada saya dan sekalian menyulutkannya, ternyata dibalik sisi lahirnya yang kasar dan menakutkan itu terdapat jiwa yang mulia.

Saya mengumpulkan kembali keberanian saya dan saya bercerita kepada mereka dengan bahasa Turki yang patah-patah, kata-kata saya itu ternyata menarik perhatian mereka dan tampak dalam kehidupan mereka jiwa persahabatan dan cinta kasih. Kedua orang itu mengundang saya agar berkunjung ke rumah mereka, kebalikan dari permusuhan yang saya duga semula. Mereka menunjukkan kasih sayang kepada saya kebalikan dari menancapkan golok di dada saya yang saya bayangkan semula.

Itulah perjumpan saya yang pertama dengan kaum muslimin.

Beberapa tahun telah lewat dalam hidup saya yang penuh dengan perjalanan dan studi. Semua itu membuka mata saya kearah pandangan baru yang menakjubkan .

Saya berkunjung ke semua negeri di Eropa mengikuti kuliah di Universitas Istambul, menikmati keindahan bersejarah Asia kecil dan Syiria, belajar bahasa Turki, Persia dan Arab serta mengikuti kuliah dan ilmu ilmu keislaman Universitas Budapest. Segala ilmu pengetahuan yang tersimpan dalam buku-buku abad lampau saya baca dengan pandangan kritis, dan jiwa yang kehausan. Pada buku-buku itu saya menemukan titik-titik terang tentang berbagai lapangan ilmu pengetahuan. Saya merasakan kenikmatan bernaung di bawah kehidupan beragama. Otak saya menjadi beku, akan tetapi jiwa saya tetap kehausan. Karena itu saya mencoba melepaskan diri dari segala ilmu pengetahuan yang selama ini saya kumpulkan, agar saya dapat kembali bebas dari segala kotoran dalam semangat mencari kebenaran. Bagaikan besi mentah yang menjadi baja yang keras dengan cara dilebur dan diberi temperatur rendah secara tiba-tiba.

Pada suatu malam saya bermimpi, seakan-akan Muhammad Rasulullah saw.dengan jenggotnya yang panjang berwarna henna, jubahnya yang besar dan rapi menyebarkan bau wangi harum dan semerbak dan cahaya kedua belah matanya mengkilat penuh wibawa itu tertuju kepada saya. Dengan suara lemah lembut, beliau bertanya kepada saya,"Kenapa engkau bingung? Sebenarnya jalan yang lurus telah terbentang dihadapanmu, amat terbentang bagaikan permukaan bumi. Berjalanlah diatasnya dengan langkah yang mantap dan dengan kekuatan iman."

Dalam mimpi ajaib ini, saya menjawab dengan bahasa arab, "Ya Rasulullah! Memang itu mudah buat Tuan, Tuan adalah perkasa. Tuan dapat menundukkan setiap lawan pada waktu Tuan memulai perjalanan Tuan dengan bimbingan dan pertolongan Allah. Bagi saya tetap sulit. Siapakah yang tahu kapan saya dapat menemukan ketenangan?"

Beliau menatap tajam kepada saya dengan penuh pengertian. Sejenak beliau berfikir, kemudian bersabda dengan bahasa Arab yang jelas, yang setiap katanya berdentang bagai suara lonceng perak. Dengan lisannya yang mulia yang mengemban perintah Allah itu meresap kedalam jiwa saya, beliau membacakan ayat ke-6 sampai dengan ke-9 surat An Naba' yang artinya "Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? dan gunung-gunung sebagai pasak?dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan,dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat."

Dalam kepeningan, saya berkata, "Saya tidak bisa tidur. Saya mampu menembus segala misteri yang meliputi segala rahasia yang tebal ini. Tolonglah saya Muhammad! Tolonglah saya Rasulullah!" Begitulah yang keluar dari kerongkongan saya, suara teriakan yang terputus-putus, seakan-akan saya tercekik dengan beban yang berat ini. Saya takut kalau Rasulullah saw. marah kepada saya. Kemudian saya merasa terjatuh kesebuah tempat yang amat dalam. Tiba-tiba terbangunlah saya dari mimpi itu dengan badan bercucuran keringat yang hampir-hampir bercampur darah. Seluruh anggota badan terasa sakit. Saya menjadi sangat sedih dan suka menyendiri.

Pada hari Jumat berikutnya terjadilah sebuah peristiwa besar dalam masjid Jami' New Delhi. Seorang asing berwajah lesu dan rambut beruban menerobos masuk disertai beberapa orang pemuda di antara jemaah yang beriman. Saya mengenakan pakaian India dan berkopiah rampuri, sedangkan di dada saya tertampang medali-medali Turki yang telah dianugerahkan oleh para sultan Turki terdahulu kepada saya. Kaum muslimin dalam masjid itu melihat saya dengan keheranan. Rombongan saya mengambil tempat di dekat mimbar, tempat para ulama dan para terkemuka duduk. Mereka mengucapkan salam kepada saya dengan suara yang tinggi melengking.

