Wednesday, February 28, 2007

Battle Of Thought : Dr. Ugi Suharto V.S Taufik Adnan Amal, Quran Edisi Kritis versi Jaringan Islam Liberal Untuk Apa?

Rating:★★★★★
Category:Other

V.S

Dr. Ugi Suharto Taufik Adnan Amal



Quran Edisi Kritis (QEK) versi Jaringan Islam Liberal: Untuk Apa?
Oleh: Ass. Prof., Dr. Ugi Suharto
Dosen di Kulliyyat of ISTAC-IIUM
http://satuislam.port5.com/artdes2003/19quranek.txt



Di dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia terbitan Jaringan Islam Liberal (2002:78) dimuat sebuah tulisan berjudul "Edisi Kritis Alquran", karya Taufik Adnan Amal. Tulisan itu memberikan gambaran bahwa masih ada persoalan dengan "validitas" teks Alquran yang oleh kaum Muslim telah dianggap tuntas. Taufik Adnan Amal, dosen mata kuliah ulumul Quran di IAIN Alauddin Makassar, menulis: "Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan Alquran, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini.

Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan edisi kritis Alquran." Rencana penulisan "Edisi Kritis Quran" atau "Quran Edisi Kritis" versi kelompok Islam Liberal itulah yang pernah saya kritik, melalui dialog langsung dengan saudara Taufik Adnan Amal. Ada baiknya dialog itu saya turunkan kembali dalam website ini, agar dapat diperoleh gambaran yang memadai tentang upaya yang sudah pernah dicoba oleh para orientalis tersebut.

8 Januari 2002 (9 : 23 AM)

Ugi Suharto:

Salam khusus untuk Bung Taufik Adnan Amal. Saya sedang menulis sebuah artikel dalam Bahasa Malaysia mengenai Mushaf Usmani untuk Bulletin al-Hikmah yang diterbitkan oleh ISTAC. Diantara yang saya tulis sebagaiberikut:

"Usaha Taufik Adnan Amal dari Indonesia untuk mengeluarkan Qur'an Edisi Kritis (QEK) sebenarnya merupakan satu langkah mundur menghabiskan usianya mengekori para Orientalis tua yang dahulunya pernah mempunyai "ambitious project" tetapi telah gagal." Hal ini dinyatakan sendiri oleh Gerd-R. Puin:

"The plan of Bergstrasser, Jeffery and later Pretzl to prepare a critical edition of the Qur'an was not realized, and the collection of variants derived from real old codices failed to survive the bombs of World War II"(Lihat, The Qur'an as Text, Leiden: 1996, h. 107)

A. T. Welch dalam Encyclopaedia of Islam juga menulis mengenai keyakinan Orientalis yang semakin kendor dalam projek ini:

"Western scholarship has not reached a consensus on what value this mass of allegedly pre-Uthmanic variants has for our knowlwdge of the history of the Kur'an. Confidence in the variants declined during the 1930s as they being collected and analysed." (EI2, V 407b)

Begitu juga kata John Burton dalam EQ yang mengomentari keputus-asaan para Orientalis untuk meneruskan projek mereka:

"Interest has focused principally on the Qur'an as a literary monument and the labors of many outstanding experts might have resulted in a scholarly edition of the entire text. Such a project was, indeed, planned in the earlier years of the century by G. Bergstasser, A. Jeffry and others but was frustrated by the outbreak of the second world war." (Lihat, Encyclopaedia of the Qur'an, Leiden: 2001, h. 361)

Abu Ubayd (w. 224/838) pernah berkata:

"Perbuatan Utsman mengumpulkan dan menyusun al-Qur'an akan senantiasa diambil perkiraan, karena ia merupakan sumbangannya yang paling besar. Memang di kalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun kecacatan merekalah yang tersingkap dan kelemahan-kelemahan merekalah yang terdedah."(Lihat, Tafsir al-Qurtubi, bagian Mukaddimah, 1: 84).

Herr Taufik, was ist ihr Kommentar?
Auf Wiederh?ren.....

(Ugi Suharto, ISTAC)


8 Januari 2002 (8 : 15 PM)

Taufik Adnan Amal:

Mas Ugi, saya tidak akan banyak berkomentar. Tetapi anda terlalu jauh membandingkan upaya pembuatan Quran Edisi Kritis (QEK) dengan yang dilakukan kalangan orientalis. Sebaiknya, sebelum anda merampungkan tulisan anda untuk ISTAC itu, anda baca dulu buku saya, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, untuk memahami gagasan inti saya. Demikian pula, anda bisa mengontak teman-teman di JIL untuk mendapatkan makalah saya di TUK, "Menggagas Edisi Kritis al-Quran", supaya anda tidak terlalu dini menyimpulkan upaya QEK. Saya juga ingin meminta maaf kepada para jamaah islib, karena tidak bisa membalas posting-posting mereka yang menyangkut saya selama sebulan terakhir ini, karena sedang "nyepi" ke Maluku Utara, dan bersama beberapa teman dari FkBA yogya melakukan "wisata konflik" di berbagai bekas pusat kerusuhan disana -- sampai ke pedalaman Halmahera Utara.

Salam,
Taa

9 Januari, 2002 (9 : 47 AM)

Ugi Suharto:

Bung Taufik, terima kasih atas respon singkatnya. Saya ingin melanjutkan dialog kita.Kalau memang upaya Anda itu tidak sama dengan, dan tidak meniru-niru, apa yang ingin dibuat oleh orientalis itu, sepatutnya Anda tidak menggunakan istilah mereka "A Critical Edition of the Qur'an" alias Qur'an Edisi Kritis (QEK). Gunakan dong istilah yang lain, yang lebih kreatif.

Istilah QEK adalah istilah yang sudah mapan dikalangan orientalis yang menekuni bidang al-Qur'an dan merujuk kepada usaha mereka untuk membongkar Mushaf Usmani, baik dari segi susunan surah-surahnya, kronologinya, qiraahnya, jumlah surah dan ayat-ayatnya dan lain-lain. Pokoknya ingin "deconstruct", meminjam Derrida, Mushaf Usmani sehingga menjadi mushaf lain.

Saya sekali lagi ingin mengutip, dan ini dari Arkoun, bahwa QEK yang saya sebutkan memang bertujuan begitu, dan upaya itu sudah tidak diminati lagi oleh para orientalis kawakan pasca Noldeke-Blachere.

"Hence, the battle for a critical edition of the text of the Qur'an including most notably a chronological ranking of the suras (SEE CHRONOLOGY AND THE QUR'AN), is not as persistent as it was in the period between T. Noldeke and R. Blachere." (Encyclopaedia of the Qur'an, Leiden 2001, 1: 420b.)

