Tuesday, November 28, 2006

Selamat datang, INSISTS! (Full version)

Rating:★★★★★
Category:Other
Oleh : Wisnu Pramudya

Izinkan saya memperkenalkan sekumpulan pemuda kepada Anda sekalian. Mereka berotak encer, dan berendah hati terhadap guru dan ulama. Mereka menguasai minimal dua bahasa asing (tidak sedikit yang kemudian menguasai Latin, Jerman, Ibrani, dan beberapa lainnya), dan sebagian diantaranya hafizh Quran. Mereka bergelar master, doktor, dan berdisiplin menjaga kehidupan ‘ubudiyah-nya serta syari’ah dalam keluarganya. Last but not least, mereka menguasai seluk-beluk pemikiran dan peradaban Barat (berikut segala manfaat yang diberikan juga penyakit-penyakit yang disebarkannya), sama kuatnya dengan penguasaan mereka tentang seluk-beluk pemikiran dan peradaban Timur, dan sudah tentu tentang ‘ulumud-Dien, Al-Islam.

Bulan-bulan ini mereka dalam proses pulang kampung setelah berkelana menimba ilmu. Sebagian besar mereka belajar di Kuala Lumpur, di tempat yang bernama ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization). Di institut ini, mereka dibawa oleh guru utamanya, Prof Syed Muhammad Naquib Al-Attas, bergaul seakrab mungkin dengan metologi dan epistemologi Barat, bukan hanya lewat buku, tetapi langsung dengan orientalis-orientalis tulen yang menjadi dosen-dosen mereka. Pada saat yang sama, Prof Al-Attas menanam kaki mereka sedalam-dalamnya pada worldview Islam, kemudian langsung membenturkan keyakinan mereka akan Quran dan Sunnah menghadapi berbagai peradaban dunia. Dengan cara itu, para pemuda ini tumbuh menjadi sangat kaya akan keterampilan dan pemahaman mengenai detil-detil kurva berbagai peradaban --termasuk Barat, namun semakin hari semakin yakin dan percaya diri, bahwa al-Islaamu ya’lu wa laa yu’la ‘alaih (Islam itu tinggi dan tak ada yang lebih tinggi daripadanya).

Tradisi ilmu

Mereka bisa menerima secara arif manfaat-manfaat yang diberikan peradaban lain -- termasuk Barat, namun di saat yang sama mereka mampu mengupas koreng-korengnya yang membahayakan umat manusia. Semakin akrab mereka dengan W.C. Smith, Hans Kung, Fritjof Schuon, Arthur Jeffery, Harvey Cox, Montgomery Watt, Derrida, Nietczhe, Mohandas Gandhi, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Annemarie Schimmel dan lain-lain, para pemuda kita ini tidak kemudian jadi nggumun (terkagum-kagum), lalu tergopoh-gopoh mematut diri agar sepantas mungkin tampil senada dengan para tokoh tersebut. Keakraban itu justeru membuat mereka kian piawai mencermati dan menempatkan secara jernih posisi masing-masing tokoh terkenal tadi –dan para pengikutnya-- di atas peta peradaban dan keilmuan dunia.

Pada saat yang sama, mereka justeru semakin yakin, bahwa Muhammad Saw, para shahabat radhiallaahu ‘anhum, juga Bukhari, Muslim, Syafii, Maliki, Hambali, Hanafi, Al-Ghazali, Qurthubi, dan warasaatul anbiya’ (para pewaris nabi) berikutnya, jauh lebih pantas disegani baik dari segi akhlaq kepribadian, maupun kelas intelektualnya, dibandingkan rombongan nama yang pertama tadi. Selain itu, semakin kuat pula keyakinan mereka, bahwa Islamlah yang paling berhak mengklaim diri sebagai sumber kebenaran, dalam semua aspek keilmuan dan kehidupan.

Para pemuda ini menamakan dirinya INSISTS (Institute for the Study of Islamic Tought and Civilization). Rumusan misi mereka sederhana, namun menjanjikan perjalanan yang panjang, berat, dan penuh tantangan sekaligus harapan. Izinkan saya mengutipnya dari salah satu e-mail dalam diskusi mereka: “..Semoga niat kita membangun tradisi ilmu dan peradaban Islam yang agung, berdasarkan khazanah intelektual Islam, dapat tercapai...”

Mengenai “tradisi ilmu dan peradaban” yang bagaimana yang hendak mereka bangun, sebagian kecil bisa dibaca di buku “Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas” (Mizan, Juli 2003). Penulisnya Prof Wan Mohd Nor Wan Daud, salah satu murid utama Prof Al-Attas, pernah berguru pada Fazlur Rahman di Chicago, sehingga berteman akrab dengan Pak Syafi’i Ma’arif, Mas Amien Rais, juga Cak Nurcholish Madjid. Ia juga mentor utama para pemuda kita tadi semasa di ISTAC.

Buku ini diterjemahkan dari “The Educational Phyilosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas” oleh tim penerjemah yang dipimpin Hamid Fahmy Zarkasyi, salah satu ahli waris Pesantren Darussalam Gontor. Mas Hamid ini diangkat teman-temannya menjadi pemimpin mereka, jabatan formalnya direktur INSISTS, sekaligus pemimpin redaksi majalah ISLAMIA.

Oh.. bukan, bukan. Buku itu bukan sebuah langkah awal membangun mazhab atau firqah baru bernama Attasiyah. Al-Attas bukan orang pergerakan yang salah satu kegiatannya menekuni dunia perebutan kekuasaan demi memenangkan anjuran-anjuran Islam melalui jalan itu. Sejauh yang saya amati, Al-Attas sadar tentang kafa’ah dan posisinya. Dia tidak beragenda jadi pemimpin di jalur kekuasaan. Dia juga bukan pemimpin tariqat atau  gerakan spiritual. Lewat posisinya sebagai pemikir dan ilmuwan, dia membantu semua orang yang memperjuangkan kebenaran Islam di semua sektor.