Saya duduk didekat mimbar yang penuh perhiasan, sedangkan tiang-tiang di dekat masjid penuh dengan sarang laba-laba. Terdengarlah suara azan dan para mukabbir berdiri di berbagai tempat untuk meneruskan suara azan ketempat sejauh yang mungkin dicapainya. Selesai adzan, berdirilah orang-orang yang jumlahnya hampir empat ribu untuk salat, sekan akan barisan tentara memenuhi seruan Allah dengan berjajar rapat, tekun dan khusuk. Saya sendiri termasuk salah seorang yang khusuk itu. Kejadian itu sungguh merupakan momentum yang agung.

Selesai salat, Abdul Hay memegang tangan saya untuk berdiri di muka mimbar. Saya berjalan hati-hati agar tidak menyentuh orang yang duduk berbaris. Waktu peristiwa besar sudah dekat. Saya berdiri dekat mimbar lalu berjalan di antara orang banyak yang saya lihat berupa beribu-ribu kepala bersorban, seakan-akan kebun bunga. Mereka melihat dengan penuh perhatian kepada saya. Saya berdiri dikelilingi para ulama dengan jenggot yang kelabu dan penglihatan yang memberi kekuatan. Lalu mereka mengumumkan tentang diri saya, satu hal yang tidak dijanjikan sebelumnya. Tanpa ragu-ragu saya naik ke mimbar sampai tangga yang ke tujuh, lalu saya menghadap kepada orang banyak yang seakan-akan tidak ada ujungnya dan seperti lautan yang berombak. Semua punduk merunduk kepada saya, di halaman masjid semua orang bergerak. Saya mendengar orang yang dekat kepada saya berkali-kali mengucapkan maasya Allah disertai pandangan yang memancarkan rasa cinta kasih. Kemudian mulailah saya berbicara dalam bahasa Arab.

"Tuan-tuan yang terhormat, saya datang dari negeri yang jauh untuk mencari ilmu yang tidak bisa didapat di negeri saya, saya datang untuk memenuhi hasrat jiwa saya dan tuan-tuan telah mengabulkan harapan saya itu."

Lalu saya berbicara tentang peredaran zaman yang dialami oleh Islam dalam sejarah dunia dan tentang beberapa mukjizat yang Allah gunakan untuk memperkuat Rasul-Nya saw.. Saya juga kemukakan tentang keterbelakangan kaum muslimin pada zaman akhir-akhir ini, tentang cara-cara yang mungkin bisa mengembalikan kebesaran yang telah hilang dan tentang adanya sebagian orang Islam yang mengatakan bahwa segala sesuatu sepenuhnya tergantung kepada kehendak Allah SWT, padahal Allah telah berfirman dalam Al Qur'anul karim, "Sesungguhnya Allah tidak merubah suatu kaum sehingga mereka sendiri mau mengubah keadaan dirinya."

Saya memusatkan pembicaraan saya kepada persoalan ini dengan mengemukakan ayat-ayat kitabullah. Kemudian tentang peningkatan hidup yang sici atau taqwa dan perlunya memerangi perbuatan dosa.

Seusai berbicara, saya pun duduk istirahat. Saya berbicara dengan penuh perasaan, dan saya dengar orang-orang di seluruh pelosok masjid berteriak "Allahu Akbar!!!" Terasalah pengaruh dan semangatnya yang merata ke seluruh tempat, dan saya tidak bisa mengingat-ingat lagi apa yang kemudian terjadi, selain di atas mimbar, Aslam memanggil dan memegang pergelangan tangan saya keluar dari masjid.

Saya bertanya kepadanya, "Mengapa terburu-buru?" Orang-orang berdiri dan memeluk saya. Berapa banyak orang miskin yang melihat dengan mata sayu kepada saya, meminta doa restu dan mereka ingin dapat mencium kepala saya. Saya berseru kapada Allah supaya tidak membiarkan jiwa-jiwa yang tidak berdosa ini melihat kepada saya seakan -akan saya berderajat lebih tinggi daripada mereka. Padahal saya tidak lebih dari salah satu binatang yang melata di bumi, atau seorang yang lain.

Saya merasa malu menghadapi harapan orang- orang suci itu, dan saya merasa seakan-akan telah menipu mereka. Alangkah beratnya beban yang menupuk pada bahu penguasa dan sultan. Orang yang menaruh kepercayaan dan minta pertolongan kepadanya dengan perkiraan bahwa penguasa itu dapat mengerjakan apa yang mereka sendiri tidak mampu.