Kalau memang upaya Anda itu berbeda dengan usaha orientalis yang sudah gagal itu, maka itu bukan QEK namanya, dan dari segi ilmiah Anda tidak berhak menggunakan nama itu. Kecualilah kalau Anda sendiri tidak ambil pusing tentang penggunaan istilah yang mana dengan istilah-istilah itu ilmu dan disiplin ilmu dapat berdiri dan dapat dibedakan satu sama lain. Otherwise, it will lead to a confusion.

Bung Taufik, sekian dulu dari saya.
Danke sch?n. Antworten Sie, bitte!
Wassalam

Ugi Suharto - ISTAC


10 Januari, 2002 (4: 34 PM)

Ugi Suharto:

Bung Taufik, diakhir-akhir makalah itu Anda menulis:

"Gagasan penyuntingan kembali suatu edisi kritis al-Quran yang diajukan disini, seperti terlihat, bukanlah hal yang baru atau asing dalam perjalanan historis kitab suci kaum Muslimin. Secara sporadis, gagasan ini telah diperjuangkan selama berabad-abad oleh sejumlah sarjana Muslim, tetapi tanpa membuahkan hasil yang berarti."

Setelah membaca makalah Anda, kesimpulan dan komentar saya adalah:
"Upaya Anda itu lebih kepada memperkenalkan "Ragam Bacaan (qira'ah)" dan "Ragam Tulisan (rasm)" kepada masyarakat awam. Namun Anda ingin juga menyunting bacaan-bacaan dan tulisan-tulisan tersebut kedalam Mushaf Usmani. Oleh karena itu, perbedaan upaya Anda dengan QEK versi orientalis itu just in degree and not in kind, karena sama-sama ingin mengubah Mushaf yang ada. Disisi lain Anda mengaburkan perbedaan antara "al-Qur'an" yang mutawatir, dan yang diterima oleh awam dan sarjana, dengan "qira'ah" yang kebanyakannya bukan mutawatir, dan hanya diketahui oleh para sarjana, dan Anda mencampur-adukkan antara keduanya kepada orang awam dengan gagasan penyuntingan itu.

Kalau tujuan Anda ingin mencerdaskan umat bukan dengan QEK caranya. Ajak mereka belajar Islam betul-betul dengan guru-guru yang betul juga. Atau Anda terjemahkan saja kitab-kitab tafsir besar yang memang menunjukkan qira'ah yang beragam pada tiap-tiap ayat al-Qur'an, seperti pada tafsir al-Qurtubi misalnya. Dan upaya ini lebih produktive ketimbang QEK yang malah membawa kekeliruan dan fitnah kepada umat dan kepada Anda sendiri nantinya. Percaya deh....

Anda menyatakan bahawa upaya Anda itu bukanlah baru. Saya ingin bertanya; siapa "sejumlah sarjana Muslim" yang Anda maksudkan itu yang telah memulai upaya seperti upaya Anda?

Anda mengemukakan kasus Ibnu Miqsam dan Ibnu Syanabudh yang menurut Anda "keduanya yang membolehkan kaum Muslimin menggunakan bacaan Ibn Mas'ud dan Ubay ibn Ka'b, atau bacaan dalam kerangka konsonantal apa pun yang selaras dengan kaidah kebahasaan dan masuk akal" yang menyebabkan mereka ditolak ulama Islam.Saya perlu nyatakan disini bahwa kesalahan Ibnu Miqsam dan Ibnu Syanabudh itu bukan seperti yang Anda nyatakan. Yang benar kesalahan Ibnu Miqsam karena menyepelekan sanad, dan kesalahan Ibnu Syanabudh karena menyepelekan mushaf. (Lihat, Ibn al-Jazari, Ghayat al-Nihayah, ed. G. Bergstraesser, 2: 124).

Kedua-duanya menyepelekan salah satu dari tiga rukun qira'ah yang telah disepakati oleh para ulama. Apakah Anda juga ingin mengikuti jejak langkah mereka berdua?

Dalam kasus di atas Anda tidak merujuk kepada Ibn al-Jazari yang saya sebutkan itu, tapi Anda merujuk pada Fihrist Ibn Nadim yang diterjemahkan oleh Dodge. Saya cek rujukan Anda dan saya tidak menemukan klaim Anda itu. Terjemahan Fihrist hal. 70-72 itu hanya membincangkan Ibn Syanabudh dan tidak Ibn Miqsam. Malah di situ Ibn Nadim sendiri mengatakan bahwa Ibn Syanbudh "was religious, nonaggressive, but foolish."....dan "he had little science." (hal.70) Ibn Nadim juga menyatakan bahwa Ibn Syanabudh bertaubat dan menuliskan taubatnya seperti yang dinyatakan dalam Fihrist sebagai berikut:

"I used to read expressions differing from the version of Uthman ibn 'Affan,
which was confirmed by consensus, its recital being agreed upon by the
Companions of the Apostle of Allah. Then it became clear to me that this was
wrong, so that I am contrite because of it and from it torn away. Now before
Allah, may His name be glorified for from Him is acquittal, behold the
version of 'Uthman is the correct one, with which it is not proper to differ
and other than which there is no way of reading."
(h. 72)

Jadi apa alasan Anda membela-bela Ibn Miqsam dan Ibn Syanabudh yang telah ditolak oleh para sarjana itu? Anda sendiri mengakui bahwa usaha mengubah Mushaf Usmani itu tidak "membuahkan hasil yang berarti." Itulah yang saya katakan sebagai langkah mundur! Ketika para ulama kita berbincang mengenai ijtihad, ia tidak ditujukan kepada usaha untuk menyalahi Mushaf Usmani. Upaya Anda itu tidak masuk dalam ruang lingkup ijtihad. Ini sekali lagi salah kaprah menggunakan istilah "ijtihad". Apa beda "Ijtihad" atau pembaharuan Mushaf Usmani dengan membunuh mushaf itu? Sekian dulu, karena sudah terlalu panjang. Salam 'ala man ittaba'a al-huda

Ugi Suharto – ISTAC


11 Januari, 2002 (12 : 47 AM)

Taufik Adnan:

Bung Ugi,

1. Anda tampaknya mereduksi kandungan tulisan itu hanya pada aspek kiraat. Ada hal lainnya, yang luput dari pembacaan anda, yakni penyempurnaan ortografis mushaf utsmani. Alasan kenapa rasm ini mesti disempurnakan telah dikemukakan dalam tulisan itu. Saya tidak sependapat dengan pandangan yang menenggelamkan berbagai inkonsistensi ortografis teks utsmani ke dalam doktrin i'jaz al-Quran.