Vienna 1683

Salah satu bab buku itu berisi uraian Prof Wan Daud mengenai, pandangan Al-Attas tentang kekusutan konsep yang terjadi dalam dunia Islam, antara apa itu “ilmu pengetahuan” dan bedanya dengan “mengetahui”. Sejak kegagalan penaklukan kota Vienna tahun 1683 oleh Khilafah Utsmaniyah, diikuti berbagai kekalahan lainnya, para ulama dan pemikir Muslim sudah mendeteksi betapa merosotnya tradisi ilmu, sains, dan teknologi di kalangan umat Islam. Karenanya kebangkitan peradaban harus dimulai dengan kebangkitan ilmu.

Sayangnya, menurut Al-Attas, pada perkembangan semakin ke sini, kebangkitan ilmu itu banyak diidentikkan dengan “modernisasi” yang agenda utamanya adalah “mengejar ketertinggalan dari Barat”. Sebuah kesalahan yang dianggap fatal oleh Al-Attas, karena proyek “modernisasi” itu dalam waktu yang sama mengagendakan dipinggirkannya Islam sebagai syarat untuk menjadi modern. Islam tidak boleh menjadi sesuatu yang dominan dalam kehidupan masyarakat modern.

Bagi Al-Attas, lawan kata “ilmu” bukan hanya “kebodohan”, namun juga “ilmu yang menyesatkan manusia dari kebenaran”. Jika pengembangan sains dan teknologi dilakukan diatas landasan yang TIDAK akan membawa umat manusia pada kebenaran Islam, maka jalan dari pengembangan sains dan teknologi itu pasti membawa manusia pada kehancuran. Al-Attas, lulusan SOAS (School of Oriental and African Studies) di Universitas London, mengutip satu bagian dari Lisaan al-‘Arab karya Ibnu Manzhur, bahwa kebodohan terbagi dua jenis: kebodohan ringan dan kebodohan berat. Kebodohan ringan, yaitu kurangnya ilmu mengenai apa yang seharusnya diketahui. Sedangkan kebodohan berat, yaitu keyakinan yang salah yang bertentangan dengan fakta ataupun realitas, meyakini sesuatu yang berbeda dari sesuatu itu sendiri, ataupun melakukan sesuatu dengan cara-cara yang berbeda dari bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan.

Menurut uraian Wan Daud, “kebodohan ringan bisa diobati dengan pengajaran biasa atau pendidikan, tetapi kebodohan yang berat.. merupakan sesuatu yang sangat berbahaya dalam pembangunan keilmuan, keagamaan, dan moralitas individu dan masyarakat, sebab kebodohan jenis ini bersumber dari spiritualitas yang tidak sempurna, yang dinyatakan dengan sikap penolakan terhadap kebenaran.”

Pemuda-pemuda kita tadi berniat meletakkan pondasi konsep tradisi ilmu yang tidak kusut, baik lewat tradisi ilmu-ilmu fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah. Tradisi yang akan membawa manusia pada kebenaran Islam. Ilmu-ilmu fardhu ‘ain adalah yang bila tidak menguasainya seseorang atau sebuah masyarakat pasti tidak akan bisa hidup sesuai anjuran Islam, sedangkan ilmu-ilmu fardhu kifayah adalah yang dengannya seseorang akan menjaga kesejahteraan hidup umat manusia. Jadi tak ada pemisahan antara “ilmu agama” dan “ilmu umum”, atau “ilmu akhirat” dan “ilmu dunia”. Tidak ada itu. Yang ada adalah pembedaan antara “ilmu fardhu ‘ain” dan “ilmu fardhu kifayah”.

Tujuan dari tradisi ilmu seperti ini, bukan menghasilkan masyarakat yang pandai “mengetahui banyak hal” di berbagai bidang, sebagaimana yang dihasilkan dunia pendidikan manapun dewasa ini. Tujuan tradisi ilmu Islam adalah menghasilkan manusia-manusia yang ber-‘adab. ‘Adab menurut Al-Attas, mencakup pengetahuan dan pengakuan tentang segala sesuatu secara benar; kualitas, sifat-sifat, dan tingkah laku yang baik untuk mendisiplinkan pikiran dan jiwa; dan penonjolan tingkah laku yang benar dan tepat sebagai kebalikan dari tingkah laku yang salah dan tidak sesuai.

Sejak awal mula proses pulang kampung para pemuda kita ini, sudah tergambar jelas ada tiga tantangan utama yang akan dihadapi INSISTS. Pertama, diri mereka sendiri. Kedua, tokoh-tokoh pemimpin Muslim dan ulama yang belum faham. Ketiga, umat Islam secara keseluruhan. Di luar ketiga tantangan ini, urusannya relatif lebih gampang.

Tantangan kedua dan ketiga akan cair dengan sendirinya, jika tantangan pertama mampu ditangani dengan baik. Tantangan pertama bagi para pemuda INSISTS secara garis besar menuntut tiga hal: satunya kata dan perbuatan, menjaga sikap rendah hati, serta meningkatkan kecanggihan (baca: kesesuaian cara dan publik yang dihadapi) dalam membahasakan gagasan.

Kesalahan membahasakan diri juga bisa jadi masalah yang tidak perlu. Misalnya, perkenalan diri yang berisi maklumat seolah-olah akan “mengoreksi” semua elemen umat Islam yang lain. Ya, ya, ya. Memang INSISTS akan melakukan banyak koreksi di tubuh umat Islam khususnya Indonesia, tapi biarkan it goes without saying. Elemen umat yang berijtihad untuk mulai bergerak di bidang politik, ekonomi, atau sosial, misalnya, sebaiknya di tahap awal jangan disalah-salahkan. Lebih maslahat jika para pemuda kita ini berkonsentrasi membantu semua elemen umat memagari diri mereka dari “kekufuran epistemologis”, yang pelan tapi pasti dan banyak tidak disadari, bisa juga diidap oleh sebagian kalangan pergerakan Islam.