Aslam mengeluarkan saya dari kerumunan dan pelukan saudara-saudara saya yang baru, dan mendudukkan saya pada sebuah tonga (kendaraan roda dua di India) dan membawa saya pulang. Pada hari-hari berikutnya, orang berbondong-bondong menemui saya untuk menunjukkan suka cita, dan saya merasakan kecintaan dan kebaikan mereka cukup menjadi bekal selama hidup saya.


Sumber: Limaa Dzaa Aslamnaa? Rabithah Alam Islamy Makkah al-Mukarramah
(Buku Limaa Dzaa Aslamnaa? oleh Rabithah Alam Islamy Makkah al-Mukarramah telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit Cahaya Press, Jln. F, No. 46, Cip. Muara, Kalimalang, telp. (021)8580649, Fax. (021)85909667, Jakarta Timur 13420, PO BOX 7837 JAT CC 13340, dengan judul Islam Pilihan Kami: Kisah Para Tokoh dan Ilmuwan Dunia Mendapat Hidayah)

Sunday, July 8, 2007

Sehari bersama Prof. Mudatsir Abdul Karim

Assalamu'alaikum,


Galak. Begitulah kesan pertama yang saya tangkap pertama kali bertemu beliau. Tapi setelah banyak berdiskusi dengan guru besar ilmu politik di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur ini, kesan itu memudar dan saya melihat sifat kasih sayang dan kebapakan dalam diri beliau. Foto-fotonya ada disini.

Hari Jum'at tanggal 29 Juni kemarin saya mendapat tugas dari INSISTS untuk menjadi tour guide pribadi beliau seharian penuh. Setelah bertemu dengan mas Eko sang sekretaris INSISTS di Kalibata jam 11, kami berdua segera menjemput Prof. Mudatsir dan keluarganya yang menginap di sebuah Guest House di daerah Pejaten. Rencananya hari itu Prof. Mudatsir ingin melaksanakan sholat Jum'at di masjid Istiqlal. Tapi entah kenapa hari itu Jakarta macet seharian penuh. Akhirnya kami memutukan untuk sholat Jum'at di masjid di daerah Kalibata. Setelah itu makan siang di rumah makan padang. Diskusi di INSISTS hari itu seharusnya dimulai dari jam 2 siang, tapi karena macet, jarak dari rumah makan padang ke INSISTS terasa jauh dan memakan waktu 45 menit untuk sampai disana. Diskusi pun dimulai jam 3 kurang 10 menit.

Setelah diskusi selesai jam 5 sore, Prof. Mudatsir minta diantar ke masjid Istiqlal untuk sholat Maghrib berjamaah disana. Saya berangkat bersama bang Henry Shalahuddin dan mas Eko. Tapi lagi-lagi kemacetan Jakarta membuat kami harus tertinggal sholat berjamaah disana. Selama dijalan Prof. Mudatsir bicara tentang struktur pemerintahan di Malaysia dan juga banyak bertanya apa yang sudah dilakukan pemerintah daerah Jakarta untuk mengatasi kemacetan yang sudah sedemikian parahnya. Saya katakan bahwa sarana angkutan Busway dan Monorail adalah salah satu program yang dicanangkan oleh pemerintah untuk mengatasi kemacetan walaupun sampai saat ini belum menunjukan perubahan yang signifikan.

Kami sampai di Istiqlal sekitar jam setengah 7. Setelah sholat Maghrib dan Isya berjamaah di Istiqlal, Prof. Mudatsir yang aslinya dari Sudan ini minta diantar ke tempat perbelanjaan. Kalau yang ini tentu permintaan dari istri dan anak perempuannya juga untuk mencari oleh-oleh untuk anaknya yang lain di Malaysia. Saya memutuskan untuk mengantar beliau ke Plaza Senayan, karena saya ingat disana ada Metro yang menyediakan cukup banyak barang yang bisa untuk oleh-oleh.

Sekali lagi, rencana kami untuk bisa selesai semua urusan jam 9 malam harus gagal karena kemacetan di Jakarta hari benar-benar mengubah semua jadwal kami. Kami berangkat dari Istiqlal jam setengah 8 dan baru sampai di Plaza Senayan jam 9 pas. Alhamdulillah saya menggunakan mobil bertransmisi matic jadi cukup mengurangi penderitaan menyetir di Jakarta. Tapi saya sangat kasihan dengan Prof. Mudatsir dan keluarganya, mereka sudah terlihat sangat lelah dan bosan selama di perjalanan. Untung ketika hendak berangkat dari INSISTS sorenya saya punya inisiatif untuk mengajak bang Henry yang fasih bahasa arabnya, sehingga selama di perjalanan Prof. Mudatsir jadi lebih banyak berdiskusi dengan bang Henry.