2. Anda masih belum bisa membedakan antara gagasan QEK dengan gagasan para orientalis, yang menghendaki adanya versi alternatif al-Quran – sebagaimana yang eksis dalam tradisi biblical studies. Upaya peramuan ragam bacaan -- termasuk di luar tradisi kiraat tujuh -- dan penyempurnaan ortografis ditujukan untuk menghasilkan teks dan bacaan yang lebih baik dibandingkan yang ada sekarang ini -- alasan dan argumentasi untuknya dikemukakan dalam tulisan itu. Ikhtiyar dan irtijal tentu saja akan dimanfaatkan untuk hal tersebut, dan gagasan Ibn Mujahid yang menabukan penggabungan ragam kiraah yang memiliki asal-usul berbeda tentu saja mesti dilangkahi, karena, seperti disebutkan, sistem-sistem bacaan yang ada, termasuk kiraat tujuh, dibangun dengan cara semacam itu.

3. Kenapa kiraat di luar tradisi utsmani digunakan?

Alasannya sederhana sekali: kiraat pra-utsmani terkadang memberikan makna yang lebih masuk akal dibanding kiraat dalam tradisi teks utsmani. Saya ingin mengulang kembali contoh yang pernah dikemukakan Luthfi dalam postingnya yang terdahulu: Bacaan "ibil" (unta, 88:17) dalam konteks 88:17-20, sangat tidak koheren dengan ungkapan "al-sama'" (langit), "al-jibal" (gunung-2), dan "al-ardl" (bumi). Dalam bacaan Ibn Mas'ud, Aisyah, Ubay, kerangka grafis yang sama dibaca dengan mendobel "lam", yakni "ibill" (awan). Bacaan pra-utsmani ini, jelas lebih koheren dan memberikan makna yang lebih logis ketimbang bacaan mutawatir ibil. Demikian pula, bacaan Ubay dan Ibn Mas'ud "min dzahabin" untuk 17:93, memiliki makna yang lebih tegas dibanding bacaan "min zukhrufin" dalam teks utsmani. Masih banyak contoh lainnya yang bisa dielaborasi untuk butir ini.

4. Yang biasanya dipandang sebagai bacaan-bacaan mutawatir, pada hakikatnya adalah bacaan yang ditransmisikan secara tunggal (ahad) dari Nabi ke para imam kiraat yang populer. Mata rantai periwayatannya baru bersifat mutawatir dalam trasmisinya dari para imam tersebut. Hal ini telah dikatakan jauh hari oleh al-Zarkasyi.

5. Saya pikir upaya penerjemahan tafsir-tafsir klasik itu bagus. Tetapi, dengan begitu kita hanya produktif sebagai perekam yang pasif. Kalau upaya ini dijalankan dalam semua lini, kita tentunya berada dalam posisi status quo.

6. Selain Ibn Miqsam dan Ibn Syanabudz, Isa ibn Umar al-Tsaqafi bisa disebut untuk sarjana yang tidak sepakat dengan penunggalan teks (utsmani). Sementara pertikaian di kalangan sarjana Muslim tentang kiraah sepuluh dan kiraah empat belas merupakan upaya untuk memperluas cakupan lectio vulgata di luar tradisi kiraat tujuh. Di bidang ortografi, Abu Bakr al-Baqillani, Izz al-Din Abd al-Salam, merupakan sarjana stok masa lalu yang tidak menyepakati pembakuan teks utsmani. Untuk periode modern, beberapa nama yang disebut dalam tulisan merupakan contohnya.

7. Ibn Miqsam memang membolehkan umat Islam menggunakan bacaan dalam kerangka konsonantal apapun yang selaras dengan kaidah kebahasan dan logis. Dalam ilmu kiraat, hal ini dikenal sebagai pembacaan "'ala qiyas (aw madzahib) al-'arabiyyah" atau "irtijal". Karena itu, prasyarat kesesuaian dengan teks terkadang tidak terpenuhi. (Tentang Ibn Miqsam, bisa dilihat dalam Ibn Miskawaih, Tajarib, ed. Amedroz, 1, 285,13).

Sementara Ibn Syanabudz seperti kutipan mahdar dari fihrist dipersalahkan karena membaca, dan membolehkan umat Islam membaca, menurut bacaan para sahabat -- penelitian dari ragam bacaannya dalam Fihrist menunjukkan ia lebih cenderung kepada Ibn Mas'ud dan Ubay. Dengan demikian, Ibn Syanabudz melangkahi prasyarat mutawatir. (Ketiga prasyarat yang lazim disepakati -- ketiganya, dalam gagasan ortodoksi, merupakan kesatuan) adalah mutawatir, keselarasan dengan teks utsmani, dan keselarasan dengan kaidah bahasa. Penolakan terhadap kedua pakar ini syarat dengan nuansa politik -- para wazir Abasiyah terlibat secara intens dalam hal ini!

8. Ikhtiyar dan irtijal dalam rangka menyusun suatu sistem bacaan adalah ijtihad. Kaitannya sangat jelas. Anda bisa lihat, dengan ditutupnya pintu ijtihad pada abad ke-10, tidak ada lagi upaya yang substansial untuk membangun sistem kiraat tersendiri. Upaya-upaya semacam ini, dalam doktrin Ibn Mujahid yang telah disitir, tidak diperbolehkan lagi. Kalau ijtihad setelah itu hanya bisa dilakukan secara parsial, maka dalam bidang kiraat, ikhtiyar hanya digunakan untuk mematut-matut mata rantai periwayatan kiraat.

9. Dengan menyunting kembali mushaf utsmani, seperti digagaskan, mushaf ini akan semakin lebih konsisten dan logis.

Salam
Taa


11 Januari, 2002 (3 : 13 PM)

Ugi Suharto:

Saudaraku Bung Taufik,

Mungkin ini posting terakhir saya mengenai dialog kita. Saya kini sudah mengetahui posisi Anda dengan lebih tepat. Jadi saya ada justifikasi yang lebih kuat untuk tetap memasukkan nama Anda, dalam tulisan saya, sebagai orang yang terpengaruh dengan gagasan QEK orientalis. Sebelum saya menutup dialog ini saya ingin sekali lagi memberi komentar atas tanggapan Anda pada posting yang lalu.

Saya tidak mereduksi makalah Anda. Saya tahu skop perbincangan Anda, oleh sebab itu saya katakan bahwa Anda ingin memperkenalkan "ragam qira'ah" dan "ragam rasm" kepada masyarakat awam. Sengaja saya fokuskan komentar saya pada aspek qira'ahnya saja karena itu yang paling penting. Dan buktinya ketika Anda memberikan komentar kembali Anda pun lebih memfokuskan pada qira'ah juga. Karena ini memang isunya yang paling utama. Adapun mengenai tulisan teks (rasm) itu bukan isu utama, buktinya adalah sampai hari ini umat Islam dan ulama Islam tetap membenarkan wujudnya "rasm usmani" dan "rasm imla'i", kedua-dua rasm ini tetap dipakai sampai hari ini. Jadi tidak ada bantahan terhadap Imam al-Baqillani rahimahullah.