Selamat datang, INSISTS!


Dari Irena Handono untuk Syafi'i Ma'arif

Rating:★★★★★
Category:Other
Oleh: Irena Handono *
http://hidayatullah.com


Ahmad Syafii Maarif, bekas ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah,   menerima pesan singkat dari  jenderal polisi yang bertugas di Poso. Sang jenderal minta Syafii   membantunya memahami ayat 62 surat Al-Baqarah. Jenderal itu berharap makna ayat itu akan membantunya  mengurai konflik yang terjadi di Poso. Tulisan yang dimaksud berjudul, “Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah” di  Harian Republika, (Selasa 21 November 2006).

Di bawah ini kutipannya;

Pada suatu hari bulan November 2006 datanglah sebuah pesan singkat dari seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di Poso menanyakan tentang maksud ayat 62 surat al-Baqarah. Kata jenderal ini pengertian ayat ini penting baginya untuk menghadapi beberapa tersangka kerusuhan yang ditangkap di sana. Karena permintaan itu serius, maka saya tidak boleh asal menjawab saja, apalagi ini menyangkut masalah besar yang di kalangan para mufassir sendiri belum ada kesepakatan tentang maksud ayat itu. Ayat yang substansinya serupa dapat pula ditemui dalam surat al-Maidah ayat 69 dengan sedikit perdedaan redaksi. Beberapa tafsir saya buka, di antaranya Tafsir al-Azhar karya Hamka yang monumental itu.

Dalam tulisan itu, Syafii juga mengatakan jika yang dimaksud Hamka itu adalah masalah toleransi. Padahal bukan. Menurut saya, buku tafsir itu dibacanya dengan fikiran  yang “berkabut”.  Kesimpulannya, hal-hal yang benar dari Hamka tertutup dan memunculkan pemikiran Syafii Maarif sendiri.

“Sikap Hamka yang menolak bahwa ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Maidah telah dimansukhkan oleh ayat 85 surat Ali 'Imran adalah sebuah keberanian seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing. Sepengetahuan saya tidak ada Kitab Suci di muka bumi ini yang memiliki ayat toleransi seperti yang diajarkan Al-Quran. Pemaksaan dalam agama adalah sikap yang anti Alquran (lih. al-Baqarah 256; Yunus 99).”

Menurut Syafii Maarif, Hamka adalah seorang mufassir yang berani. Saya setuju dan benar sekali. Bahkan beliau sudah menafsirkan ayat-ayat Allah dengan tepat dan gamblang, termasuk surat Al-Baqarah ayat 62 dan Al-Maidah ayat 69 serta  Ali Imran ayat 85 yang terkait dengan ayat 62  surat Al- Baqarah.

Tafsir Hamka terhadap surat Al-Baqarah ayat 62: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabiin,   barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shaleh, maka untuk mereka adalah ganjaran di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita "

Surat AlMaidah ayat 69: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang Yahudi dan (begitu juga) orang Shabiun, dan Nashara, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, dan diapun mengamalkan amal yang shaleh, maka tidaklah ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita."

Merujuk pada Tafsir Al Azhar. karya Prof.DR Hamka, seharusnya Syafii Maarif bisa menjawab  pertanyaan sang jenderal polisi dengan tegas dan benar. Sebab pada buku juz   1 halaman 212, Hamka menyatakan sebagai berikut :

"Di dalam ayat ini dikumpulkanlah keempat golongan ini menjadi satu. Bahwa semua mereka tidak merasakan ketakutan dan dukacita asal saja mereka sudi beriman kepada Allah dan Hari Akhirat dan diikuti dengan amal yang saleh. Dan keempat-empat golongan itu lalu beriman kepada Allah dan Hari Akhirat itu akan mendapat ganjaran di sisi Tuhan mereka."

Jadi, penafsiran Prof DR Hamka, bukan tentang toleransi antar ummat beragama, tapi yang paling pokok adalah keempat golongan itu hendaknya   beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Itulah syarat mutlak untuk mendapatkan ganjaran disisi Tuhan mereka. Mestinya penafsiran yang gamblang ini jangan lagi diberi bayang-bayang kabut, karena tidak ada ayat Al Quran yang saling bertentangan, tapi justru saling melengkapi.

Sebaliknya, Syafii Maarif "menjejalkan" fikirannya dengan menggambarkan Hamka sebagai  seorang yang rindu akan dunia yang aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing   Jadi, seolah-olah  Hamka menyatakan beragama atau tidak bukan masalah, toh semua agama sama.

Saran saya, supaya tidak terkesan “menelikung”  pemikiran Prof. Hamka, hendaknya Syafii Maarif juga mengutip pemikiran beliau pada halaman 214 dan 215   yaitu, "kerapkali menjadi kemuskilan bagi orang yang membaca ayat ini,  karena disebut yang pertama sekali ialah orang-oang yang beriman, kemudiannya baru disusul oleh Yahudi, Nashrani dan Shabiin. Setelah itu disebutkan bahwa semuanya akan diberikan ganjaran oleh Tuhan apabila mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, lalu beramal yang saleh. Mengapa orang yang beriman disyaratkan beriman lagi ?"

Lebih jauh Hamka berpendapat, "setengah ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud disini barulah iman pengakuan saja. Misalnya mereka sudah mengucapkan dua kalimah syahadat, mereka telah mengaku dengan mulut, bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad utusan Allah. Tetapi pengakuan tadi baru pengakuan saja,belum diikuti oleh amalan, belum mengerjakan rukun Islam yang lima perkara, maka iman mereka itu masih sama saja dengan iman Yahudi, Nashrani dan Shabiin. Apatah lagi orang Islam peta bumi saja atau Islam turunan, maka Islam yang semacam itu masih sama saja dengan Yahudi, Nashrani dan Shabiin. Barulah keempat itu terkumpul menjadi satu, apabila semuanya memperbaharui iman, kembali kapada  Allah dan Hari Akhirat, serta mengikutinya dengan perbuatan dan pelaksanaan."