Selesai belanja Prof. Mudatsir mengatakan, "You're all my guest now so please show me a nice and cozy restaurant and let me take you to a dinner". Alhamdulillah perut kami yang sedari sore meronta akhirnya akan diberi makan juga hehe. Berhubung yang ditunjuk sebagai tour guide adalah saya maka saya memikirkan akan saya bawa kemana ya tamu ini ? Saya sempat terpikir untuk mengajak mereka ke Arabian Cafe di Kemang agar mereka merasakan bagaimana atmosfir Timur Tengah di Jakarta. Tapi ternyata setelah sampai di daerah Kemang tentunya dengan bermacet-macet ria dahulu, tempat itu ngga saya temukan, entah memang sudah tutup atau mungkin terlewat.

Akhirnya saya berinisiatif untuk mengajak mereka ke Dakken yang masih di daerah Kemang juga, sebuah cafe yang punya speasialis steak & coffee. Alasan saya memilih di tempat itu adalah karena sepi pengunjung dan tata ruangnya pun menyerupai rumah biasa sehingga bisa lebih hangat suasananya dibanding restoran yang ramai. Kita berangkat dari Plaza Senayan sekitar jam 10an dan sampai di Kemang jam 11an, walhasil makan malam kami baru dimulai jam setengah 12 malam ! hehe...

Setelah kenyang dan mulai ngantuk, kami pun mulai beranjak pulang. Tujuan pertama tentu mengantarkan Prof. Mudatsir dan keluarganya kembali ke guest house di Pejaten. Tujuan kedua mengantarkan bang Henry dan mas Eko ke kantor INSISTS di Kalibata. Dan tujuan terakhir, tentu saja pulang ke rumah saya dan menemui Nina, istri tercinta yang kehamilannya sudah 7 bulan yang sudah saya tinggalkan seharian dari pagi. Saya sampai dirumah sekitar jam setengah 2 pagi. Alhamdulillah Nina bisa mengerti bahwa apa yang saya lakukan ini insya Allah bernilai amal baik dan semoga Allah melimpahkan balasannya kepada kami dan anak kami nanti. Amin !


Wassalamu'alaikum


PS : Rekaman diskusi di INSISTS dengan Prof. Mudatsir insya Allah akan diposting disini.

Sehari bersama Prof. Mudatsir Abdul Karim




Cerita singkatnya bisa dibaca disini.

Thursday, July 5, 2007

Diskusi INSISTS: "Pengalaman Belajar Islam di Barat"

Start:     Jul 7, '07
Tema :

Pengalaman Belajar Islam di Barat

Pembicara :

Dr. Syamsuddin Arif Ph.D*
(Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt)

Waktu :

Sabtu, 7 Juli 2007 Pukul 13.00 WIB

Tempat :

INSISTS
Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization
Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta Selatan
Tlp. 021-7940381 SMS Centre: 08111102549

Peserta Tidak Terbatas


Syamsuddin Arif, lahir 19 Agustus 1971 di Jakarta, tamat dari KMI Gontor 1989. Setelah dua tahun mengaji dan mengabdi di Majlis Qurra’ wa-l Huffazh, Tuju-tuju, Bone (Sulawesi Selatan), menempuh program S1 di International Islamic University Malaysia (IIUM) sampai selesai 1996. Kemudian melanjutkan program S2 di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) sampai selesai 1999 dengan tesis, “Ibn Sina’s Theory of Intuition”, di bawah bimbingan Alparslan Açikgenç.

Program S3-nya di ISTAC diselesaikannya pada 2004 dengan disertasi berjudul “Ibn Sina’s Cosmology: A Study of the Appropriation of Greek Philosophical Ideas in 11th Century Islam”, di bawah supervisi Paul Lettinck. Saat ini ia tengah menggarap disertasi keduanya di Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, yang disponsori oleh DAAD Jerman.

Ia pernah mengajar selama dua semester di Matriculation Centre IIUM, menjadi staf Publications Unit di ISTAC, dan dikirim oleh ISTAC ke Istanbul (Turki) selama dua bulan atas undangan IRCICA untuk mempelajari seni khat langsung dari Hasan Celebi (murid Hamid al-Amidi).
    
Di samping Arab dan Inggris, bahasa yang telah (dan masih terus) dipelajarinya antara lain Greek, Latin, Jerman, Perancis, Hebrew dan Syriac. Karya tulisnya yang telah diterbitkan antara lain: “Intuition and Its Role in Ibn Sina’s Epistemology” dalam al-Shajarah, vol. 5, no.1 (2000): 95-126, “Sufi Epistemology: Ibn ‘Arabi on Knowledge and Knowing” dalam Afkar, no.3 (2002): 81-94, dan “Intuitive Knowledge in Ibn Sina: Its Distinctive Features and Prerequisites” dalam al-Shajarah vol.7, no.2 (2002). Ia juga aktif menulis di media masa nasional seperti Republika dan Hidayatullah.

Source : insists.multiply.com