Anda tahu bahwa para ulama sepakat bahwa "al-rasm tabi'u li al-riwayah". Nah, lalu kenapa isu ortografi ini dibesar-besarkan? Ini adalah agenda para orientalis yang ingin menyodorkan konsep mereka "reading follows the text". Bagi para orientalis ini, text itulah yang penting, (kerana mereka memang dari tradisi Ahlul Kitab, yang kata al-Attas, "bookish") dan perbedaan bacaan adalah disebabkan karena text Usmani itu pada asalnya tidak ada titik dan harakahnya.

Gagasan ini dikemukakan oleh Ignaz Goldziher dalam bukunya "Die Richtungen der islamischen Korananslegung" (Leiden: E. J. Brill, 1970), h. 3-4. Silahkan rujuk. Cara membaca sejarah al-Qur'an ala Goldziher ini salah. Karena, kalaulah benar dakwaan Goldziher bahwa perbedaan bacaan itu bersumber dari teks yang tidak ada titik dan harakahnya, sudah tentu tidak ada lagi qira'ah tujuh, sepuluh, atau empat belas itu, dan sudah tentu terlalu banyak qira'ah yang beredar dan diakui dari dahulu hingga kini, termasuklah qira'ah yang tidak tsabit dari Rasulullah (SAW). Fakta dan realitas ini bertentangan dengan kesimpulan Goldzhiher.

Saya berharap Bung Taufik tidak terperangkap dengan agenda halus mereka. Ingat Goldziher itu pernah meluahkan isi hatinya memuji Islam dan al-Qur'an. Namun sayang Goldziher yang kita ketahui itu adalah seseorang yang sangat keras penentangannya terhadap Islam dan sumber-sumber Islam, dan bukan kah Goldziher yang pernah menggoreskan kata-katanya dalam dirinya sebagai berikut:

"I truly entered into the spirit of Islam to such an extent that ultimately I became inwardly convinced that I myself was a Muslim, and judiciously discovered that this was the only religion which, even in its doctrinal and official formulation, can satisfy philosophical minds. My ideal was to elevate Judaism to a similar rational level." (Lihat Muhammad Zubayr Siddiqi, Hadith Literature, The Islamic Text Society, 1993, h. 124-125 yang diambil dari R. Patai, Ignaz Goldziher and His Oriental Diary, Detroit: 1987, h. 20).

Bung Taufik,

Contoh-contoh qira'ah yang Anda kemukakan untuk dijadikan QEK itu sudah diketahui oleh para sarjana. Mereka tidak keliru seperti Anda, dengan mencampur-adukkan antara qira'ah dan al-Qur'an. Contoh "ibil" dengan "ibill" yang Anda pilih juga sudah diketahui lama oleh mereka. Lihat saja dalam tafsir al-Qurtubi yang bagi Anda menterjemahkannya itu sama dengan status quo alias mandeg.

Saya akan buktikan bahwa Anda belum melampaui apa-apa dari Imam al-Qurtubi itu dan Anda mungkin belum membacanya juga mengenai "ibil” (takhfif) dan "ibill" (tatsqil) disitu. Dalam tafsir itu dikatakan oleh imam al-Mawardi bahwa perkataan "ibil" (takhfif) mempunyai dua makna: pertama unta, dan yang kedua awan yang membawa hujan. Dari sini kita berkesimpulan bahwa rasm "ibil" itu bisa memuat makna unta dan awan sekaligus, sedangkan apabila ditulis "ibill" (tatsqil) ia hanya memuat makna awan semata-mata.

Jadi mana yang lebih komprehensif menurut "akal" Anda? Satu lagi, menurut al-Qurtubi perkataan "ibil" itu mu'annats (feminin) oleh itu sesuai dengan ayatnya "khuliqat". Bagaimana dengan "ibill"? Saudaraku Bung Taufik,Saya kira sampai disini saja dialog kita. Anda berhak untuk membuat komentar atas komentar saya ini, tapi saya mungkin tidak akan menjawabnya. Saya kira sudah memadai bagi saya untuk mengetahui posisi Anda. Jadikanlah semua komentar itu sebagai nasihat. Ad-Din an-Nasihah.

11 Januari, 2002 (11 : 19 PM)

Taufik Adnan Amal:

Aufwiederhoeren Mas Ugi.
Taa

________________________________________________


Dr. Ugi Suharto. Di Indonesia nama Ugi Suharto masih belum dikenal. Sebelumnya, dia adalah dosen S2 dan S3 di ISTAC Malaysia. Sekarang, di Universitas Islam Antarabangsa (IIUM), Malaysia. Beliau merupakan ilmuwan Islam langka di Indonesia. Selain dikenal pakar ekonomi syariah, dia juga pakar dalam bidang pemikiran Islam, sejarah dan metodologi hadits. Selain mengajar ekonomi Islam, dia juga pernah mengajar ilmu hadits untuk mahasiswa S-2 dan S-3 di ISTAC.

Posisi dalam pekerjaan : 1. Assistant Prof. at IIUM Malaysia, 2. Head of Islamic Enhancement Committe, 3. Coordinator for Islamic Civilization Courses, 4. Member of Format Commiter for M.A Thesisi and Ph.D. Dissertation, 5. Supervising and Co-supervising M.A and Ph.D. Theses dan juga seorang peneliti di INSIST.

*******

Taufik Adnan Amal. Penulis buku Islam dan Tantangan Modernitas (Mizan, 1989). Kini mengajar di Fakultas Syariah IAIN Alauddin, Makassar. (http://islamlib.com/id/index.php?page=archives&mode=author&id=45)









Tuesday, February 27, 2007

Diskusi INSISTS: Tafsir Al-Qur'an, Relatif atau Absolut ?

Start:     Mar 3, '07
Location:     Kantor INSISTS, Jl. Kalibata Utara II/84 Jakarta
Orang sering mengenal istilah “Islam Arab”, “Islam Jawa”, “Islam Cina”, “Islam Amerika”, “Islam Radikal”, “Islam PKS” dan sebagainya. Mana yang benar?

Hidayatullah.com--Islam sebagai agama wahyu yang final dan otentik telah dicoba untuk dipahami dengan metodologi Barat yang sekular dan liberal. Sebuah metodologi yang telah berhasil mem-Barat-kan Kristen dan Yahudi sehingga kehilangan nilai-nilai spiritual dan ketuhanan.