Itulah syarat mutlak sehingga keempat golongan itu menjadi satu dan padu yaitu beriman kepada Allah, Hari Akhir dan beramal shaleh. Adapun yang tidak dikutip oleh Syafii Maarif sehingga pemikirannya berkabut   adalah kalimat Prof. Hamka  pada halaman 215 yaitu, "Apabila telah bersatu mencari  kebenaran dan kepercayaan, maka pemeluk segala agama itu akhir kelaknya pasti bertemu pada satu titik kebenaran."

Ciri yang khas  dari titik kebenaran itu adalah menyerah diri dengan penuh keikhlasan kepada Allah yang SATU ; itulah Tauhid, itulah Ikhlas, dan itulah Islam ! Maka dengan demikian orang yang telah memeluk Islam sendiripun hendaklah menjadi Islam yang sebenarnya. Inilah sebenarnya pemikiran Islami dari Prof. DR. Hamka yang ditelikung oleh Syafii Maarif,  yang mengaku sebagai ‘sang murid.’

Di sisi lain, pernahkah terfikirkan oleh Syafii Maarif bahwa keyakinan Kristiani menyatakan Allah dalam Al Quran bukan Tuhan dalam Bible (Lihat buku .The Islamic Invasion, karya Robert Morey, edisi Bahasa Indonesia, Halaman 62, yang isinya sebagai berikut;

"Ketika kita bandingkan sifat-sifat Tuhan Al Kitab (Bible) dengan sifat-sifat Tuhannya Al Quran, muncul  dengan jelas, bahwa keduanya bukanlah dari Tuhan yang sama!" Bahkan pada halaman yang sama   tertulis bahwa : "Latar belakang sejarah mengenai asal-usul dan makna kata Arab "Allah" bukanlah Tuhan yang menjadi sesembahan orang Yahudi dan orang Kristen. Allah hanyalah suatu berhala Dewa Bulan bangsa Arab yang dimodifikasi dan ditingkatkan maknanya."

Pada halaman yang sama Robert Morey mengutip pendapat Doktor Samuel Schlorff, yang menyatakan dalam tulisannya mengenai perbedaan mendasar antara Allah dalam Al Quran dan Tuhan dalam Al Kitab (Bible) sebagai berikut; " Saya percaya bahwa kunci masalahnya adalah pertanyaan mengenai hakekat Tuhan dan bagaimana Tuhan berhubungan dengan ciptaannya ; Islam dan Kristen, meskipun mempunyai kesamaan secara formal, sesungguhnya sangat jauh berbeda dalam masalah tersebut."

Nah marilah kita merenung kembali, samakah semua agama, samakah semua kitab suci? Seharusnya Ahmad Syafii Maarif –apalagi dia mantan Ketua PP Muhahammadiyah--  meyakini bahwa; "satu-satunya agama di sisi Allah hanyalah  Islam." Wallahu a’lam.

*) Penulis adalah pendiri ‘Irena Center’ dan Ketua Umum Gerakan Muslimat Indonesia (GMI)


Syaikh Nashiruddin Al-Albani

Rating:★★★★★
Category:Other
www.eramuslim.com
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Syaikh Nashiruddin Al-Albani adalah salah satu tokoh yang pernah hidup di abad 20 sebagai ulama yang mendalami masalah kritik sanad hadits. Menjadi tenar -salah satunya- karena pendapat-pendapat beliau yang cenderung berbeda dari kebanyakan pendapat yang sudah dianut oleh umat Islam, baik di bidang ilmu hadits atau pun di bidang fiqih.

Salah satunya adalah pandangan beliau yang mengajak orang untuk tidak terpaku kepada pandangan dari mazhab-mazhab fiqih peninggalan para ulama. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu asing, karena sudah banyak dikampanyekan oleh para tokoh sebelumnya seperti Muhammad Abduh atau Rasyid Ridha. Namun beliau menyampaikan dengan format yang berbeda dan lebih spesifik serta didukung oleh keahlian beliau di bidang kritik sanad hadits.

Kelahiran di Albania dan Hijrah ke Damaskus

Syeikh Nashiruddin Al-Albani lahir tahun 1914 masehi atau bertepatan dengan tahun 1333 hijriyah, di ibukota Albania saat itu, Asyqodar.

Keluarga beliau boleh dibilang termasuk kalangan kurang berada, namun bertradisi kuat dalam menuntut ilmu agama. Ayahanda beliau bernama Al-Haj Nuh, lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari'ah di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul) dan menjadi rujukan orang-orang dalam masalah agama.

Keluarga beliau kemudian berhijrah ke Damaskus, ibu kota Syria, dan menetap di sana setelah Ahmad Zaghu raja Albania saat itu menyimpangkan negaranya menjadi kebarat-baratan.

Pendidikan Agama

Beliau boleh dibilang tidak menyelesaikan pendidikan formal yang tinggi, kecuali hanya menyelesaikan sekolah madrasah ibtidaiyah dengan baik. Kemudian beliau meneruskan ke madarasah An-Nizhamiyah yang sangat fenomenal di dunia Islam. Namun setelah itu ayahnya punya pendapat tersendiri tentang madrasah An-Nizamiyah sehingga beliau keluar dan belajar dengan sistem tersendiri pelajarannya, seperti Quran, tajwid, nahwu, sharf serta fiqih mazhab Hanafi.

Beliau mengkhatamkan Al-Quran di tangan ayahnya sendiri dengan bacaan riwayat Hafsh dari Ashim. Beliau belajar kitab fiqih mazhab Al-Hanafi yaitu Maraqi al-Falah kepada Syeikh Said Al-Burhani, selain juga belajar lughah dan balaghah.