Islam yang sama sepanjang sejarahnya, dari generasi ke generasi, dari satu tempat ke tempat lain hendak dilokasir dalam batasan tempat dan zaman. Sehingga selalu dikumandangkan Islam Arab, Islam Jawa, Islam Cina, Islam Amerika, Islam Hongkong, Islam Radikal, Islam PKS, Islam Hizbut Tahrir, Islam NU, Islam Muhammadiyah atau ”Islam abad ke-7”, ”Islam abad ke-10”, atau ”Islam abad ke-21”. dan sebagainya.

Serangan terhadap Islam sering diarahkan pada metode tafsir Al-Qur’an yang sebenarnya telah mempunyai bangunan yang kokoh dan mengakar. Pendekatan yang hendak digunakan menggeser metode tafsir ini adalah hermeneutika Barat yang berakar pada paham relativisme kebenaran.

Maka Al-Qur’an pun dipahami dengan pendekatan dikhotomis, Al-Qur’an yang sakral dan yang profan. Menurut kalangan liberal, Al-Qur’an yang sakral adalah yang berada di Lauhul Mahfudz, atau pesan-pesan yang terdapat di dalamnya yang "masih dalam pencarian".

Selanjutnya mereka juga membagi pada sisi historis dan sisi Ilahi. Yang historis adalah sisi yang mengharuskan pemahaman konteks turunnya wahyu sesuai dengan kondisi masyarakat, tempat, situasi sosial, politik, ekonomi dan budaya saat itu. Sehingga dengan penafsiran seperti ini, banyak sekali hukum-hukum Al-Qur’an –menurut mereka— sudah tidak dapat dipaksakan untuk saat ini. Seperti larangan pernikahan sejenis, pernikahan antara muslimah dengan non muslim, persamaan hukum waris, hukum hudud, rajam dsb.

Benarkah ayat-ayat Al-Qur’an mengandung penafsiran yang relatif, nisbi dan senantiasa berubah menurut situasi yang mengiringinya? Benarkah metode tafsir Al-Qur’an tidak mempunyai kaedah baku sehingga dapat ditafsiri secara liar, dan sesuai dengan latar belakang kepentingan dan psikologis si penafsir? Benar semua orang berhak menafsirkan Al-Qur’an dengan kualitas hasil yang sama relatifnya, kemudian masing-masing tidak berhak mengklaim bahwa penafsirannya lebih benar dari yang lainnya? Bagaimana seharusnya menafsirkan Al-Qur’an? Dan sudahkah Anda berhak menafsirkannya?

Ikuti diskusi sabtuan khazanah dan peradaban Islam di kantor INSISTS, Jl. Kalibata Utara II/84 Jakarta. Konfirmasi peserta di 021-7940381, atau hubungi Nandi 0817 689 5797.

Tanggal: 3 Maret 2007

Jam: 10.00 sampai 12.00

Pembicara: Syeikh 'Abdurrahman al-Baghdadi
(Pakar tafsir dan fiqih, pengajar kajian kitab Ahkam Al-Qur’an untuk para ustadz dan muballigh di Pesantren Tinggi Husnayain).

Nb. Panitia hanya menyediakan 40 kursi dan 40 makalah. Kehadiran anda tepat pada waktunya, mempercepat kejayaan Ummat.

Saat penglihatan kembali tajam

Assalamu'alaikum,


Syukur alhamdulillah sepatutnya kita selalu ucapkan kepada pencipta kita yaitu Allah swt yang dengan salah satu dari sekian banyak ciptaannya yaitu mata, kita bisa melihat dan membaca tulisan ini. Mata adalah anugerah Allah yang tak ternilai harganya. Tidak ada satu pun teknologi di dunia ini yang mampu membuat mata atau yang sepertinya. Dengan mata kita mampu melihat keindahan dunia. Laut dengan panorama sunrise dan sunsetnya, pegunungan dengan air terjunnya. Taman dengan bunga-bunganya yang berwarna cerah ceria dan berbagai macam keindahan alam lainnya.

Sesuai dengan apa yang dikatakan al Quran, bahwa segala sesuatu nanti pasti binasa, mata pun begitu dan juga mempunyai umur atau masa pakai. Biasanya semakin berumur seseorang, maka penglihatannya semakin kabur atau tidak jelas atau bisa jadi malah semakin tajam. Tetapi ada juga yang masih muda tetapi penglihatannya sudah kabur, begitupun ada pula yang sejak muda sampai masa tua penglihatannya tetap tajam. Penglihatan yang dimaksud adalah penglihatan mata hati. Kemampuan seseorang membaca tanda-tanda alam dan ayat-ayat Allah di masa ini sungguh-sungguh merupakan perjuangan. Kabut hedonisme dan awan gelap materialisme semakin hari semakin tebal, memaksa kita memicingkan mata untuk melihat lebih jelas apa yang ada didepan kita.

Kesenangan duniawi saat ini sangat mudah membutakan mata dan melupakan datangnya hari akhir. Manusia berlomba-lomba menimbun kekayaan tanpa mau berpikir lagi tentang perlu tidaknya bersyukur. Dunia memang tempat yang ampuh untuk membutakan mata.

Tapi ternyata, ada saatnya nanti ketika mata kita yang rabun, bisa kembali tajam daya lihatnya, bahkan yang sudah buta sekalipun. Kapankah itu ? Al Qur'an menjelaskan tentang hal ini di surat Qaaf ayat 20 sampai 22.

20. Dan ditiuplah sangkakala, dan demikian itulah hari yang dijanjikan (kiamat)

21. Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi.

22. Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.

Sayang....saat mata kita kembali tajam, bukan pemandangan indah lagi yang terlihat. Melainkan hari pembalasan yang setiap manusia tidak dapat lari darinya. Semoga bisa menjadi dijadikan pelajaran bagi kita semua untuk menggunakan mata dan juga kehidupan pemberian dari Allah ini dengan sebaik-baiknya.


Wassalamu'alaikum

Tuesday, February 20, 2007

Islamic Book Fair Jakarta 2007

Start:     Mar 3, '07
End:     Mar 11, '07
Location:     Istora Senayan Jl. Asia Afrika Jakarta
Nama Acara : Islamic Book Fair Jakarta 2007

Deskripsi : Memamerkan buku-buku Islam dari ratusan pengarang dan penerbit. Akan diadakan juga launching-launching dair beberapa buku serta diramaikan pula oleh talkshow-talkshow.

Jadwal : Tgl. 03/03/2007 s/d 11/03/2007
Jam. 10:00 s/d 22:00

Lokasi / Tempat : Istora Senayan Jl. Asia Afrika Jakarta

Kontak / Telepon : Informasi / 021-7191612

Monday, February 19, 2007

Pengajian : Hidayah Dijemput atau Menjemput ?

Start:     Feb 22, '07
Location:     Masjid Al Hakim Sucofindo Jl. Raya Pasar Minggu Kav. 34 Jakarta Selatan 12780

Sering kali kita sering berujar : "Maaf, saya tidak ada waktu untuk Ngaji, maklum belum dapat HIDAYAH"…"Suatu saat saya pasti pakai jilbab, tapi tidak sekarang. Soalnya saya belum dapat hidayah" ….."Saya belum sempat naik haji tahun ini, kelihatannya saya belum dapat hidayah ya?", ...ataupun ungkapan lainnya yang terkadang sering menghampiri diri kita ataupun kita dengar dari orang-orang disekitar kita. Di mana, ungkapan-ungkapan itu senantiasa mengajak kita untuk "menyalahkan" HIDAYAH, Kita belum soleh-lah, belum ber-Islam secara baik-lah yang kemudian bermuara pada HIDAYAH TIDAK MENGHAMPIRI KITA.

Allah selalu memberi petunjuk kepada siapa saja yang mencari kebenaran, di mana pun hamba-Nya berada, di biara sekali pun. Itulah yang terjadi pada Irena Handono, mantan biarawati yang mendapat hidayah justru saat mencari kelemahan Islam. Ketika membaca surat Al Ikhlas hatinya tunduk akan keesaan Allah SWT. Ia mengakui bahwa tak ada yang paling berkuasa dan patut disembah di jagad raya ini selain Sang Khalik. (Sumber : http://cafe.degromiest.nl/)

Pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah, HIDAYAH itu, DIJEMPUT atau MENJEMPUT?

Terkait hal tersebut, LAZ PortalInfaq bekerjasama dengan Majelis Ta'lim Al Hakim-PT. (PERSERO) SUCOFINDO serta FS KLIK (Forum Silaturrahim Kajian Islam Lintas Kuningan) dan Majelis Ta'lim An-nissa, mengadakan KAJIAN BULANAN MASYARAKAT PERKANTORAN JAKARTA, yang akan diadakan pada :

Hari/Tanggal

:

Kamis, 22 Februari 2007
Pukul. 17.30 s/d 21.00 WIB (Shalat Maghrib berjamaah)

Tema

:

HIDAYAH, DIJEMPUT ATAU MENJEMPUT

Nara Sumber

:

Ust. Sahrul Syah (Juri Pildacil)

Bintang Tamu

:

Ustadzah Irena Handono (Mantan Biarawati)

Tempat

:

Masjid Al Hakim Sucofindo Jl. Raya Pasar Minggu Kav. 34 Jakarta Selatan 12780


Bagi Setiap peserta yang hadir mendapat majalah Islam Gratis dan souvenir lainnya, juga disediakan doorprice saat acara berlangsung dari Majalah Gontor.

Hadiri dan sebarkan informasi kebaikan ini ke rekan-rekan Saudara atau ke milis-milis yang Saudara ikuti. Terima Kasih atas kesediaannya memforward informasi acara ini. Acara ini GRATIIIISSS...!!!

Monday, February 12, 2007

Dialog Interaktif tentang "Pernikahan" (Buat yang belum nikah neh...)

Start:     Feb 17, '07
End:     Mar 17, '07
Location:     Mesjid Raya At-Taqwa, Pasar Minggu Jakarta Selatan
Assalamu'alaikum Wr.Wb

Untuk para Calon Pengantin Pria dan Calon Pengantin Wanita, silahkan berkesempatan untuk hadir dan menyimak acara; Dialog Interaktif "Pernikahan" dengan para Guru Dakwah.

Tempat: Mesjid Raya At-Taqwa, Pasar Minggu Jakarta Selatan
Waktu: Setiap Malam Ahad 19.30-06.00 wib (MABIT)


Jadwal Februari - Maret 2007


Tanggal: 17-Feb-07
Tema; Mengkondisikan Orang Tua
Pembicara: Ust. Ferry Noer. Ssi

Tanggal: 24 Feb-07
Tema: Khitbah, NIkah, dan Walimah
Pembicara: Ust. HIlman Rosyad Syihab, Lc

Tanggal: 3-Mar-07
Tema: Bila Jodoh Tak Kunjung Datang
Pembicara: Ust. Abdul Aziz Abdurra'uf, Lc. Al-Hafidz

Tnggal: 10-Mar-07
Tema: Bila dilamar/menikah dengan seseorang yang tidak "Tarbiyah"
Pembicara: Ust. Ferry Noer, Ssi

Tanggal: 17-Mar-07
Tema: Poligami: Solusi atau Masalah
Pembicara: Ust. Satria Hadi Lubis, MM. MBA

Partisipasi Acara: Rp.10.000,- (1x pertemuan bayar di tempat)
Info LEngkap: 021-92921514 / 08588 58 58 273

Semoga Manfaat...

Wassalamualaikum

Diskusi di INSISTS "Relativisme Kebenaran: Tren Baru Beragama Masyarakat Modern (Dari Nurcholish Madjid sampai Nasr Hamid Abu Zaid)"

Start:     Feb 17, '07
Location:     INSISTS Jakarta Jalan Kalibata Utara II/84 Jakarta

Hadiri diskusi Sabtuan di kantor INSISTS dengan tema; "Relativisme Kebenaran: Tren Baru Beragama Masyarakat Modern (Dari Nurcholish Madjid sampai Nasr Hamid Abu Zaid)"


Hidayatullah.com--Hampir tidak satu pun kalangan pemikir liberal yang menolak keabsahan paham relativisme; sebagai pola pikir, metode bahkan mendudukkannya sebagai hakekat kebenaran itu sendiri.

Relativisme adalah akar dari liberalisme, sekularisme, pluralisme agama dan feminisme. Dalam dunia akademis saat ini,--di samping dunia politik tentunya-- paham relativisme seringkali dijumpai. Bahkan oleh banyak khalayak, paham relativisme diyakini sebagai paham moderat yang tidak suka main "hitam-putih".

Hampir tidak satu pun kalangan pemikir liberal yang menolak keabsahan paham relativisme; sebagai pola pikir.

Bahkan, Prof. Dr. Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah menegaskan mutlaknya kebenaran relatif dengan mengatakan bahwa kebenaran Al-Quran adalah mutlak, karena berasal dari yang Maha Mutlak. Tetapi kemutlakan tersebut menjadi nisbi saat memasuki otak dan hati manusia. Maka segala penafsiran tentang Al-Quran, kata dia, tidak pernah mencapai posisi mutlak benar, siapa pun manusianya. Syafii memandang orang yang memutlakkan penafsirannya, berarti ia telah mengambil alih otoritas Tuhan, yang artinya sejajar dengan syirik.