Secara pendapatan finansial, beliau bekerja sebagai tukang jam, sebuah keahlian yang diwariskannya dari ayahnya sendiri. Bahkan beliau sampai menjadi termasyhur di bidang service jam di Damaskus.

Sesungguhnya ayah beliau telah mengarahkan beliau untuk mendalami agama khususnya pada mazhab Al-Hanafi serta memperingatkan beliau untuk tidak terlalu menekuni ilmu hadits. Namun beliau tetap belajar ilmu hadits dan ilmu-ilmu lainnya yang menunjang. Sehingga paling tidak beliau menghabiskan 20 tahun dari hidupnya dalam mempelajari ilmu hadits, karena pengaruh dari bacaan beliau pada majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Syaikh Rasyid Ridha rahimahullah.

Mendalami Ilmu Hadits di Perpustakaan

Beliau menyenangi ilmu hadits dan semakin asyik dengan penelusuran kitab-kitab hadits. Sampai pihak pengelola perpustakaan adz-Dzhahiriyah di Damaskus memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau.

Bahkan kemudian beliau diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, beliau menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum yang lainnya datang. Begitu pula pulangnya ketika orang lain pulang pada waktu dhuhur, beliau justru pulang setelah sholat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.

Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan azh-Zhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan.


Kontroversi Tentang Sosok Beliau

Syeikh Nashiruddin Al-Albani oleh beberapa kalangan sangat dihormati sebagai ulama yang setuju dengan pandangan-pandangannya, namun memang ada juga sebagian lainnya yang kurang suka kepada pendapatnya serta cara penyampaiannya yang khas.

Mereka yang gemar dengan pendapat beliau umumnya adalah kalangan muda yang getol mempelajari ilmu hadits. Namun kurang dalam mempelajari ilmu fiqih serta perangkat-perangkatnya. Paling tidak, sistematika fiqih yang beliau kembangkan beliau tidak sebagaimana umumnya sistematika ilmu fiqih yang digunakan oleh para ahli fiqih umumnya.

Misalnya buat beliau, kesimpulan hukum suatu masalah lebih sering ditetapkan semata-mata berdasarkan kekuatan riwayat suatu hadits. Sedangkan pertimbangan lainnya sebagaimana yang ada di dalam ilmu fiqih, termasuk pendapat para imam mazhab, seringkali ditepis oleh beliau.

Ketidak-sukaan sebagian orang kepada beliau biasanya dilatar-belakangi oleh kekurang-mengertian mereka kepada sosok beliau. Sehingga melahirkan pandangan yang kurang baik pada citra diri beliau. Bahkan beliau pernah mengalami dua kali dipenjara, yang konon disebabkan oleh masalah seperti ini.

Memang terkadang bahasa yang beliau gunakan boleh dibilang agak terbuka dan terlalu apa adanya. Sehingga membuat telinga sebagian orang yang membacanya dan kebetulan kena sindir beliau menjadi merah telinganya.

Selain itu beliau memang dikenal sebagai tokoh di bidang ilmu hadits yang cenderung tidak mau berpegang kepada pendapat-pendapat dari mazhab-mazhab fiqih yang ada. Kesan itu akan sangat terasa menyengat bila kita banyak mengkaji ceramah dan tulisan beliau, terutama yang menyangkut kajian fiqih para ulama mazhab.

Bagi beliau, pendapat para ulama mazhab harus ditinggalkan bila bertentangan dengan apa yang beliau yakini sebagai hasil ijtihad beliau dari hadits-hadits shahih. Apalagi bila menurut beliau, pendapat para ulama mazhab itu tidak didasari oleh riwayat hadits yang kuat sanadnya.

Bahkan beliau mudah menjatuhkan vonis ahli bid'ah kepada siapa saja yang menurut beliau telah berdalil dengan hadits yang lemah. Maksudnya lemah di sini adalah lemahmenurut hasil penelitian beliau sendiri. Termasuk juga pada masalah-masalah yang umumnya dianggap sudah final di kalangan para ahli fiqih. Buat beliau, semua itu harus diabaikan, bila berbeda dengan pandangan beliau dengan landasan ijtihad beliau di bidang ilmu hadits.

Barangkali hal-hal inilah yang sering menimbulkan pandangan tertentu di kalangan sebagian orang tentang sosok beliau.

Namun apa yang beliau sampaikan itu sebenarnya bukan sekedar omongan belaka, namun berangkat dari hasil ijtihad beliau pribadi. Dengan kapasitas ilmu hadits yang beliau miliki serta banyaknya beliau membaca di perpustakaan, maka apa yang menjadi pendapat beliau punya landasan ilmiyah, bukan asal bunyi.

Namun sebagaimana tradisi keilmuwan di dalam peradaban Islam, boleh saja para ulama saling berbeda pandangan satu dengan yang lainnya, namun kita diharamkan untuk saling ejek, saling cemooh, saling cela dan saling boikot, hanya lantaran perbedaan pandangan.

Apa yang menjadi pandangan Albani harus dihormati sebagai sebuah hasil ijtihad seorang yang telah menguasai satu cabang ilmu. Tentunya beliau berhak atas pendapatnya. Namun ijtihad yang dihasilkan oleh seorang ulama tidaklah harus menggugurkan ijtihad ulama lain yang juga telah mengerahkan semua kemampuannya. Biarlah hasil-hasil ijtihad saling berbeda, sehingga memberikan ruang gerak yang luas kepada umat Islam ini.

Beberapa Tugas yang Pernah Diemban

Syeikh al-Albani Beliau pernah mengajar hadits dan ilmu-ilmu hadits di Universitas Islam Madinah meski tidak lama, hanya sekitar tiga tahun, sejak tahun 1381-1383 H.

Setelah itu beliau pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syeikh al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di kerajaan Yordania. Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu.

Pada tahun 1395 H hingga 1398 H beliau kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam'iyah Islamiyah di sana. Mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H.