Relativisme, adalah sebuah doktrin bahwa ilmu pengetahuan, kebenaran dan moralitas wujud dalam kaitannya dengan budaya, masyarakat maupun konteks sejarah, dan semua hal tersebut tidak bersifat mutlak. (the doctrine that knowledge, truth, and morality exist in relation to culture, society, or historical context, and are not absolute).

Di jaman modern ini, relativisme digunakan sebagai pendekatan ilmiah dalam kajian sosiologi dan antropologi. Anehnya, relativisme sebagai pendekatan dalam disiplin ilmu sosiologi dan antropologi, oleh sebagian tokoh justru digunakan untuk membedah dan menjadi hakim atas teks-teks keislaman; termasuk Al-Qur'an dan al-Hadits.

Tak mengherankan, bila kemudian "ijtihad" yang dihasilkannya pun terkesan benar-benar "baru" dan belum pernah dikenal sebelumnya. Sebagai contoh persamaan bagian waris antara laki-laki dan perempuan, bolehnya pernikahan Muslimah dengan non Muslim, Al-Qur'an bukanlah kitab suci dan tidak pernah diniatkan untuk itu, halalnya homoseksual, laki-laki harus terkena 'iddah seperti halnya wanita, semua agama sama-sama benarnya dan punya hak yang sama mendapatkan surga dsb.

Bagaimana sebenarnya kedudukan relativisme dalam kajian agama? Bukankah Imam Syafii juga pernah mengatakan: "Pendapatku benar namun mengandung kesalahan, dan pendapat selainku salah namun mengandung kebenaran?" Dan apakah dampak serius relativisme bila diterapkan dalam studi agama Islam? Apakah perbedaan relativisme dengan konsep ilmu dalam Islam?

Ikuti diskusi Sabtu-an di kantor INSISTS Jakarta Jalan Kalibata Utara II/84 Jakarta, telpon, 021-7940381 dengan tema; "Relativisme Kebenaran: Tren Baru Beragama Masyarakat Modern (Dari Nurcholish Madjid sampai Nasr Hamid Abu Zaid)".

Pemateri: Henri Shalahuddin, MA, alumni Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo dan lulusan ISTAC, Malaysia, pada Pukul 10-12 WIB; 17 Februari 2007.

Untuk konfirmasi tempat, silahkan hubungi 021-7940381; atau sms (08176895797; 081316663707). Bagi peserta akan disediakan makalah.

Sunday, February 11, 2007

Daftar Tema Diskusi INSISTS Tahun 2007

Rating:★★★★★
Category:Other
Daftar Tema Diskusi INSISTS Thn 2007




NoTemaTanggalPemateri
1Mengapa Barat menjadi sekuler-Liberal?10-FebAdian Husaini, MA
2Membedah Relativisme Beragama Nurcholish Madjid17-FebHenri Shalahuddin, MA
3Tafsir al-Maidah 69 dan al-Baqarah: 6224-FebDR. Mukhlis Hanafi
4Kritik terhadap Sekularisasi Nurcholish Madjid03-MarAdnin Armas, MA
5Konsep Islam sebagai satu-satunya Agama Wahyu10-MarAdian Husaini, MA
6Konsep Islamisasi Ilmu17-MarAdnin Armas, MA
7Teori Penafsiran al-Qur'an Nasr Hamid Abu Zaid24-MarHenri Shalahuddin, MA
8Membedah Hermeneutika Filsafat31-MarAdnin Armas, MA
9Respon Kristen terhadap Modernitas: Studi Kasus Gereja Katolik07-AprAdian Husaini, MA
10Integritas Pemikiran Islam: Studi Kasus Kitab Ihya Imam al-Ghazali14-AprHenri Shalahuddin, MA
11Kritik Pemikiran Arkoun tentang Studi al-Qur'an21-AprAdnin Armas, MA
12Sejarah Konflik Islam dan Barat28-AprAdian Husaini, MA
13Apa Bedanya Mu'tazilah dan Islam Liberal? Studi Kasus al-Quran05-MayHenri Shalahuddin, MA
14Pluralisme, Freemason dan Teoshopi12-MayAdnin Armas, MA
15Kristenisasi di Indonesia: Tinjauan Historis dan Teologis19-MayAdian Husaini, MA
16Pengaruh Kristen terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd26-MayHenri Shalahuddin, MA
17Mengkaji Perdebatan Filsafat antara al-Ghazali dan Ibn Rusyd 02-JunAdnin Armas, MA
18al-Ghazali dan Perang Salib: Studi Kasus Kebangkitan Islam Abad 1209-JunAdian Husaini, MA
19Konsep Ilmu dalam Islam16-JunAdnin Armas, MA





* Susunan tanggal dan tema menyesuaikan waktu dan kesediaan pemateri


Tempat: Kantor INSISTS


Jl. Kalibata Utara II/84 Telp 021 7940381


Waktu: 10.00 - 12.00 WIB

Friday, February 9, 2007

Seminar Gerakan Pembaharuan Islam, 3 February 2007


Adian Husaini, MA, lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, Indonesia, pada tanggal 17 Desember 1965. Pendidikan Islam diperoleh dari Madrasah Diniyah Nurul Ilmi Bojonegoro (1971-1977), Pondok Pesantren Ar Rasyid Kendal Bojonegoro (1981-1984), Pondok Pesantren Ulil Albab Bogor (1988-1989), dan Lembaga Pendidikan Bahasa Arab, LIPIA Jakarta (1988).

Gelar Master dalam bidang Hubungan Internasional diperoleh dari Pasca Sarjana Program Hubungan Internasional Universitas Jayabaya Jakarta, dengan tesis berjudul PRAGMATISME POLITIK LUAR NEGERI ISRAEL. Saat ini sedang menempuh pendidikan program Ph.D. di Institute of Islamic Thought and Civilization-International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM).

Aktivitas ilmiah dan organisasi adalah sebagai peneliti di Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Jakarta, peneliti di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSIST), Staf di Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (PKTTI-UI) Jakarta. Juga menjabat sebagai Sekjen Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam/KISDI, Sekjen Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina-Majelis Ulama Indonesia (KISP-MUI), dan Anggota Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pernah menjadi wartawan di Harian Berita Buana Jakarta, Harian Republika Jakarta, dan analis berita di Radio Muslim FM Jakarta, serta dosen Jurnalistik dan pemikiran Islam di Universitas Ibnu Khaldun Bogor dan Pesantren Tinggi (Ma’had ‘Aly) Husnayain Jakarta.

Inilah sedikit oleh-oleh foto dari seminar tanggal 3 kemarin. Untuk file audio seminarnya bisa didownload disini :

http://indrayogi.multiply.com/music/item/133

Semoga bermanfaat !


"Barangsiapa yang menempuh jalan yang menuju ke pengetahuan, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga, dan para malaikat mengembangkan sayapnya karena senang pada orang yang mengincar ilmu, serta seluruh penghuni surga dan bumi bahkan ikan di kedalaman lautan, memohon ampunan untuknya" [HR.Ibnu Hanbal 196]

Tuesday, February 6, 2007

Diskusi di INSISTS (Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?)

Start:     Feb 10, '07
Location:     Kantor INSISTS, Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta
Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?

Dari delapan peradaban besar yang eksis, menurut Huntington, peradaban Barat lah yang sekarang menguasai umat manusia. Tapi mengapa Barat menjadi Sekuler-Liberal?

Hidayatullah.com--Pada kondisi di mana hegemoni peradaban Barat terjadi pada hampir seluruh aspek kehidupan umat Islam – termasuk dalam bidang pemikiran Islam – maka disamping memahami Islam, memahami peradaban Barat juga sebuah keniscayaan.

Dari delapan peradaban besar yang eksis saat ini (menurut Huntington), maka peradaban Barat adalah beradaban besar yang sekarang menguasai umat manusia. Karena itu, peradaban Barat perlu dikaji dengan cermat dan serius.

Banyak ilmuwan muslim telah melakukan pengkajian yang mendalam tentang peradaban Barat, seperti Dr. Moh. Iqbal, Sayyid Quthub, Abul Hasan Ali an-Nadwi, Mohammad Asad (Leopold Weiss), Prof. Syed Muhammad Nuquib al-Attas, dan sebagainya. Pandangan dan kritik al-Attas telah dimasukkan ke dalam buku Powerful Ideas yang terbit di Australia dan dipandang sebagai salah satu pemikiran penting dalam sejarah manusia.

Apa sebenarnya peradaban Barat dan mengapa peradaban ini berkembang dari peradaban yang didominasi Kristen kemudian berubah menjadi sekular-liberal?

Bagi seorang Muslim, sangatlah penting untuk melihat peradaban Barat dalam perspektif yang tepat. Bisa dikatakan, munculnya berbagai corak dalam pemikiran Islam modern, salah satunya berawal dari cara mempersepsikan peradaban Barat. Bagi tokoh Gerakan Turki Muda, Abdullah Chevdet, misalnya, jika umat Islam mau maju, maka mereka harus mengambil Barat secara total. Jika mengambil mawar, katanya, maka ambil bunganya sekaligus durinya.

Pengalaman Barat sampai menjadi sekular-liberal sangat penting untuk dikaji, sehingga bisa ditelaah dengan tepat, apakah umat Islam perlu atau tidak mengikuti jejak Barat dalam pengembangan sekularisasi dan liberalisasi. Untuk mendiskusikan masalah ini, silakan hadir dalam diskusi Sabtuan di kantor INSISTS-Jakarta.

Diskusi akan dilaksakan pada tanggal 10 Februari 2007, pukul 10.11 WIB sampai 12.00 WIB. Pemateri dalam kajian ini adalah peneliti INSISTS Adian Husaini, yang juga penulis buku ”Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal”, sebuah buku yang mendapat penghargaan sebagai buku terbaik dalam kategori non-fiksi pada Islamic Book Fair di Jakarta, tahun 2006.

Peminat silakan mendaftar ke sekretariat INSISTS, 021-7940381 atau ke Henri Shalahuddin MA, 0813-35205040, karena tempat diskusi terbatas untuk sekitar 30-40 orang.

Friday, February 2, 2007

Sorotan Total Ulama Salaf

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Reference
Author:Abdul Aziz bin Muhammad as-Sadhan

Judul buku: Sorotan Total Ulama Salaf
Penulis: Abdul Aziz bin Muhammad as-Sadhan
Penerjemah: Ibnu Ali
Penerbit: Pustaka as-Sunnah
Cetakan: I, Juli 2005



Memilih Rujukan yang Benar


Islam sangat kaya dengan khazanah berupa sejarah, kitab-kitab dan orang-orang besar. Semua itu merupakan harta kekayaan terbesar kaum Muslimin, sebab di dalamnya terkandung mozaik keilmuan yang sangat kaya.


Sayangnya, banyak kerancuan, kontradiksi dan pertentangan yang menyelimuti khazanah Islam tersebut. Akibatnya, tak jarang muncul pertanyaan di benak kaum Muslimin, misalnya, apakah setiap sejarah yang populer saat ini dapat diyakini kebenarannya? Lalu, bagaimana dengan kitab orang-orang besar yang populer saat ini, apakah sudah tidak ada lagi kontradiksi dan semuanya dapat dijadikan teladan?


Penulis buku ini, yang merupakan seorang ulama salaf,mencoba mengkritisi khazanah Islam tersebut. Melalui hasil penelitiannya yang mendalam, ia melakukan koreksi terhadap hadits-hadits, filosof, sastrawan, kisah, dan kitab-kitab populer.


Termasuk ke dalam kitab-kitab yang ditelaah itu adalah Nahju al-Balaghah, al-Kabair, Musnad al-Imam Abu Hanifah, Al-Majmu', dan Ihya 'Ulum ad-Din. Seluruhnya mencakup 43 kitab terkenal.


Kisah-kisah yang disoroti oleh penulis antara lain perintah Nabi untuk menghilangkan gambar yang ada di dalam Kabah, kecuali gambar Maryam, Thariq bin Ziyad membakar perahu-perahu, penemuan Tanjung Harapan oleh Vasco da Gama, Ali bersedekah dengan cincinnya dalam keadaan shalat, dan masuk Islamnya 20.000 Yahudi, Nasrani, dan Majusi pada hari meninggalnya Imam Ahmad. Hal lain, misalnya sebab kelunya lidah Nabi Musa as, Hawa bersama setan, dan pernyataan Islamnya Abu Thalib.


Adapun tokoh-tokoh yang disorot oleh penulis antara lain Ibnu Sina, Thaha Husain, Najib Mahfuzh, dan Ar-Razi. Sedangkan hadis-hadis yang disorot antara lain hadis tentang kebersihan sebagian dari iman, tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina, perselisihan umat adalah rahmat, dan doa sebagai senjata Mukmin.


Melalui bukunya ini, penulis mengingatkan kaum Muslimin agar selektif dalam memilih sumber rujukan. Seperti diketahui, berbagai khazanah Islam di atas selama ini merupakan sumber rujukan kaum Muslimin dalam menyikapi berbagai hal yang menyangkut kehidupan pribadi, masyarakat, bangsa, negara, maupun agamanya.


Buku ini memudahkan kaum Muslimin untuk memilih rujukan yang benar. Karena itu, buku ini patut dibaca oleh kaum Muslimin, terutama para santri, mahasiswa, guru mengaji, da'i, dan intelektual Muslim lainnya.