Wafat Beliau dan Warisannya

Beliau wafat pada hari Jum'at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yoradania. Karya-karya beliau amat banyak yang menjadi warisan kepada dunia Islam, sebagian sudah dicetak, namun ada yang masih berupa manuskrip, bahkan ada yang hilang, semua berjumlah 218 judul. Antara lain:

  1. Adabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
  2. Al-Ajwibah an-Nafi'ah 'ala as'ilah masjid al-Jami'ah
  3. Silisilah al-Ahadits ash-Shahihah
  4. Silisilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal maudhu'ah
  5. At-Tawasul wa anwa'uhu
  6. Ahkam Al-Jana'iz wabida'uha

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Rujukan lain - Click

Biografi tokoh-tokoh lain - Click


Saturday, November 11, 2006

Menyambut Kedatangan Presiden Bush

Rating:★★★★★
Category:Other
Oleh : Adian Husaini, M.A
http://adianhusaini.blogspot.com/

Pada hari-hari ini, pemerintah Indonesia sedang disibukkan dengan rencana kedatangan Presiden AS George W. Bush pada 20 November 2006 mendatang. Berbagai elemen umat Islam dan tokoh-tokoh masyarakat Indonesia sudah melakukan protes dan menyampaikan imbauan kepada pemerintah, agar menolak kedatangan Bush. Apalagi, terlihat jelas, bagaimana sikap dan tindakan pemerintah yang dinilai sangat berlebihan dalam menyambut rencana kedatangan Presiden AS tersebut. Di Istana Bogor, misalnya, sampai perlu dibuatkan landasan pendaratan helikopter khusus untuk sang Presiden AS.

Untuk apa Bush datang dan mengapa Indonesia begitu sibuk menyambut kedatangan Presiden Bush? Sejumlah pejabat Indonesia menyatakan, bahwa Bush datang --selain untuk memenuhi undangan Presiden RI-- juga untuk memberikan bantuan kepada Indonesia, utamanya dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Apakah hanya untuk itu Bush datang? Tentulah tidak. Sagat mungkin ada agenda lain yang kita tidak tahu, apakah menyangkut masa depan proyek minyak dan gas Natuna atau pesan-pesan tertentu yang akan langsung diberikan kepada Presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono. Wallahu a’lam.

Memang, penyambutan dan pengamanan yang sangat berlebihan terhadap rencana kedatangan Presiden Bush, seharusnya tidak dilakukan oleh bangsa Indonesia. Apalagi, dalam kondisi rakyat yang sedang menghadapi dan mengalami begitu banyak bencana. Di Sudoarjo, Jawa Timur, hingga kini, para korban lumpur panas masih belum jelas nasibnya. Masih banyak yang tinggal di barak-barak pengungsian yang tidak layak. Menyambut datangnya musim hujan, nasib mereka juga semakin mengkhawatirkan.

Di Bantul Yogyakarta, masih banyak rakyat yang belum dapat membangun rumahnya kembali. Pemerintah belum dapat menyelesaikan semua itu. Tapi, untuk persiapan penyambutan Bush, dana milyaran rupiah dengan mudah bisa dikucurkan.

Bagi umat Islam, Bush memang agak lain dengan Presiden AS sebelumnya. Semasa pemerintahannya, Presiden yang satu ini secara jelas merupakan pemimpin yang mengobarkan perang melawan umat Islam di berbagai tempat. Sebagai bagian dari kelompok neo-konservatif dari unsur fundamentalis Kristen, Bush telah memberikan corak yang khas dalam pemerintahannya.

Esther Kaplan, dalam bukunya, With God on Their Side: How Christian Fundamentalists Trampled Science, Policy, and Democracy in George W. Bush’s White House, (New York: The New Press, 2004), menggambarkan bagaimana cengkeraman kelompok Kristen Fundamentalis dalam pemerintahan Bush. Di masa Bush inilah, untuk pertama kalinya diadakan pengajian Bibel seminggu sekali di Gedung Putih dan dihadiri oleh separoh lebih staf Gedung Putih. Di Department of Justice, setiap hari dibacakan ayat-ayat Bibel.

Tidak dapat dipungkiri, kebijakan perang melawan terorisme yang diluncurkan Bush adalah kebijakan yang diarahkan memerangi kelompok-kelompok Islam yang dipandang membahayakan kepentingan AS dan Israel.

Karena itu, meskipun dunia Islam tetap menolak, AS dan Israel tetap menempatkan Hamas sebagai kelompok teroris yang boleh dibunuhi kapan saja, tanpa pertanggungjawaban hukum internasional. Kebijakan Bush dan kelompok neo-konservatif di AS, telah menimbulkan reaksi keras di berbagai penjuru dunia, termasuk di dalam negeri AS sendiri. Penyerbuan terhadap Iraq tahun 2003 telah menuai arus protes dan menjadi bumerang dalam pemilihan anggota Kongres dan Senat di AS bulan ini. Partai Republik kalah suara dengan Partai Demokrat. Lalu, salah satu tokoh kelompok garis-keras AS, Donald Rumsfeld mengundurkan diri dari jabatannya.

Apakah kita patut ikut bergembira dengan kekalahan partai Bush itu? Melihat pengalaman yang lalu-lalu, kita tidak sepatutnya terlalu berharap banyak. Saya menduga, kebijakan AS terhadap Islam tidak akan banyak berbeda secara substansi antara Presiden Bush atau Presiden AS lainnya di masa mendatang.

Sebab, di AS, yang berkuasa secara riil bukan hanya pemerintah yang terlihat. Ada ‘invisible government’ yang perlu diperhitungkan. Kebijakan itu begitu kuat menekan, mengatur, dan mengarahkan kebijakan politik luar negeri AS, siapa pun yang akan menjadi Presiden AS. Ingatlah nasib Presiden John F. Kennedy yang mencoba keluar dari jeratan ‘invisible government’ ini. Film

JFK, garapan Oliver Stone, mengarahkan kesimpulan bahwa pembunuh Kennedy adalah CIA. Tetapi, buku ‘Final Judgement’, karya Michel Colin Piper, menyimpulkan, bahwa pembunuh Kennedy adalah Mossad.

William Blum, mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, menulis sebuah buku berjudul “Rouge State: A Guide to the World’s Only Superpower” (2002). Buku ini membongkar perilaku politik dan berbagai intervensi AS. Blum menyimpulkan, intervensi-intervensi AS antara lain bertujuan untuk mengokohkan AS sebagai satu-satunya superpower. Tidak boleh ada pesaing AS. Bahwa, di dunia ini tidak boleh ada dua jagoan, kecuali Paman Sam.

Meskipun seringkali dibantah, kita masih melihat, kebijakan politik luar negeri AS tidak mampu keluar dari skenario politik kaum neo-konservatif yang menempatkan Islam sebagai potensi ancaman terbesar bagi AS. Karena itu, ketika berhadapan dengan Islam, para pejabat AS bersikap sangat paranoid, menunjukkan ketakutan nyang membabi-buta.

Hari Jumat (10 November 2006) ini, Harian Republika menurunkan sebuah tulisan menarik dari Dr. Indrawadi Tamin MSc, mantan Deputi Protokol, Pers, dan Media, Sekretariat Presiden. Tulisan itu berjudul “Bush, Denpasar, dan Bogor”. Berdasarkan pengalamannya saat berunding dengan para pejabat AS menjelang kedatangan Presiden Bush di Bali, Oktober 2003, Indrawadi menuturkan bahwa disamping keprofesionalan mereka, pengawal Presiden AS dan protokol Gedung Putih memang bersikap paranoid dan membuatnya pusing. Paranoid, karena – menurut mereka -- Presiden AS dipandang sebagai target teroris, dan juga ada unsur-unsur arogan, dan sikap tidak menghormati tuan rumah.

Dalam bukunya, The High Priests of War, Michel Colin Piper menyebutkan, belum pernah dalam sejarah AS terjadi dominasi politik AS yang begitu besar dan mencolok oleh ‘tokoh-tokoh pro-Israel’ seperti dimasa Presiden George W. Bush. Sebagian besar anggota neo-kon adalah Yahudi. Salah satu prestasi besar kelompok ini adalah memaksakan serangan AS atas Iraq, meskipun elite-elite militer AS dan Menlu Colin Powell sendiri, semula menentangnya.

Piper membahas peran kelompok garis keras Zionis Yahudi di AS dengan menguraikan satu persatu latar belakang dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam konspirasi neo-konservatif ini, seperti Richard Perle, William Kristol, Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, Rupert Murdoch, juga ilmuwan dan kolomnis terkenal seperti Bernard Lewis, Charles Krauthammer, dan tokoh-tokoh Kristen fundamentalis seperti Jerry Falwell, Pat Robertson, dan Tim LaHaye. Cengkeraman atau pembajakan kelompok neo-kon terhadap politik AS sebenarnya meresahkan banyak umat manusia. Mereka sedang menjalankan satu skenario besar “Perang Global”, dengan menempatkan Islam sebagai musuh utama peradaban dunia.

Karena itu, mungkin karena melihat Indonesia sebagai bangsa Muslim terbesar dan dianggap sebagai ‘sarang teroris’, maka AS meminta pengamanan yang super ketat terhadap Bush saat datang ke Indonesia. Apa yang pernah dialami oleh Indrawadi Tamin sebagai pejabat istana sangatlah menarik, karena menunjukkan sikap paranoid AS yang sangat tidak beralasan. Sikap paranoid itu tentulah juga karena diakibatkan oleh bayang-bayang dosa yang diperbuatnya sendiri.

William Blum sendiri menyatakan, bahwa lebih dari 50 tahun, secara klinis, politik luar negeri AS bisa dikatakan “gila” (However, it can be argued, that for more than half century American foreign policy has, in actuality, been clinically mad.). Karena itu, untuk mengkahiri kemelut internasional dan menciptakan rasa aman bagi masyarakat AS, Blum mengajukan konsep sederhana. Jika ia menjadi Presiden AS, kata Blum, ia akan sanggup menghentikan aksi terorisme terhadap AS hanya dalam beberapa hari. Dan itu bersifat permanen.

Caranya, pertama, ia akan meminta maaf kepada semua janda dan anak yatim, orang-orang yang terluka dan termiskinkan akibat ulah imperialisme AS. Kedua, ia umumkan dengan jiwa yang tulus, ke seluruh pelosok dunia, bahwa intervensi global AS telah berakhir, dan umumkan bahwa Israel tidak lagi menjadi negara bagian AS yang ke-51. Lalu, Blum – andai jadi Presiden AS– akan memotong anggaran belanja pertahanan AS, sekurangnya 90 persen, dari angka 330 milyar USD per tahun. Jumlah itu sama dengan pembelanjaan dana pertahanan sebesar 18.000 USD per jam, sejak kelahiran Yesus. Itulah yang akan dikerjakan Blum pada tiga hari pertamanya di Gedung Putih. Tapi, katanya, pada hari keempat, ia akan dibunuh. “On the fourth day, I’d be assassinated.”

Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, jauh-jauh sudah menyatakan tidak bersedia datang, jika diundang lagi untuk bertemu Bush. Saat pertemuan di Bali, tahun 2003 lalu, Hasyim Muzadi dan sejumlah tokoh agama sudah mengajukan berbagai usulan terhadap Bush, termasuk agar AS lebih menjadi ‘Bapak dunia’ dan bukan sebagai ‘polisi dunia’. Tetapi, berbagai usulan itu, tidak dipandang sebelah mata.

Dunia Islam dan juga dunia internasional juga sudah banyak menasehati Bush dan pemerintah AS. Dalam soal Palestina, dunia Islam sudah terlalu banyak menasehati AS agar jangan menjadikan Israel sebagai anak emas mereka. Tetapi, semua nasehat itu menguap, tanpa bekas. Ibarat pepatah: “Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.”

Semua fakta itu menunjukkan bahwa selama ini pihak AS tidak menganggap penting adanya dialog dengan dunia Islam. Dialog hanyalah basa-basi, karena aspirasi dunia Islam tidak didengar. Kita sudah paham sikap Barat itu, khususnya AS. Karena itu, menghadapi kedatangan Presiden Bush kali ini, umat Islam sudah seyogyanya dan wajib menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Kita imbau dan nasehatkan, agar Presiden SBY dan jajaran pemerintah RI tidak berlebihan dalam menyambut Bush. Jika mereka meminta yang berlebihan, lebih baik ditolak, demi martabat bangsa. Apalagi, jika mengingat, Pembukaan UUD 1945 sendiri dengan tegas menolak segala bentuk penjajahan di muka bumi.

Sedangkan AS adalah pendukung kolonialisme Israel atas Palestina. Tahun 1955, Konferensi Asia-Afrika di Bandung sudah menyatakan Zionisme sebagai bentuk kolonialisme yang paling jahat dan harus ditentang.

Banyak pertimbangan taktis dan strategis dalam menerima kehadiran Bush kali ini. Tetapi, perlu kita imbau, agar para pemimpin negara kita yang Muslim juga memasukkan pertimbangan iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Allah sudah jelas-jelas mengingatkan kepada kita semua dalam Al-Quran: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (pemimpin, pelindung, teman kepercayaan); sebagian mereka adalah wali bagi sebagian lainnya. Barangsiapa diantara kamu yang mengambil mereka menjadi wali, sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 51).

Sayang sekali, sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, kondisi kita sepertinya belum menyadari bahwa kita adalah bangsa yang mulia, karena iman dan taqwa. Bahkan, kita sudah diperingatkan oleh Allah, agar jangan menukar nikmat Allah dengan kehinaan dan kebinasaan:

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan.” (Ibrahim:28).

Sebagai orang beriman, mestinya para petinggi negara kita berani bersikap mandiri dan menunjukkan sikap ‘izzah (mulia) dalam berhadapan dengan siapa pun di dunia ini. Allah memerintahkan kepada kita: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan pula kamu berduka, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 139).

Kita memang menyesalkan penyambutan Bush yang berlebihan, tetapi kita juga perlu menyadari bahwa masalah kedatangan Bush hanyalah sebagian kecil dari masalah yang kita hadapi dari hegemoni peradaban Barat dalam berbagai bidang kehidupan. Kita perlu meletakkan masalah ini dengan proporsional, sebab agenda perjuangan umat Islam Indonesia masih sangat banyak dan besar. Perlu nafas dan energi yang panjang dalam perjuangan ini. Wallahu a’lam.

(Depok, 10 November 2006)

Monday, November 6, 2006

KISS (Kajian Islam Sabtu Sore)

Start:     Nov 11, '06
Location:     Jl. Kemanggisan Utama 2 No. 126, Slipi Jak-Bar
Assalamu'alaikum wr wb

Setelah sekian lama vakum, Insya Allah akan saya adakan lagi acara KISS (Kajian Islam Sabtu Sore) dirumah saya hari Sabtu tgl 11 November 2006 jam 3 sore, dengan ustadz Drs. HM Fauzi Nurwahid, beliau adalah pemimpin pesantren Persatuan Islam 69 atau PERSIS 69 yang beralamat di Jl. Kramat asem raya no.59 kel. Utan Kayu Selatan Matraman Jakarta Timur, juga anggota dari komisi pendidikan dan dakwah PERSIS. Pertemuan kali ini juga diharapkan menjadi ajang halal bihalal temen-temen MP yang pernah hadir di majelis KISS atau dulu namanya DKI (Diskusi Kajian Islam). Peta bisa dilihat disini.

Untuk topik lebih spesifik belum ditentukan. Tapi ada beberapa topik permintaan dari temen-temen yang MP yang biasa hadir untuk membahas lagi tentang munakahat atau kajian pra-nikah dan kalau bisa yang lebih mendalam. Juga akan membahas bagaimana mempertahankan ke-istiqomahan setelah bulan Ramadhan. Insya Allah diskusi kajian Islam kecil-kecilan ini bisa bermanfaat buat temen-temen yang mau hadir. Aamiin

Ada sedikit kisah dari hadits yang mungkin bisa memotivasi kita :

Sa’id ibn al-Musayyib, salah seorang pemimpin tabi’in, pernah duduk bersama seorang pembesar Madinah untuk belajar darinya. Maka, orang-orang disekitarnya bertanya, “Engkau adalah orang yang paling alim, tapi mengapa engkau duduk bersamanya, padahal dia adalah salah satu muridmu ?”

Dia menjawab, “Sesungguhnya Allah menyelimuti majelis ini dengan rahmat. Dan saya ingin Allah menyelimuti saya bersama mereka”. Ini adalah persis seperti sabda Rasulullah saw dari Allah SWT bahwa Dia berfirman kepada para jama’ah majelis ini, “Mereka meninggalkan majelis ini dengan mendapat ampunan,sesungguhnya kalian ridha dengan-Ku dan Aku pun ridha dengan kalian”.

Maka, para malaikat bertanya, “Wahai Tuhan, didalamnya ada seorang yang datang hanya untuk begini dan begitu”. Maka Allah berfirman, “Apa yang ada padanya telah Aku ampuni. Mereka adalah kaum yang tidak menyusahkan teman duduk mereka.” [at-Targhib wa at-Tarhib 1493, Bukhari 6261, Muslim 6790]

Mudah-mudahan Allah juga melimpahkan ampunan-Nya dan meliputi majelis KISS ini dengan rahmat dan ridha-Nya. Aamiin, Allahuma Aamiin.

Wassalamu'alaikum